Senin, 01 Agustus 2011

DISASTER LOVE - Chap 7 - Fanfiction Super Junior -

Chapter 7



- Perjalanan menuju vila, di dalam bus -  

“Katanya kak Sung-min tadi sudah berangkat menyusul kita,” kata Kyu-hyun setelah memutus sambungan teleponnya. Karena cemas, ia menghubungi kantor KK Entertainment.

“Benarkah? Menggunakan taxi?” tanya Dong-hae. “Kasihan sekali dia. Kau seharusnya tidak lupa pesannya padamu.”

“Kalian juga tidak memperhatikan dia tidak ada, berarti bukan salahku sendiri,” bantah Kyu-hyun. “Oh ya, dia tidak menggunakan taxi, tapi motor—“

“Motor?” sela Ki-bum penasaran.

“Ya, katanya dia pergi berdua dengan Nona Kang. Kang Seo-min, maksudku,” jawab Kyu-hyun.

Hyun-in segera duduk tegak. “Kakak?” ucapnya terkejut.

Hea-in pun sontak menoleh untuk menatap Hyun-in. “Bukankah Seo-min bilang dia sibuk dan tak bisa ikut?” tanyanya dengan nada yang seolah-olah perubahan rencana Seo-min itu adalah kesalahan Hyun-in.

Diliriknya cepat Dong-hae untuk melihat reaksinya. Gawat bila Seo-min datang. Kemungkinan besar perhatian Dong-hae hanya akan tertuju padanya, batin Hea-in cemas.

Sementara itu, tanpa menyadari rasa cemas di hati dua bersaudari itu, Dong-hae tersenyum lebar. Bahkan dengan bersemangat ia membuka jendela dan mengeluarkan kepalanya untuk melihat jalanan di belakang bus, berharap dapat melihat Kang Seo-min melaju cepat mengejar bus dengan menggunakan motor Harley-nya. Dan walaupun harapannya itu tidak terkabul, ia tetap tersenyum senang membayangkan hari-harinya di vila nanti bersama gadis itu di sela waktu shooting.

“Kelihatan senang sekali,” komentar Ki-bum.

Dong-hae terkekeh. “Begitulah,” sahutnya. “Ah… semoga kak Sung-min dan Seo-min cepat menyusul kita.”




- Rumah Tuan Gil -   

Pria setengah baya penolong Sung-min dan Seo-min itu memang membawa mereka ke rumahnya, namun sesampainya di sana, ia segera pergi lagi seperti tujuannya semula karena ada urusan penting di Seoul. Perbaikan motor Seo-min yang rusak diserahkannya pada menantunya, Jang Han-dong, yang katanya memiliki usaha bengkel di Seoul.   

“Kalian tenang saja, aku akan berusaha sebaik mungkin memperbaiki motor ini secepatnya,” janji Han-dong. Ditatapnya Sung-min teliti sambil tersenyum lebar. “Suatu kehormatan bagiku dapat memperbaiki kendaraan seorang idola,” katanya, membuat Sung-min terkekeh.

“Sebenarnya, ini motor saya, bukan dia,” kata Seo-min tegas, membuat Sung-min geleng-geleng kepala.

“Oh? Begitu? Yeah, siapapun pemiliknya, aku bersedia membantu dengan senang hati,” kata Han-dong sabar.

“Terima kasih, Tuan Jang,” kata Seo-min.

“Nah, seperti kata ayah mertuaku tadi, beristirahatlah kalian di dalam, biar aku periksa dulu apa penyakit motor ini, he?”

Seo-min dan Sung-min sama-sama membungkukkan tubuh dan mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum meninggalkan garasi itu menuju rumah.

“Lee Sung-min!” terdengar pekikkan seorang wanita yang terlihat seumuran dengan Sung-min. “Aku tidak menyangka sama sekali… astaga… saat mendengar ayah bilang ada tamu yang… astaga, astaga, astaga… seorang member Super Junior ada di rumahku!”

Seo-min mencoba menutupi rasa bosannya melihat reaksi putri Tuan Gil itu terhadap kehadiran Sung-min yang menurutnya tak istimewa sama sekali.

“Maaf merepotkan,” kata Sung-min sopan dan ramah sambil membungkukkan tubuhnya. Senyum super star yang selalu ditampilkannya pada para fans itu kini ia sunggingkan khusus untuk wanita itu.

“Tidak, tidak merepotkan sama sekali!” bantah Gil Hye-ra, putri Tuan Gil, cepat. “Eh, ini… kekasihmu? Wah, apakah kalian sedang berkencan? Kabur dari kegiatan Super Junior, ya!? Romantis sekali—“

“Bukan!” seru Seo-min dan Sung-min kompak. “Kami… eh, rekan kerja,” jelas Sung-min. “Kami dalam perjalanan menuju lokasi shooting, tapi kemudian hujan deras dan motor mogok… begitulah.”

“Kasihan sekali! Ah, ayo, masuk, masuk,” ajak Hye-ra. “Sebentar, akan kucarikan kalian pakaian ganti.”

Beberapa saat kemudian, Sung-min keluar dari kamar Tuan Gil setelah berganti dengan pakaian pinjaman Hye-ra. ia tersenyum mengamati kaus pink besar bertuliskan: “I LOVE MY WIFE” itu. Di saat bersamaan, suara pintu yang membuka dan menutup kembali membuat pria itu mendongak, dan terkejut saat melihat Seo-min keluar dari toilet menggunakan kaus pink yang serupa dengannya namun bertuliskan: “I LOVE MY HUSBAND”.

Wajah cemberut Seo-min yang terpaksa harus mengenakan kaus pink norak itu semakin berkerut-kerut saat melihat apa yang dipakai Sung-min. bila bukan karena bajunya basah kuyup, ia tak akan sudi mengenakan kaus semacam ini. Sialnya pakaian yang ia bawa di tas ranselnya pun basah hingga juga tak dapat dipakai.

“Wah, cantik sekali!” seru Hye-ra yang baru keluar dari dapur. “Oh… kalian sungguh manis memakai kaus pasangan itu! Aku membelinya dua minggu lalu, sebelum menikah dengan suamiku, maksudnya ingin dipakai saat berbulan madu, tapi dia bilang itu norak dan kekanakan. Dia menolak untuk memakainya,” keluhnya.

Aku sependapat dengannya, batin Seo-min sambil menghela napas.

“Wah, sayang sekali, padahal menurutku baju pasangan semacam ini sangat bagus dan romantis, bukan begitu?”

“Benar sekali! Aku juga berpendapat begitu!” kata Hye-ra bersemangat. “Baju itu untuk kalian saja, toh tak terpakai oleh kami.”

“Eh, tidak perlu—“

“Woa! Terima kasih!” seru Sung-min, menyela penolakan Seo-min dengan cepat. “Aku sangat menghargainya. Warna pinknya sangat cantik.”

Wajah Hye-ra berseri. “Benar. Memang cantik, kan?” katanya gembira. “Ah, kalian bersantai saja, menonton TV, atau baca sesuatu, aku mau melanjutkan memasak di dapur—“

“Biar kami bantu,” tawar Sung-min.

“Tidak perlu—“

“Tidak apa-apa, kami dengan senang hati membantu, apalagi kami telah menyusahkan kalian. Bukan begitu, Nona Kang?” kata Sung-min.

“Tentu saja,” sahut Seo-min pada akhirnya. “Tapi aku tidak bisa memasak,” akunya.

“Kau tak bisa?” tanya Sung-min.

“Tidak.” Di Amerika, keluarganya memiliki pelayan Mexico yang sangat pandai memasak, dan di Korea, di rumah ayahnya selalu ada koki handal yang dapat menyediakan apa pun makanan keinginannya, karena itu hingga sekarang Seo-min merasa tak ada perlunya belajar memasak. Apalagi ibunya sendiri tak begitu pandai memasak, yang membuat Seo-min berpikir keahlian memasak bukan syarat mutlak untuk menjadi seorang istri.

“Hah… gadis-gadis jaman sekarang,” gumam Sung-min.

“Sudah, tidak apa-apa, Nona tidak perlu membantuku. Silakan beristirahat saja.”

“Ya, biar aku saja yang membantumu,” kata Sung-min pada Hye-ra. “Aku lumayan  bisa memasak,” tambahnya, dengan penekanan dalam kalimatnya untuk menyindir Seo-min.

“Wah, dapat memasak bersama member Super Junior! Aku pasti bermimpi!”



- Vila -  

“Sudah malam kenapa mereka belum datang juga?” gumam Dong-hae cemas sambil berjalan mondar mandir di beranda.

Terpaksa, sejak siang tadi mereka hanya merekam adegan yang tanpa Sung-min karena kedua orang yang ditunggu-tunggu tersebut tak kunjung datang. Kang Ha-jong yang khawatir atas keselamatan putrinya pun telah mengutus orang untuk melakukan pencarian di jalan menuju vila bahkan rumah sakit, berjaga-jaga bila terjadi kecelakaan, namun tetap tak ada kabar. Keduanya seolah menghilang di telan bumi.

Beranda yang awalnya dipenuhi banyak orang, semakin larut mulai berkurang, hingga akhirnya hanya tertinggal Dong-hae yang masih menunggu, dan Hea-in, yang berada di sisi terjauh beranda, mengamati pria itu.

Rencananya untuk mengubah image menjadi gadis dingin seperti kesukaan Dong-hae sepertinya benar-benar gagal. Sejak siang tadi tak sedikit pun Dong-hae bereaksi ataupun terkesan memperhatikan perubahan Hea-in. bahkan, semakin malam, pikiran Dong-hae sepertinya hanya terpusat pada penantian kedatangan Seo-min dan Sung-min.

Sial, maki Hea-in dalam hati. Sikap agresifku ditolak, tapi sikap dinginku justru semakin tak dihiraukan! Apa yang harus kulakukan untuk menarik perhatiannya!? Bila kuteruskan sikap dinginku, kurasa dia justru akan semakin tak memperhatikanku…

Bosan dengan keadaan tersebut, Hea-in memutuskan untuk kembali melakukan dengan caranya sendiri. Beranjak dari tempat duduknya, ia berajalan menghampiri Dong-hae dan menepuk pundak pria itu. Sontak Dong-hae berbalik.

“Oh, kau. Ada apa?” tanya Dong-hae.

Sedetik Hea-in bingung mencari alasan, lalu buru-buru menyorongkan susu kotak di tangan kirinya sambil meminum susu kotak lain dari tangan kanannya. Melihat Dong-hae yang diam saja, Hea-in menekankan susu kotak tersebut ke dada Dong-hae. “Ambillah,” katanya.

“Oh, terima kasih,” kata Dong-hae, menerima susu tersebut.

“Belum tidur?” tanya Hea-in.

“Ah… aku masih menunggu kedatangan kak Sung-min dan Seo-min,” jawab Dong-hae.

“Begitu,” gumam Hea-in sambil bersandar di pilar dan mengawasi ekspresi Dong-hae. “Siapa yang lebih kau khawatirkan? Sung-min… atau Seo-min?”

Dong-hae yang sedang meminum susu pemberian Hea-in, sedikit tersedak saat mendapat pertanyaan semacam itu. “Erhm… tentu saja aku mengkhawatirkan keduanya.”

“Benarkah?” komentar Hea-in tak yakin. “Kupikir kau lebih mengkhawatirkan adikku. Bukan begitu?”

“Itu—“

“Apa aku buruk rupa?” sela Hea-in cepat, membuat Dong-hae terdiam kebingungan.

“Kau tahu itu tidak mungkin,” kata Dong-hae pada akhirnya. “Kau cantik.” Ia tidak bohong ataupun mengatakannya hanya untuk menyenangkan hati Hea-in, melainkan karena wanita itu memang sangat cantik.

“Tapi tidak secantik Seo-min?” serang Hea-in lagi.

Selama beberapa menit yang rasanya seakan berabad-abad, Dong-hae tetap diam dan hanya menatap Hea-in tajam. “Maaf, tapi sebaiknya hentikan saja,” katanya lembut.

Tubuh Hea-in menegang. “Apa maksudmu?”

“Aku tidak pernah ingin menyakiti hati siapapun,” kata Dong-hae sabar. “demi kebaikanmu sendiri—“

“Apa saat ini kau sedang menolakku?” sela Hea-in tajam. sesuatu yang setajam pedang seolah menusuk hatinya.

Dong-hae menunduk menatap tanah sambil berdeham. “Maaf. Selama ini aku sudah berusaha untuk tidak menyakiti hatimu, dan berharap ketertarikanmu padaku hanya sementara, tetapi semakin lama… kurasa sebaiknya semua itu dihentikan sekarang sebelum terlalu jauh.”

Aku tidak benar-benar menyukainya… dia hanya piala yang harus kudapatkan… tapi… tapi kenapa penolakannya terasa begitu menyakitkan? batin Hea-in marah dan kecewa. Selama ini diam-diam dia menyadari tujuanku mencari perhatiannya… dia hanya berpura-pura tak tahu untuk menjaga perasaanku… sial, aku tak pernah dipermalukan seperti ini!

“Bagaimana bila aku tak mau menyerah?” tantang Hea-in setelah akhirnya bisa kembali bersuara.

Dong-hae segera mengangkat kepalanya untuk memandang ekspresi membangkang di wajah Hea-in. “Hea-in—“

“Bagaimana bila pada akhirnya aku bisa membuatmu bertekuk lutut padaku?” lanjut Hea-in lagi sambil berjalan mendekati Dong-hae hingga nyaris tak ada jarak di antara mereka. “bagaimana bila aku bisa membuatmu balik mengejar-ngejarku?”

Dong-hae mundur selangkah. “Jangan seperti ini,” pintanya halus.

Hea-in menangkap kemeja kotak-kotak yang dikenakan Dong-hae, mencegahnya semakin menjauh. “Seo-min tak akan pernah menjadi kekasihmu,” ucapnya di dekat bibir Dong-hae. “ingatlah kata-kataku ini,” lanjutnya, lalu berjalan menuju vila keluarganya, yang bersebelahan dengan vila yang disewa untuk shooting tersebut.

“Lee Dong-hae,” gumam Hea-in kesal. “Brengsek!”



Hyun-in keluar dari kamar karena tak bisa tidur, ditambah lagi karena kamar-kamar lain dipakai oleh para artis pemeran utama, ia harus rela berbagi kamar dengan kakaknya, sedangkan Hea-in sepertinya sedang dalam suasana hati yang sangat buruk. Tak ingin memulai pertengkaran tak penting, Hyun-in memilih menyingkir sementara.

Di ruang tengah duduk Kyu-hyun seorang diri bermain PS. Mendengar kehadiran orang lain, Kyu-hyun mendongak dan melirik Hyun-in sekilas sebelum kembali berkonsentrasi pada permainannya.

Tanpa ada tujuan pasti, Hyun-in bergerak menuju jendela. “Oh!” serunya pelan saat melihat sosok Dong-hae yang duduk seorang diri di beranda vila tetangganya yang disewa untuk shooting. Kenapa dia di sana? Kenapa dia belum tidur selarut ini? batin Hyun-in bertanya-tanya.

Setelah menimbang-nimbang sebentar, Hyun-in memantapkan hatinya untuk mendatangi pria itu. Namun baru sampai di depan pintu, ayahnya yang keluar dari ruang kerja menghentikannya.

“Kau mau ke mana malam-malam begini?” tanya Kang Ha-jong.

“Eh, ke sebelah sebentar…”

“Sudah malam, istirahatlah,” perintah Kang Ha-jong lembut namun tegas. “Sudah cukup aku mengkhawatirkan kakakmu yang tak kunjung datang tanpa harus dibuat semakin cemas kalau-kalau kau juga ikut menghilang.”

Tapi ini hanya di sebelah rumah, itu yang ingin dikatakan Hyun-in untuk memprotes ayahnya, namun tak diucapkannya. Ia memahami perasaan ayahnya. Dan walaupun tak akrab dengan Seo-min, ia pun mengkhawatirkan kakaknya itu. Sebenarnya itu jugalah salah satu alasan mengapa ia belum tidur.

“Ah! Kau! Bagus. Kebetulan sekali,” ucap Kyu-hyun begitu Hyun-in kembali melintasi ruang tengah vila. “Kemari, kemari, temani aku!” paksanya menarik lengan Hyun-in untuk duduk di sofa di sisinya. “Musuhnya sulit untuk kuhadapi sendiri. Kak Ki-bum sudah tidur, kak Dong-hae entah ke mana, dan kak Sung-min belum juga datang, jadi kau saja yang membantuku.”

Tanpa semangat Hyun-in menatap layar TV, dan melihat beberapa pria berseragam tentara. “Permainan perang? Aku tidak bisa memainkannya,” tolaknya halus.

“Pasti bisa. Gampang saja,” Kyu-hyun mencoba meyakinkan.

Hyun-in menghela napas. “Aku sudah memperingatkanmu—“

“Ya, ya, ya, ayo kita mulai. Aku sudah tidak sabar!” sela Kyu-hyun bersemangat.

Beberapa saat kemudian…

“Hei! Jangan lakukan! Jangan, jangan!” teriak Kyu-hyun tanpa mengingat waktu yang sudah larut malam.

“Apa? Apa? Aku tidak mengerti… bagaimana ini… eh!?”

“Argh!” erang Kyu-hyun, dengan gemas mengacak-acak rambutnya sendiri tanpa memperdulikan stick PS-nya yang jatuh di lantai. Ia setengah berputar menghadap Hyun-in yang duduk di sebelah kanannya. “Sudah kubilang berulang kali, jangan! Kenapa kau malah menembakku terus!? Musuh ada di depan! Memangnya kau ada dendam apa padaku!?”

Hyun-in kebingungan tak tahu harus berkomentar apa, namun di saat bersamaan juga merasa geli. “Aku tidak tahu…” bantah Hyun-in lemah sambil mencoba menutupi seringainya. “semua terlihat sama. Aku tidak tahu mana yang musuh mana yang teman…”

“Aish… seragam kita sedikit lebih tua warnanya!” omel Kyu-hyun.

“Terlihat sama saja saat di ruang gelap tadi,” sahut Hyun-in geli. “Maaf. tapi sudah kubilang aku tidak bisa main.”

“Hah… sudahlah, aku main sendiri saja,” gerutunya sambil membungkuk mengambil sticknya lagi.

Hyun-in tak berkomentar. Ia mendongak menatap jam diding. Sudah hampir jam dua. “Kau tidak istirahat? Sudah hampir jam dua. Bukankah besok kalian shooting dari pagi?” tanyanya pada Kyu-hyun.

Pemuda itu ikut melirik jam sekilas sebelum kembali menatap TV. “Kak Sung-min belum datang,” ucapnya. “Aku tidak bisa tidur.”

Hyun-in melirik pemuda itu sambil tersenyum. Sebagai ELF, ia tahu betapa dekatnya Kyu-hyun dan Sung-min. bahkan tak sedikit fans yang memasangkan mereka sebagai kekasih. Menggelikan, menyalah artikan persaudaraan mereka seperti itu, pikir Hyun-in.

“Kuharap kakak dan kak Sung-min baik-baik saja,” kata Hyun-in beberapa saat kemudian.

“Yak! Mati kau!” geram Kyu-hyun pada musuhnya sesaat sebelum ia menoleh memandang Hyun-in. “Kau mengkhawatirkan kakakmu? Kang Seo-min?”

“Memangnya kenapa?”

Kyu-hyun mengangkat bahu acuh tak acuh. “Kalian tak terlihat seakrab itu,” komentarnya. “Apalagi dia sainganmu.”

“Eh?”

“kak Dong-hae,” jelas Kyu-hyun.

Hyun-in terdiam. Kyu-hyun benar. “Tapi kakak tidak menyukai kak Dong-hae,” kata Hyun-in, mencoba meyakinkan diri sendiri dengan hal tersebut.

“Benarkah?” tanya Kyu-hyun tak percaya. “Kupikir dia agak menyukai kak Dong-hae walau tak mau menunjukannya…”

Sebenarnya, Hyun-in pun mengkhawatirkan hal tersebut. Belakangan ia mulai curiga pada perubahan perasaan kakaknya, tapi… gadis itu menggeleng cepat. Tidak, kak Dong-hae bukan tipe yang disukai kakak, batinnya. Aku tak perlu khawatir.



 - Rumah Tuan Gil -     

“Ssttt… jangan ribut, nanti mereka dengar,” terdengar suara Jang Han-dong bicara pada istrinya.

Hye-ra terkikik genit. “Geli!” serunya. “Ah! Suamiku! Ahh….”

Walau berkata tak ingin membuat keributan, pasangan baru tersebut justru membuat kehebohan di tengah malam yang sepi, membuat dua anak manusia lain yang tengah berbaring di ruang keluarga yang berdekatan dengan kamar pasangan itu, merasa jengah.

Sung-min mendesah. Rumah ini tak memiliki telepon, dan pasangan baru itu sengaja tak membawa ponsel agar tidak diganggu kenalan mereka, sehingga ia dan Seo-min tak dapat menghubungi kru Disaster Love ataupun teman dan keluarga mereka.

“Ahhh… ooohhh… sayang…” kembali terdengar lagi suara erangan dari dalam kamar.

“Ergh,” geram Seo-min kesal sambil menutupi telinganya dengan bantal. Gelisah dan tak bisa tidur, ditambah keributan yang ditimbulkan si pengantin baru, ia berbalik untuk mencari posisi tidur lain yang lebih nyaman, namun justru semakin jengah saat berhadap-hadapan dengan Sung-min. Keduanya berdeham canggung sambil bergegas untuk saling memunggungi.

Merasa harus mengatakan sesuatu, Sung-min memaksakan diri. “Semua pasti kebingungan mencari kita,” bisiknya.

“Hmm. Yeah—“

“AHHHHHH!!!” sahutan Seo-min tenggelam dalam jerit senang penuh kepuasan dari Hye-ra.

Sung-min berdeham semakin keras. “er… itu, kuharap besok perbaikan motormu… bisa cepat diselesaikan sehingga kita bisa segera pergi…”

“Hmm,” gumam Seo-min. “Sebaiknya kita—“

“HYE-RAAAAAAAAAAAA!!!” suara pekikan Han-dong membuat Seo-min seketika terdiam. “Ahh… ah… ah…”

Sung-min menghembuskan napas keras sambil mengipasi wajahnya. “Kau mau bilang apa?”

Hening sesaat. “Sebaiknya kita tidur saja,” sahut Seo-min asal. Seolah bukan hal itulah yang memang mereka berdua coba sejak tadi.

“Oh, ya, memang.”

“Hmm. Bagus.”

Hah… apa ada suasana yang bisa lebih canggung dan memalukan dibanding ini? gerutu Sung-min dalam hati.



- Vila -  

Setalah berjam-jam menanti, pada pukul dua Dong-hae memutuskan untuk beristirahat. Sepertinya tak mungkin Seo-min dan Sung-min datang sekarang. Ia hanya dapat mendoakan keselamatan mereka.

“Imut…” gumam Kyu-hyun, termenung memandangi Hyun-in yang tertidur di sofa di sisinya.

“Hei,” panggil Dong-hae, melihat adiknya itu tak menyadari kedatangannya.

“Oh, kak,” ucap Kyu-hyun sedikit kaget.

“Kenapa Hyun-in tidur di sini?” taya Dong-hae.

“Dia menunggu kakaknya, tapi rupanya kelelahan dan akhirnya tertidur,” jawab Kyu-hyun. Ia berdiri dan meregangkan tubuh sambil menatap jam. “Sebenarnya ke mana perginya kak Sung-min? dia tidak sedang kawin lari dengan Nona Kang Seo-min, kan”

“Jangan bicara yang tidak-tidak!” omel Dong-hae sambil memukul kepala adiknya itu dengan bantalan sofa.

“Kenapa memukulku?” gerutu Kyu-hyun. “Setidaknya scenario itu jauh lebih baik dibanding membayangkan mereka kecelakaan.”

Dong-hae berdecak kesal. “Sudahlah, tidur saja kau sana! Tidur! Tidur!” perintahnya. “Semakin banyak kau bicara semakin membuatku ingin memukulmu.”

“Bagaimana dengan dia?” tanya Kyu-hyun, menunjuk Hyun-in.

“Emm…”

“Kalian tidur saja, biar aku yang mengurusnya,” kata Hea-in, tiba-tiba, mengejutkan kedua pria itu.

Dong-hae menatap wajah Hea-in sekilas dengan canggung. “Selamat malam, kalau begitu,” katanya, lalu bergegas masuk ke kamar tamu yang ditempatinya bersama Ki-bum.

“Butuh bantuanku?” tawar Kyu-hyun dengan lagak sok keren di depan Hea-in.

Wanita itu memandanginya cermat. “sebenarnya aku agak meragukan postur tubuhmu,” kata Hea-in, membuat Kyu-hyun cemberut. “Tapi Hyun-in tak berat, bisa kau bawa dia ke kamar?”

“Menggendongnya?” tanya Kyu-hyun kaget.

“Yeah, sepertinya kau tak sekuat itu. Lupakan saja, biar aku—“

“Jangan meremehkanku,” sela Kyu-hyun dingin sambil menggendong Hyun-in yang masih tertidur pulas.

Hea-in tersenyum licik. “silakan antar dia ke kamar kalau begitu,” katanya santai.



Pada pukul sepuluh, barulah perbaikan motor Seo-min dapat diselesaikan. Setelah mengucapkan terima kasih dan bertukar kartu nama, akhirnya Sung-min dan Seo-min dapat melanjutkan perjalanan mereka. Beberapa kali berhenti menanyakan arah, sebelum akhirnya sampai juga di kompleks vila.

“Itu mereka! Sung-min dan Nona Kang!” seru seorang kru, membuat semua kepala menoleh.

Seo-min memarkir motornya di depan vila keluarganya. Baru saja ia dan Sung-min melepas helm, bahkan belum sempat turun dari motor, orang-orang telah mengerubungi mereka dan menanyakan serentetan pertanyaan.

“Syukurlah kau tidak apa-apa,” kata Kang Ha-jong penuh syukur. Dipeluknya erat tubuh kurus putrinya tersebut. “Ayah sangat mengkhawatirkanmu.”

Seo-min menegang kaku dalam pelukan ayahnya. Ia terkejut, canggung, namun di saat bersamaan merasa… hangat. Sejak kecil ayahnya jarang menunjukkan kasih sayang seperti ini padanya.

Saat mengangkat kepalanya, pandangan Seo-min bertumbukan dengan Dong-hae yang berdiri dua langkah di belakang Kang Ha-jong, memandang Seo-min sembari tersenyum, membuat gadis itu segera memalingkan muka karena gugup.

Beberapa menit kemudian, setelah berganti pakaian dengan kaus putih besar nyaman yang disediakan di vila, Seo-min mendatangi lokasi shooting. Saat ini seluruh kru tengah berkumpul di depan garasi, merekam adegan peran Dong-hae dengan si putri bungsu keluarga Choi yang didekatinya.

Ahn Bong-soo, sang sutradara yang juga sepupu para gadis Kang, dibuat frustasi oleh kehadiran Seo-min yang terus ikut campur dalam pengarahan adegan.

“Ini, ini, kau saja yang jadi sutradaranya!” ambek Bong-soo sambil berdiri dan menyorongkan kursi sutradaranya.

Seo-min mendelik geli. “Jangan kekanakan,” ejeknya.

“Kau menggerecokiku!” gerutu Bong-soo.

“Aku kan hanya memberitahu bagaimana yang lebih bagus,” bantah Seo-min.

Bong-soo menyeringai mengerikan. “Aku sudah bertahun-tahun menjadi sutradara, aku tahu apa yang harus kulakukan, Seo-min,” katanya penuh penekanan. “Jadi, kalau tak mau kuusir, duduk diamlah disini layaknya gadis kecil yang manis, he?”

“kerjakan saja pekerjaanmu, tak usah mengurusiku,” sahut Seo-min santai.

Setelah menghembuskan napas kesal untuk terakhir kalinya, Bong-soo menyuruh semua kembali bersiap. “yak, action!” serunya.

Dong-hae sebagai Yoon Seung-ho keluar dari mobil, bergegas mengejar gadis yang disukainya. “Tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku!” pintanya penuh penjiwaan.

“Tidak ada yang perlu dijelaskan,” kata si artis wanita dingin sembari mencoba menarik lepas tangannya dari pegangan Dong-hae.

Sesuai tuntutan peran, dengan cepat Dong-hae menarik wanita itu, mendorongnya ke mobil, dan mengimpitnya di sana, mengurungnya dengan kedua tangan dan tubuhnya sendiri.

“Aku menyukaimu,” kata Dong-hae serius sembari menurunkan kepalanya mendekati wajah wanita itu, berniat menciumnya.

Tanpa sadar, Seo-min meremas ujung bawah kausnya selama melihat adegan tersebut. “Jelek! Kurang penjiwaan!” katanya dengan suara lantang sesaat sebelum bibir Dong-hae benar-benar menyentuh bibir si wanita.

Bong-soo yang merasa adegan itu bagus-bagus saja, berniat tak menghiraukan sepupunya tersebut, namun Dong-hae segera berputar dan menjauhi si artis. Dengan wajah bersinar girang—yang sebenarnya aneh, karena aktingnya baru saja dikritik—ia menatap Seo-min.

“Kau benar,” katanya bersemangat. “Aktingku tadi buruk.”

“Eh? Oh, ya, begitulah,” sahut Seo-min terkejut Dong-hae menyetujui pernyataan asalnya yang timbul hanya karena kecemburuannya barusan.

Dong-hae mendekati Seo-min dan menarik tangan gadis itu untuk berdiri. “Kau pembuat naskahnya. Kau paling tahu apa yang terbaik untuk memperindah adegan ini,” katanya. “Karena itu aku mohon pengarahanmu.”

“Apa!?” seru Seo-min terkejut.

Bong-soo bersandar di kursinya sambil tertawa senang dapat mengerjai sepupunya itu. “Benar juga. Sejak tadi kau hanya terus mengkritik. Coba tunjukkan bagaimana seharusnya Dong-hae melakukannya.”

“Eh, tapi itu—“

“Kumohon,” pinta Dong-hae semanis madu, membuat siapapun yang melihatnya tak akan tega menolaknya. “Demi keberhasilan film ini.”

Seo-min berdeham, mencoba meredakan debaran jantungnya. “Sebenarnya yang tadi itu sudah sangat bagus, jadi silakan lanjutkan saja—“

“Oh tidak,” sela Bong-soo. “Setelah dipikir-pikir memang ada kekurangan. Contohkan saja, apa susahnya,” katanya.

“Kau!” geram Seo-min, memelototi sepupunya yang tengah menyeringai tersebut.

“Contohkan langsung dari saat Dong-hae menarik si gadis dan berniat menciumnya,” kata Bong-soo, semakin bersemangat.

“Ya,” timpal Dong-hae girang.

“Tidak perlu,” Seo-min bersikeras karena malu.

“Hah, sudahlah, apa yang diributkan, ini hanya adegan ciuman,” kata Bong-soo. “Kau bahkan sudah melakukannya sejak SMP.”

“Ahn Bong-soo!” maki Seo-min tajam.

“Eh? Sejak SMP? Benarkah?” tanya Dong-hae penasaran.

Wajah Seo-min merona merah. “Sudahlah, jangan banyak tanya. Kita mulai saja.”

“Baik,” sahut Dong-hae, lalu berkonsentrasi pada perannya. “Tunggu! Dengarkan dulu penjelasanku!” pintanya sambil menangkap lengan Seo-min.

“Tidak ada yang perlu dijelaskan,” kata Seo-min dingin sembari mencoba menarik lepas tangannya dari pegangan Dong-hae.

Dengan cepat—bahkan terlihat kelewat bersemangat—Dong-hae menarik Seo-min, mendorongnya ke mobil, dan mengimpitnya di sana, mengurung gadis itu dengan kedua tangan dan tubuhnya sendiri seperti yang sebelumnya dilakukannya pada si artis wanita tadi.

“Aku menyukaimu,” kata Dong-hae setulus hati, lalu menundukkan kepalanya. Dekat… semakin dekat…

Jantung Seo-min seolah hendak melompat keluar dari tempatnya. Seperti kata sepupunya, ini bukan ciuman pertamanya, tapi terasa seperti itu. Ia seolah kembali menjadi gadis kecil yang gugup dicium oleh kekasih pertamanya…

“Aku benar-benar menyukaimu,” bisik Dong-hae, padahal kalimat tersebut tak ada dalam naskah.

Seo-min meneguk air liurnya gugup. Ia mengalihkan pandangan ke samping. “Sudah. Ini… bagus,” katanya dengan suara tercekat. “Hentikan!”

Namun Dong-hae tak mendengarkan. Ia justru semakin merapatkan tubuhnya pada tubuh Seo-min. jarak antara bibirnya dan bibir gadis itu nyaris tak ada. “Tapi aku tidak mau.” Dong-hae tersenyum menggoda, sesaat sebelum memajukan kepalanya sedikit lagi…



To Be Continued...

By Destira ~Admin Park~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar