OUR HOLIDAY !!!
- Cha Shin-woo -
- Goyangshi, Neunggok -
Dengan mengantuk aku menatap suasana malam hari di Neunggok lewat jendela taksi yang kutumpangi. Kami—aku dan Eun-hyuk—sedang berada di kota asal kekasihku itu. Sudah berbulan-bulan kami merencanakan perjalanan ini, karena sejak resmi pacaran—hampir setahun lalu—hingga sekarang aku belum pernah bertemu orangtua Eun-hyuk.
Selama beberapa bulan ini aku dan Eun-hyuk hanya dapat bertemu beberapa kali karena kesibukan kami masing-masing, apalagi sekarang Aquamarine sedang sibuk shooting untuk beberapa variety show—salah satu alasan mengapa kami sampai begitu larut sekarang ini juga karena aku harus lebih dulu menyelesaikan proses shooting Oh! My School bersama Dae-jia sebelum berangkat ke Neunggok—karena itu waktu libur yang hanya tiga hari ini akan kami manfaatkan sebaik-baiknya.
“…baiklah, akan kuhubungi lagi nanti,” kata Eun-hyuk pada managernya sebelum memutus sambungan telepon dan mematikan ponselnya agar liburan kami tidak terganggu. “Ah… akhirnya kita benar-benar berdua saja…” desahnya senang sambil menyandarkan kepalanya di pundakku. “Aku lelah sekali.”
Tanpa bicara kudorong kepalanya menjauh, tapi dengan ngotot Eun-hyuk kembali menumpangkan kepalanya di pundakku. Saat percobaan ketiganya juga tetap kutolak, dia menatapku dengan wajah cemberut.
“Kenapa?” tuntutnya dengan gaya kekanakan. “Kita jarang punya kesempatan begini, tapi kau malah dingin padaku. Gadis kejam,” gerutunya.
Aku memilih untuk tidak langsung berkomentar dan hanya menatap tajam matanya, membuatnya bergerak-gerak dengan gelisah di tempat duduknya. “Apa? Apa? Apa? Kenapa tiba-tiba aku merasa jadi seperti terdakwa begini?”
“Jadi aku gadis kejam, dan si pianis itu gadis cantiknya,” komentarku akhirnya dengan nada datar.
Wajah Eun-hyuk terlihat sangat menggelikan ketika menatapku kaget dengan mulut yang membulat membentuk huruf O. “Eh, ah… eh, kau menontonnya?” tanyanya kikuk.
Dengan santai aku bersedekap sembari mengamati tingkah gugupnya. “Strong Heart salah satu acara favoritku.”
Eun-hyuk tersenyum lebar dengan maksud untuk meluluhkan hatiku. “Itu tidak serius… hanya untuk pertunjukan. Lagi pula aku kan tidak macam-macam, hanya memujinya cantik—“
“Dan meminta nomor ponselnya,” selaku.
Eun-hyuk berpura-pura batuk. “Aku tidak benar-benar meminta nomor ponselnya. Hanya bercanda saja, agar penonton tertawa,” komentarnya pada akhirnya.
“Aku tidak tertawa.”
“Aish… masa kau tidak percaya padaku?” bujuknya sambil berusaha merangkulku, namun dengan sigap aku menghindar. Sempat terlihat olehku si supir taksi mengamati kami lewat kaca spion, tapi saat bertemu pandang denganku, dengan segera dia kembali menatap lurus ke jalan “Kalau tidak percaya cek saja ponselku. Ini, ini,” Eun-hyuk memaksaku untuk menerima ponselnya, tetapi dengan santai kumasukkan ponsel itu ke dalam tas ranselnya. “Cek dulu! Aku benar-benar tidak meminta nomornya!” desak Eun-hyuk frustasi.
“Aku hanya bercanda,” kataku pada akhirnya—tak tega mengerjainya lebih lama—sambil menutup mata dan mencari posisi duduk yang lebih nyaman. “Aww!” seketika mataku kembali terbuka sambil menjerit merasakan cubitan Eun-hyuk di pipiku yang langsung kubalas dengan menendang kakinya.
“Kau mengerjaiku!?” omelnya sambil mengusap kaki kanannya yang kutendang. “Padahal aku sudah cemas kau marah… argh, benar-benar…” gerutunya sambil menjauh dariku, menempel ke pintu taksi di sisi kirinya.
“Kalau aku Dae-jia, saat ini kau dalam masalah besar,” kataku. “Kau beruntung aku bukan tipe pencemburu.”
Eun-hyuk menggerutu tak jelas sambil memunggungiku. Kubiarkan saja dia mengambek, ingin melihat seberapa lama dia tahan tak bicara padaku. Satu… dua… tiga…
Tiba-tiba saja dia mendelik ke arahku. “Walau cemas, tapi sebenarnya aku juga senang kau cemburu. Kenapa tidak cemburu!?” gerutunya, membuatku mendengus tak percaya. Orang ini benar-benar…
“Kenapa harus?” balasku. “Aku tahu cara kerja di dunia entertain, tahu semua itu hanya untuk hiburan seperti katamu.”
“Tetap saja, paling tidak merasa cemburu sedikit bagus untuk menunjukkan kau tidak mau aku direbut gadis lain.”
“Memangnya ada yang mau merebutmu dariku?” komentarku santai.
“Cih… gadis ini benar-benar…” Eun-hyuk mendesis kesal.
“Kau juga tidak pernah cemburu setiap kali aku berinteraksi dengan idola pria lain di acara-acara variety show, jadi kenapa aku harus cemburu padamu?” lanjutku tanpa peduli kekesalannya.
Eun-hyuk mendesah dengan lagak putus asa. “karena kau memang tidak perlu dicemburui,” sahutnya.
“Maksudmu aku tidak menarik di mata pria lain?” tanyaku dingin.
“Bukan begitu!” bantahnya segera. “maksudku, kau tidak pernah bersikap mesra atau centil di depan pria. Ekspresimu itu, kau tahu…” Aku diam saja, membuatnya menjelaskan lebih lanjut. “itu, wajah tanpa ekspresimu, setiap ada pria dekat-dekat, kau langsung menatap mereka dengan ekspresi itu, akhirnya mereka sadar diri dan tak berani macam-macam. Makanya aku tidak pernah cemas kau akan selingkuh—“
“Apa kau sudah dengar di sebuah variety show Gi-kwang Beast mengatakan aku tipe gadis idealnya dan ingin berkencan denganku sekali saja?” selaku santai.
Beberapa detik Eun-hyuk terlihat tak bisa berkata-kata. “Kau bercanda,” katanya pada akhirnya. “Aku tidak pernah mendengarnya! Di acara apa dia berkata begitu!?”
“Kenapa kau mudah sekali dibohongi?” tanyaku.
Wajah Eun-hyuk benar-benar merah menahan kesal dan malu, membuatku harus menggigit bibir untuk menahan tawa. Dengan gemas dia meninju tas ranselnya dan menggigit jaket abu-abuku yang sedang tak kukenakan, lalu mengacungkan jari telunjuknya ke wajahku.
“Apa begitu menyenangkan mempermainkanku, hah!?” serunya marah.
“Sudahlah, aku mau tidur. Bangunkan aku kalau kita sudah sampai,” kataku sambil memejamkan mata, mencoba beristirahat.
Eun-hyuk berdecak nyaring, membuatku kembali membuka mata untuk meliriknya yang ternyata juga sedang melirikku—tetapi dengan marah. Aku mendesah sembari kembali menutup mata. Kutepuk pundak kiriku. “Sini,” panggilku.
Dengan cepat Eun-hyuk bergerak mendekat dan menyandarkan kepalanya di pundakku, bahkan mengambil kesempatan untuk bisa memelukku.
“Ahhh… nyaman sekali… Baby, aku rinduuuuu padamu…”
“Jangan membuatku jijik dan menendangmu lagi,” aku memperingatkan.
“Cih…”
- Lee Hyuk-jae / Eun-hyuk - Rumah Keluarga Lee -
Dengan sedikit gugup aku melirik ke arah Shin-woo, tapi tak bisa menebak dengan pasti perasaanya karena seperti biasa wajahnya tak menunjukkan perasaan apapun.
Semalam, karena kami tiba di rumah sangat larut, semua sudah tidur dan kedatangan kami hanya disambut seadanya oleh kak So-ra yang mengantar Shin-woo yang kelelahan ke kamar tamu, sedangkan aku sendiri langsung beristirahat di kamar lamaku.
Pagi inilah yang membuatku tegang, karena untuk pertama kalinya Ayah dan Ibu akan bertemu Shin-woo. Bagaimana reaksi mereka? Pendapat mereka tentang Shin-woo? Bagaimana pendapat Shin-woo tentang mereka. Itu semua yang membuatku cemas.
“Oh! Manis sekali! Lebih manis daripada yang kulihat di TV selama ini!” seru Ibu bagai penggemar yang girang bertemu idolanya. Ibu segera bangkit dari sofa yang didudukinya bersama Ayah dan kakak untuk menghampiriku dan Shin-woo. “Putraku memang pintar memilih!”
Aku tertawa puas. sikap Ibu yang ramah dan ceria seperti biasanya membuatku lebih santai dan tenang. “Tentu saja, aku kan putra Ibu,” candaku.
Shin-woo tersenyum sopan sambil membungkuk hormat pada Ibu dan Ayah. “Selamat pagi. Maaf karena semalam datang terlalu larut dan pagi ini terlambat bangun—“
“Ah, sudah, tak usah dipikirkan!” sela Ibu sembari menepuk-nepuk pundak Shin-woo. “Kami mengerti kesibukan kalian. Pasti sangat melelahkan. Lagipula ini masih pagi, belum sesiang yang kau pikirkan, hanya saja kami sekeluarga memang terbiasa bangun pagi-pagi sekali,” terang Ibu. “Selama di sini, kalian bersantai dan bersenang-senanglah.”
“Terima kasih,” sahut Shin-woo.
“Senang sekali akhirnya dapat bertemu denganmu secara langsung. Selama ini Hyuk sudah banyak bercerita tentangmu.”
Shin-woo melirikku sekilas. “aku juga sangat senang akhirnya dapat bertemu kalian. Maaf karena baru berkunjung sekarang,” katanya sopan.
“Tenang saja, kami mengerti,” kata Ibu. “Ah, kenapa berdiri begini. Ayo, duduk, duduk,” ajak Ibu sambil menuntun Shin-woo ke sofa
“Terima kasih, Nyonya—“
“Nyonya apa!” sergah Ibu. “Panggil aku Ibu.”
Shin-woo melirikku sesaat sebelum mengangguk. “Ya… Ibu,”
“Nah, begitu baru benar,” kata Ibu senang. “Memanggilku Nyonya rasanya seperti dengan orang asing saja, padahal aku ingin kita lebih akrab lagi.”
Shin-woo mengangguk sambil tersenyum. “Tentu saja. Terima kasih.”
“Shin-woo, melihatmu di awal-awal debut dan sekarang ini sepertinya kau jadi lebih kurus,” komentar kak So-ra.
“Benar,” sahut Ibu setuju. “Apa kau tidak makan dengan teratur? Pasti karena sibuk bekerja, ya? Kasihan sekali… sama seperti Hyuk-ku yang sekurus ikan asin ini,” tambahnya, membuatku merengut.
“Ikan asin apa yang punya otot sepertiku!?” protesku sambil mengangkat kaus yang kukenakan untuk memamerkan six pack di perutku.
Dengan gerak cepat Ibu memukul perutku dengan bantalan kursi. “Apa gunanya ini, hah!? Kalau wajahmu tetap setirus itu!?” omelnya.
Walau tidak tertawa atau tersenyum, binar di mata Shin-woo saat menatapku menunjukkan dengan jelas rasa puasnya melihatku dianiyaya Ibu. “Belakangan jadwal Aquamarine memang sangat padat, karena itu berat badanku turun beberapa kilo,” kata Shin-woo menjelaskan.
“Selama kalian di sini aku akan membuatkan makanan-makanan lezat!” janji ibu sambil menepuk-nepuk tangan Shin-woo yang terus digenggamnya. “Kalian harus makan banyak!”
Shin-woo mengangguk. “Aku sangat menantikannya,” komentarnya ramah.
Kekhawatiranku rupanya memang tidak beralasan, karena obrolan kami mengalir lancar dan menyenangkan. Ibu jelas sangat menyukai Shin-woo, begitu pula dengan kakak. Sedangkan Ayah… yeah, dia Ayah. Dia memang selalu pelit bicara, jadi aku memang tak berharap dia akan secerewet ibu dan kakak. Sejak tadi dia hanya mengamati dan mendengarkan perkataan Shin-woo dengan teliti dan tenang.
Sepertinya dia juga menyukai Shin-woo, tapi yeah, sekali lagi kutekankan, dia Ayah, tak ada yang tahu pasti apa yang dipikirkannya atau bagaimana perasaannya—kecuali Ibu yang telah hidup berpuluh tahun dengannya—karena dia tak pernah menunjukkan ekspresi apapun. Sebenarnya, saat bersama dengan Shin-woo aku jadi sering teringat pada Ayah.
“Apa kau serius dengan putraku?” tiba-tiba, mengejutkan kami semua, suara Ayah yang berat menyela obrolan kami.
Kulirik Shin-woo, dan melihatnya sedang balik menatap Ayah dengan tajam dan serius. Entah kenapa, aku pun merasa tegang menanti jawaban Shin-woo.
“Bagiku cinta dan hati bukan permainan,” jawab Shin-woo tenang, masih dengan wajah tanpa ekspresinya. “Aku menyukai Hyuk-jae. Aku serius dengannya.”
Aku tak dapat menahan seringai senangku. Shin-woo sangat jarang mengutarakan dengan kata-kata mengenai perasaannya padaku, jadi, mendengarnya berkata menyukaiku dan serius berhubungan denganku membuatku teramat senang dan terharu.
“Baby…” panggilku lembut, membuat gadisku itu mendelik sangar ke arahku. Kurentangkan kedua tangan dan mencondongkan tubuh untuk memeluknya. “Ugh!” erangku merasakan sikutannya di perutku. “Argh!” seolah belum cukup nyeri sikutan dari Shin-woo, kak So-ra pun menjewer telingaku.
“Jaga tanganmu, anak muda!” geramnya. “Kau bahkan tidak ingat di ruangan ini ada aku, Ayah, dan Ibu, hah!? Benar-benar…”
“Ya, ya, ya, sudah, lepaskan!” gerutuku.
“Kau—“
“Erhm.” Suara dehaman Ayah langsung membungkam mulutku dan kak So-ra dengan efektif. Selalu begitu sejak kami kecil. Perdebatan dan pertengkaran kami hanya bisa dihentikan oleh dehaman Ayah—cukup dengan dehaman, karena kami tak pernah punya nyali untuk melihat apa yang akan dilakukan Ayah setelah dehaman menyeramkannya.
Puas melihat sikap penurutku dan kakak, Ayah kembali memusatkan perhatian pada Shin-woo. “Berapa usiamu?” tanya Ayah.
“Dua puluh tahun,” jawab Shin-woo.
“Kau sudah cukup dewasa. Bila kalian memang serius, lebih baik segera menikah,” kata Ayah, mengejutkan kami semua.
“Eh!?” seruku kaget sekaligus senang, karena artinya Ayah merestui hubunganku dan Shin-woo.
“Ayah!” seru kak So-ra kesal. “Mana boleh Hyuk lebih dulu menikah dariku!?” omelnya.
“Kalau begitu cepat cari pria,” sahut Ayah santai.
“Ayahmu benar, mulailah berpacaran serius!” timpal Ibu pada kak So-ra.
Sementara Ibu dan kak So-ra sibuk berdebat mengenai calon suami, Shin-woo dengan tenang menganggapi perkataan Ayah.
“Kami memang serius berhubungan, Paman, tetapi pernikahan adalah persoalan yang amat penting. Aku ingin hanya menikah sekali seumur hidup, karena itu butuh banyak pertimbangan dan pengenalan diri lebih lanjut diantara kami sebelum melangkah ke tahap selanjutnya,” katanya. “Dan lagi, manajemen kami menambahkan persyaratan dilarang menikah hingga beberapa tahun mendatang dalam kontrakku. Jadi, pernikahan dalam waktu dekat jelas tidak memungkinkan—“
“Benarkah?” sela Ibu tertarik. “Mereka membuat persyaratan semacam itu? ah… tidak adil sekali… kenapa temanmu bisa menikah tak lama setelah kalian debut?”
Aku dan Shin-woo saling bertukar pandang. “Justru karena skandal hubungan Si-won dan Dae-jia lah kemudian persyaratan ini dibuat,” jawabku.”karena masih begitu muda, tak ada yang menyangka sama sekali kalau Dae-jia memutuskan untuk menikah cepat. Sebenarnya, sebelum mengadakan pesta pernikahan yang diliput media itu, mereka telah lebih dulu menikah diam-diam atas desakan Si-won. Saat melapor pada bos kami, sudah terlanjur basah, dia tak bisa berbuat apa-apa lagi. kemudian Dae-jia diduga sedang hamil, karenanya pernikahan yang semula berencana dirahasiakan cepat-cepat dipublikasikan.”
“Tapi ternyata dia tidak hamil, kan?” tanya kak So-ra.
“Memang tidak,” jawab shin-woo. “Dan untuknya sekarang di kontrak kami ditambahkan persyaratan untuk tidak boleh memiliki anak hingga beberapa tahun ke depan.”
Ibu mendesah. “Berat sekali menjadi idola… kuharap anak-anak kalian nanti jadi orang biasa saja,” katanya.
Aku menyeringai saat melihat wajah Shin-woo merona—sesuatu yang langka untuk disaksikan.
“Ah, tidak terasa kita sudah bicara panjang lebar, padahal sarapan belum disiapkan,” kata Ibu tiba-tiba sambil beranjak berdiri.
“Biar kubantu,” tawar Shin-woo.
“Oh, ayo, aku akan senang sekali mendapat bantuanmu,” sahut Ibu sambil tersenyum. “Apa kau pandai memasak?”
Aku tersedak tawa. “Dia Ratu mie instan,” kataku, yang dihadiahi tatapan membunuh dari Shin-woo.
Sesaat wajah ibu terlihat sedikit kecewa, membuatku menyesali mulut besarku. tapi kemudian dia kembali tersenyum. “Tidak apa-apa, kau bisa belajar. Dengan senang hati aku akan mengajarimu, terutama masakan kesukaan Hyuk-jae,” katanya.
Shin-woo mengangguk. “Terima kasih, Bu.”
“Aku akan ikut membantu kalian,” kataku ceria. Aku tak ingin jauh-jauh dari kekasihku selama liburan ini.
“Tidak,” tolak kak So-ra. “Kau hanya akan mengganggu.”
“Tapi— eh!? Ah… Ayah!“ keluhku saat tanpa bersuara ayah menarik kerah belakang kemejaku, menyeretku ke pintu luar bersamanya.
“Kau temani aku berkebun,” perintahnya tegas tak terbantahkan.
“Baik,” sahutku lesu.
- Cha Shin-woo -
Semenjak bangun pagi tadi, aku sangat gugup dan tegang. Di benakku hanya terbayang situasi-situasi terburuk yang akan terjadi saat pertemuanku dengan orangtua Eun-hyuk. Namun syukurlah semua berjalan cukup baik. Kakak dan Ibu Eun-hyuk sangat ramah. Walau terlihat dia sedikit kecewa karena aku tak bisa memasak, namun dengan telaten dia mengajariku. Tentu saja tak mungkin sekali latihan membuatku menjadi ahli, tapi aku berjanji pada diri sendiri akan mulai belajar memasak setelah kembali ke Seoul nanti.
Ayah Eun-hyuk terlihat jauh berbeda dengannya. sepertinya Eun-hyuk dan kakaknya mewarisi sifat ibu mereka, karena ayah mereka sangat tenang dan pendiam. Tatapannya yang tajam selama mengamatiku di ruang keluarga tadi membuatku sangat gugup. Walau dia menyuruhku dan Eun-hyuk segera menikah, namun aku tak yakin dia menyukaiku atau tidak.
“Nah, sudah,” gumam ibu Eun-hyuk setelah selesai menyusun makanan di meja makan. “Shin-woo, bisakah kau memanggil Hyuk dan ayahnya?” tanyanya padaku.
Dengan cepat aku mengangguk, lalu pergi ke luar untuk mencari mereka dan menemukan keduanya sedang berjongkok di depan semak mawar.
“Sarapan sudah siap,” kataku, membuat keduanya langsung menoleh menatapku.
“Baguslah, aku sudah lapar sekali,” sahut Eun-hyuk sambil bangkit berdiri dan mengusap-usap perutnya.
Sementara itu ayah Eun-hyuk masih tetap di posisinya, sibuk menyingkirkan duri-duri dari setangkai mawar merah muda. “Ayah, ayo, kita sarapan dulu,” ajak Eun-hyuk.
Tuan Lee bangkit berdiri, kemudian dengan tak terduga memberikan setangkai bunga mawar tersebut padaku. “Terimalah,” perintahnya.
Dengan kikuk—bingung dan terkejut—aku menerima bunga itu. “Terima kasih,” ucapku, tak bisa menyembunyikan rasa senangku. Aku selalu menyukai bunga. Dan terlebih, ini pemberian dari ayah kekasihku. Ini menunjukkan bahwa dia menerimaku, kan? Ragu-ragu aku menatap pria setengah baya itu, dan sempat melihatnya tersenyum kecil melihat reaksiku.
“Bunga apa yang kau suka?” tanyanya padaku.
“Aku suka semua,” jawabku apa adanya. “Tapi mawar memang sangat cantik,” tambahku sambil mencium kelopaknya.
“Eh? Kau suka bunga?” tanya Eun-hyuk kaget.
Tuan Lee menatap tajam putranya. “Kau kekasihnya tapi tidak tahu itu?” kritiknya.
Eun-hyuk berdeham. “Itu… dia tidak terlihat seperti tipe yang suka bunga,” katanya membela diri, membuatku memutar bola mata.
“Tak ada wanita yang tak suka bunga,” komentarku santai.
“Jadi kau tidak pernah memberi gadismu bunga?” tanya Tuan Lee lagi dengan dingin. “Pria macam apa kau ini?”
“Aku pernah!” sahut Eun-hyuk segera. “Ya, kan? Saat di acara music waktu itu!” katanya padaku, mengingatkanku pada penampilan perdana Aquamarine di sebuah acara music setelah debut kami.
“Hanya sekali itu,” komentarku sengaja. “Dan saat itu kita belum benar-benar berpacaran.”
“Apa aku tak pernah mengajarkan apapun padamu?” cerca Tuan Lee lagi.
“Ah, Ayah…” keluh Eun-hyuk. “Aku—“
“Kenapa lama sekali!?” seru kak So-ra dari depan teras. “Ayo, cepat sarapan!”
“Baik!” seru Eun-hyuk menyahuti.
“Nanti akan kuajak kau melihat-lihat koleksi tanaman bungaku,” kata Tuan Lee ramah sambil menepuk-nepuk pundakku sebelum berjalan memasuki rumah.
“Ah, terima kasih, Paman,” sahutku.
“Kenapa kau tak pernah bilang?” gerutu Eun-hyuk sembari kami mengikuti ayahnya memasuki rumah.
“Kenapa kau tidak mencari tahu?” balasku, membuat Eun-hyuk tak bisa berkomentar lebih lanjut.
- Eun-hyuk / Lee Hyuk-jae -
Jam baru menunjukkan pukul sebelas malam, tapi Ayah, Ibu, dan kak So-ra telah tidur. Hanya aku dan Shin-woo yang masih bangun. Menyalakan TV tanpa benar-benar menonton, kami lebih asyik bermain kartu. Poker. Permainan kesukaan kami. Dan sialnya, semakin hari Shin-woo semakin ahli saja.
“Seperti biasa, tak asyik bermain tanpa taruhan,” kataku.
“Taruhan apa kali ini?” tanya Shin-woo.
Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya sambil menyeringai. “Apa Strip Poker kedengarannya menyenangkan?” godaku, yang membuat Shin-woo segera mendorong wajahku kuat-kuat hingga aku terjengkang ke belakang.
“Isi otakmu selalu tak jauh-jauh dari hal semacam itu,” gerutu Shin-woo.
“Aku hanya bercanda,” protesku sambil memonyongkan bibir. “Hmm, kalau aku menang…” aku berpikir sesaat. “Ah, ya, saat di Oh! My School nanti, ketika giliranmu bicara, katakan ‘Kak Eun-hyuk, di hatiku hanya ada dirimu!’ bagaimana?”
Shin-woo tak berkomentar dan hanya menatapku tajam selama beberapa detik. “Kau membuatku menghilangkan niatku untuk mengalah darimu kali ini,” katanya datar pada akhirnya.
“Hei! Kata-katamu itu seolah aku amat buruk bermain poker, padahal aku yang mengajarimu!” gerutuku. “Kalau kau menang, apa yang kau mau aku lakukan? Berkata ‘Shin-woo, baby, aku cinta padamu’ di Strong Heart?”
“Kau mencoba membuatku tak ingin menang?” tanyanya dingin, membuatku merengut. “akan kupikirkan nanti setelah aku menang saja,” lanjutnya.
“Baiklah, terserah padamu,” kataku. “Ah, aku sangat tidak sabar ingin menonton Oh! My School episode mendatang!”
Shin-woo mendengus. “Cepatlah, kita mulai,” perintahnya.
Sejam kemudian…
“Argh! Sial! Kau pakai cara curang, ya!?” omelku setelah berkali-kali kalah darinya, yang dihadiahi pelototan terhina Shin-woo. “Ya sudah, katakan, apa maumu.”
“Aku belum memutuskannya. Nanti saja kuberitahu,” katanya.
“Hmm… jadi, mau apa lagi kita sekarang? Bermain kartu lagi?” tanyaku.
Shin-woo menggeleng. “Aku bosan,” jawabnya.
“jadi kau mau apa?”
“Tidak tahu.”
Berpikir sesaat, lalu aku memutar tubuh untuk memunggunginya. “Ayo, naik ke punggungku,” perintahku.
“Mau apa?” tanyanya curiga.
“Ayo, ada yang mau kutunjukkan padamu,” desakku.
“Kenapa kau harus menggendongku?”
“Kenapa kau terus mendebatku? Cepatlah.”
Dengan lambat Shin-woo mendekat, menempelkan tubuhnya ke punggungku dan mengalungkan kedua lengannya di leherku. Menyeringai senang, aku berlari kecil sambil menggendongnya menuju kamarku.
“Hei!” seru Shin-woo sambil memukul punggungku. “Ternyata cuma ke mari? Mau apa ke sini? Kau mau macam-macam, ya!?” tuduhnya.
Aku berdecak kesal sambil menurunkannya di kasurku, lalu membuka lemariku untuk menarik keluar sebuah kardus. “Ini, aku hanya ingin memperlihatkan barang-barang kenanganku,” gerutuku.
Shin-woo duduk di tempatnya sambil menoleh ke sana ke mari, melihat isi kamarku, terutama poster-poster yang tertempel di dinding.
“Tidak mengejutkan,” katanya datar, mengomentari poster gadis-gadis berbikini itu.
Aku berdeham. “Itu hanya koleksi masa mudaku,” kataku membela diri. “Sini, biar kulepas semua,” tambahku, lalu buru-buru melepas semua poster-poster seksi itu dari dinding. “Nanti akan kuganti dengan poster-poster Aquamarine, terutama postermu!” janjiku.
Shin-woo menatapku dengan wajah tanpa ekspresi. “Tak usah, aku tidak mau kau terus memandangi posterku sambil membayangkan yang tidak-tidak seperti ketika kau memandangi poster gadis-gadis itu,” katanya.
Aku tertawa sambil duduk di sebelahnya. “Tak perlu melihat poster atau fotomu pun aku sudah sering berkhayal—“
“Kau apa!?” potong Shin-woo cepat dan tajam.
“Bercanda, Baby,” kataku sambil tersenyum lebar. “Ini, lihat, album foto masa SMP-ku.”
“Kau terlihat aneh,” komentar Shin-woo sambil tertawa kecil. “Eh, siapa gadis berkuncir dua yang menempel padamu ini?”
“Oh… itu… emm… mantan pacarku,” jawabku tak nyaman.
Shin-woo melirikku sekilas. “Cantik,” komentarnya.
Kutusuk pinggangnya dengan jari telunjukku. “Kau lebih cantik,” rayuku.
“Tak usah gombal,” sahut Shin-woo sambil menepis tanganku. “Apa ini? surat cinta?” Shin-woo mengambil sebuah amplop merah muda dari dalam kardus.
“Eh, itu—“ aku berusaha merebutnya dari tangan Shin-woo tetapi gadis itu lebih gesit. Dia bergerak menjauh sambil membaca. “tidak penting sama sekali,” kataku.
Shin-woo berhenti membaca untuk melirikku. “Tidak penting tapi kau simpan?” sindirnya. “Kenapa tidak kau berikan surat ini padanya?”
“Erhm,” aku berdeham canggung sambil menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. “aku malu sendiri saat mau memberikannya, akhirnya tidak jadi.” Buru-buru aku bangkit dan merangkulnya. “sudah, tak usah dibaca lagi. Tidak penting, lebih baik lihat-lihat yang lain saja,” ajakku, membawanya duduk di kasur lagi.
Untungnya Shin-woo menurut dan kami melihat-lihat barang simpananku yang lain sambil aku menceritakan tentang kenangan-kenangannya.
“Jangan merayu gadis lain lagi walau hanya untuk memuaskan penonton,” sela Shin-woo tiba-tiba, di saat aku tengah menceritakan kenangan sebuah jam tangan.
“Apa?” tanyaku terkejut.
“Sebagai pemenang aku boleh meminta apa saja, kan?” sahut Shin-woo, masih tanpa ekspresi.
“Eh, iya… ya, benar, tapi…” aku masih kebingungan. “Baby, kau… ternyata kau benar cemburu, ya?” tanyaku girang.
“Sudahlah, aku mau tidur. Sudah malam,” kata Shin-woo sambil bangkit berdiri.
“Eh, tapi kita belum selesai bicara!” protesku, tetapi tak didengarkan oleh Shin-woo yang sudah keluar dan menutup pintu kamarku.
Aku tak bisa berhenti menyeringai. Ternyata dia memang cemburu! Dia memang tidak mau kehilanganku!
Kutempelkan telingaku ke dinding, mendengarkan suara Shin-woo memasuki kamar tamu yang terletak di sebelah kamarku.
“Baby,” panggilku, tetapi tak ada sahutan. “Aku janji tidak akan melakukannya lagi,” kataku. Tetap tak ada komentar dari Shin-woo, tetapi aku tak kecewa sama sekali, karena sudah sangat puas mengetahui dia cemburu padaku.
“Tidurlah,” akhirnya terdengar suara Shin-woo.
Aku tersenyum. “Ya, selamat malam. Mimpi yang indah. Mimpikan aku,” kataku. “Aku pasti akan memimpikanmu—“
“Sudah, jangan banyak bicara,” sela Shin-woo.
“Baik-baik,” kataku sambil membaringkan tubuh di ranjang. Tapi tiba-tiba sebuah pikiran melintas di benakku, membuatku kembali duduk di kasur dan menempelkan telinga ke dinding. “Baby…” panggilku. Tak ada tanggapan. “Shin-woooooo…”
“Apa!?” sergah Shin-woo galak.
Aku tersenyum membayangkan wajah kesalnya. “Mulai sekarang aku akan memberikan bunga-bunga cantik untukmu,” janjiku.
“Tak usah dipaksakan,” sahut Shin-woo datar, membuatku merengut sesaat.
Tapi suasana hatiku yang bagus membuatku tidak mau terpancing kata-katanya. “Dan aku juga akan membuat surat cinta untukmu,” kataku.
Shin-woo terbatuk canggung. “Hmm. Sudahlah, tidur saja,” perintahnya. Walau tak bisa melihat ekspresinya, aku tahu saat ini dia sedang merona malu.
“Baby…” panggilku lagi.
“Lee Hyuk-jae, tak bisakah kau diam—“
“Aku cinta padamu,” selaku tenang dan sungguh-sungguh.
Hening selama beberapa detik sebelum Shin-woo bersuara. “Aku juga,” ucapnya dengan kelembutan yang jarang terdengar olehku.
“Ahhh… baby, aku jadi ingin melihatmu lagi!” keluhku sambil bangkit dari ranjang dan bergegas keluar kamar.
Tetapi ketika hampir mencapai pintu, aku sudah dihadang oleh Ayah dan tongkat baseball kesayangannya yang diacungkan kearahku.
“mau ke mana kau?” tanyanya dingin.
“Eh, itu… anu, aku mau bicara pada Shin-woo—“
“Pria tak boleh memasuki kamar wanita yang bukan istrinya. Apalagi tengah malam seperti ini,” ceramah Ayah. “Kembali ke kamarmu. Cepat.”
“Baik…” sahutku pasrah sambil berbalik kembali ke kamarku. “Eh? Ayah mau apa!?” seruku ketika tiba-tiba Ayah mengambil kunci kamarku.
“Tidurlah. Besok pagi akan kubuka,” kata Ayah sebelum menutup pintu dan menguncinya dari luar.
“Ayah! Ayah! Aku bukan tahanan!”
“Kalau tidak begini kau pasti akan menyelinap ke kamar Shin-woo,” kata Ayah tenang. “Diam dan tidurlah.”
Dengan kesal aku kembali ke kasur, dan semakin kesal saat mendengar suara tawa Shin-woo dari kamar sebelah.
“tertawakan saja aku!” gerutuku.
“Salahmu sendiri,” balasnya.”Sudah, tidurlah. Aku akan memimpikanmu.”
“Benarkah!?” seketika aku kembali tersenyum lebar. “Baik, aku juga akan cepat tidur dan memimpikanmu. Selamat malam, Baby. Sampai jumpa besok.”
“Ya…” sahut Shin-woo dengan suaranya yang merdu.
The End
Ini sub FF OUR SECRET !!! karena lumayan banyak yang minta diceritain tentang pasangan SW-EH lagi, jadinya aku buat dee.. mian kalo hasilnya mengecewakan *mana lama ngerjainnya ketunda nonton video mulu.. hohoo
met baca n moga cukup ngobatin rasa kangen ma Eunhyuk & Shinwoo ^^v
By Destira ~Admin Park~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar