CHAPTER 9
- Vila -
Dong-hae mengetuk pintu kamar itu untuk ketiga kalinya, dengan sabar menanti Seo-min membukakan pintu. Semalam gadis itu tidak kembali ke pesta. Hal yang disayangkan sekaligus disyukuri Dong-hae. Sayang karena ia masih ingin berdekatan dengan gadis itu, tapi juga bersyukur karena hal tersebut membuat Seo-min tak perlu melihat Hyun-in menciumnya. Karena itu, pagi ini, selagi para kru bersiap-siap, ia ingin bertemu Seo-min untuk mengajaknya sarapan bersama.
Klik. Suara pintu yang terbuka membuat Dong-hae tersenyum. Tetapi bukan Seo-min yang berdiri di hadapannya, melainkan Hea-in yang hanya mengenakan gaun tidur hitam mini dan tipis yang hanya dilapisi kimono merah tua yang sebenarnya tak ada gunanya untuk menutupi tubuh.
Mata Dong-hae terbelalak dan sesaat—sebagaimana pria normal—ia tak bisa mengalihkan pandangan dari kemolekan tubuh Hea-in yang terpampang di hadapannya, namun segera setelah hilang keterkejutannya, ia memalingkan wajahnya yang merona merah.
Hea-in mengamati reaksi pria di depannya dengan tersenyum sinis. Pria tetap pria. Sekalipun dia bilang tak menyukaiku, melihatku seperti ini tetap membuatnya bereaksi, pikirnya kesal.
“Apa yang membuat seorang Lee Dong-hae mendatangi kamarku sepagi ini?” tanya Hea-in dengan nada merayu.
“Eh, itu, aku… apa Seo-min ada?” tanya Dong-hae, masih tanpa menatap Hea-in.
Senyum di wajah Hea-in menghilang dengan cepat mendengar nama adiknya. “untuk apa mencari yang tak ada?” jawabnya. Wanita itu mengamati Dong-hae selama sedetik sebelum menerangkan. “Dia sudah keluar pagi-pagi sekali.”
“Oh, begitu. Ehm… terima kasih, kalau begitu aku pergi—“
Hea-in segera menghentikan kepergian Dong-hae dengan menangkap pundak pria tersebut. “Bagaimana rasanya?” bisiknya di punggung Dong-hae.
“aku tidak mengerti—“
“Dicium adikku Hyun-in tersayang?”
Dong-hae memutar kepalanya menatap Hea-in. seingatnya semalam wanita itu tak ada di pesta saat kejadian mengejutkan tersebut berlangsung, jadi bagaimana bisa? Apa dia mendengar dari orang-orang yang bergosip?
Melihat Dong-hae yang hanya terdiam kebingungan di hadapannya, Hea-in melangkah semakin dekat dan menempelkan jari telunjuknya di bibir pria itu. “Kalau kau bertanya padaku, jawabannya adalah aku sangat tidak suka. Aku tidak suka melihatnya. Sangat tidak suka.”
“Erhm… Nona Kang—“ Dong-hae berusaha beranjak mundur, tetapi Hea-in langsung mengalungkan tangannya di leher pria itu.
“Rambut ini,” ucap Hea-in sembari menyentuh rambut Dong-hae. “Telinga ini, wajah ini, mata ini, hidung ini, dan bibir ini…” ia terus menyentuh tempat-tempat yang disebutnya. “tak ada wanita lain yang boleh menyentuhnya selain aku,” katanya tegas.
Dong-hae berdeham canggung sembari menepis tangan Hea-in. Hati dan otaknya mungkin memang tak tertarik pada Hea-in, tapi tubuh pria Dong-hae menghianatinya. Belaian wanita itu membuat kulitnya meremang. “Nona Kang—“ mulainya lagi dengan hati-hati.
“Tak usah dikatakan, aku tahu apa yang mau kau ucapkan,” sela Hea-in. “Aku belum menyerah, asal kau tahu saja. Suatu saat Lee Dong-hae akan menjadi milik Kang Hea-in. kupastikan itu. jadi, sebelum itu terjadi, jangan biarkan gadis lain menyentuhmu lagi,” katanya memperingatkan sembari tersenyum tipis. “Ah, kita bisa melanjutkan obrolan yang menyenangkan ini nanti. sekarang aku harus mandi dan bersiap-siap. Sampai jumpa.” Ia melangkah mundur masuk ke kamarnya lalu menutup pintu dengan halus di hadapan Dong-hae yang masih terpaku di tempatnya.
“Wanita benar-benar menyeramkan,” gumam Dong-hae sembari berjalan pergi dengan menggeleng-gelengkan kepala.
Ia baru saja keluar dari vila, saat melihat Seo-min dan Sung-min tengah berbicara dengan sepasang pria dan wanita di depan vila yang menjadi lokasi shooting.
Tersenyum puas berhasil menemukan Seo-min, Dong-hae melangkah ringan menghampiri mereka. Tetapi langkahnya memelan dan senyumnya perlahan memudar karena saat sudah semakin dekat ia melihat bagaimana Seo-min dan Sung-min bertukar pandang penuh arti dan sama-sama memalingkan wajah yang merona merah.
Ada apa ini? kenapa mereka bereaksi seperti itu terhadap satu sama lain? pikir Dong-hae curiga. apakah benar terjadi sesuatu saat mereka bermalam di luar berdua? Tidak, tidak mungkin. kak Sung-min tahu aku menyukai Seo-min, dia tak akan mengkhianatiku. Dan Seo-min jelas tak menyukai kak Sung-min. benar, kan?
Pasangan baru penolong Seo-min dan Sung-min datang berkunjung untuk mengambalikan jaket kulit Seo-min yang ketinggalan di rumah mereka. Kemesraan kedua orang itu, dan suara tawa cekikikan merekalah yang membuat Seo-min dan Sung-min teringat pada suara-suara percintaan yang keduanya dengar saat menginap malam itu.
Seo-min dan Sung-min saling bertukar pandang, tanpa kata berbagi rahasia mengenai apa yang tanpa sengaja mereka dengar malam itu, dan segera memalingkan wajah karena sama-sama jengah. Pada saat itulah Seo-min melihat keberadaan Dong-hae. Ekspresi gadis itu mengeras karena ia langsung teringat pada ciuman Dong-hae dan Hyun-in semalam.
“… kami akan kembali ke Seoul hari ini. sebenarnya setelah mengantarkan jaket ini, kami akan langsung pergi,” kata Gil Hye-ra pada Seo-min dan Sung-min.
“Terima kasih,” ucap Seo-min. “Maaf terus merepotkan kalian.”
“Oh, tidak sama sekali!” bantah Jang Han-dong. “Baiklah, kami pergi dulu. Senang berkenalan dengan kalian.”
“Kami yang bersyukur bertemu orang-orang sebaik kalian,” kata Sung-min ramah.
“Hati-hati di jalan,” kata Seo-min. “Dan sekali lagi, terima kasih banyak.”
Setelah pasangan tersebut pergi, Dong-hae langsung menghampiri Sung-min dan Seo-min. “Siapa mereka?” tanyanya penasaran.
“Orang-orang yang menolongku dan Nona Kang saat motor mogok waktu itu,” jawab Sung-min, sementara Seo-min memilih mengabaikan Dong-hae dan berjalan pergi.
Melihat gelagat gadis itu, Dong-hae bergegas mengikutinya. Dan saat sampai di teras vila keluarga Kang, Dong-hae menghadang langkah Seo-min.
“Tak mengucapkan selamat pagi padaku?” goda Dong-hae.
Seo-min menatap senyum manis Dong-hae dalam diam. Begitu tampan… begitu manis padaku, batinnya penuh sesal sambil menunduk. “Selamat pagi,” ucapnya datar.
Dong-hae sedikit mengerutkan kening. Ada sesuatu yang salah. Entah apa, tapi ia bisa merasakannya. “Kau sudah sarapan?” tanyanya, tetap ceria.
“Sudah,” jawab Seo-min singkat. “Bisakah kau menyingkir? Aku mau lewat.”
“Apa kau tidak lelah terus bersikap ketus padaku?” goda Dong-hae lagi.
Sesaat terdiam, Seo-min akhirnya memutuskan inilah saat yang tepat untuk menjauhkan Dong-hae darinya. “Jangan buang-buang waktumu untuk mendekatiku—“
“Aku tidak merasa membuang-buang waktu,” sela Dong-hae sembari tersenyum. “Aku menyukaimu, jadi—“
“Tapi aku sudah menyukai orang lain,” Seo-min balik menyela.
Bukan hanya Dong-hae yang terkejut dengan pernyataan tersebut, Seo-min sendiri pun terkejut. Saat ide tersebut melintas di benaknya, tanpa benar-benar sadar ia mengucapkannya.
“Tapi… katamu… hari itu kau bilang kau tidak memiliki kekasih,” protes Dong-hae tak percaya.
Berusaha terlihat tenang dan meyakinkan di saat harus mengingkari hatinya, Seo-min bersedekap dan menatap Dong-hae dingin. “Hanya karena aku tidak memiliki pacar bukan berarti tak ada pria yang kusuka,” katanya kaku.
Mata Dong-hae menyipit curiga. “Apa kau mengatakan ini hanya agar—“
“Tak usah berspekulasi tak penting,” sela Seo-min. “Selama ini aku terus menjaga jarak darimu, berharap ketertarikanmu padaku hanya sementara, tetapi ternyata itu tidak terjadi. Kau yang seperti ini menggangguku. Hentikan sampai di sini saja.” Suara Seo-min yang semula lantang semakin lama semakin memelan.
Aku mulai menyukaimu, tapi aku tidak mau menyakiti hati adikku, batin Seo-min sedih.
Sambil menundukkan kepala agar Dong-hae tak dapat melihat ekspresinya, Seo-min bergegas masuk ke dalam, meninggalkan pria itu di teras. Di ruang tamu, Seo-min menghentikan langkahnya dan setengah berputar untuk melihat punggung Dong-hae yang masih tak bergerak sedikitpun.
Tak banyak pria sepertinya… pria tampan dan penuh talenta yang memiliki sifat manis dan terlihat benar-benar menyukai gadis sepertiku. Yang tak perduli dengan kekasaranku dan tetap mendekatiku… apa aku benar-benar harus melepasnya demi Hyun-in? Seo-min berdebat dengan dirinya sendiri.
“Ah, selamat pagi,” sapa Hyun-in yang baru saja keluar dari ruang kerja ayahnya.
Seo-min mengamati adiknya selama beberapa saat dalam diam. Terus berdebat dengan dirinya sendiri, dan akhirnya mengambil keputusan final. Darah lebih kental daripada air. Hyun-in lebih penting. Keluarga yang utama.
“Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Hyun-in cemas. Rasa pusing sehabis minum semalam pun masih dirasakannya saat ini. mungkin penampilanku lebih buruk disbanding sakit kepalaku, pikirnya.
“Jangan minum bila tidak bisa,” kata Seo-min ketus, berusaha bersikap seperti biasa.
“Eh, kak,” panggil Hyun-in ragu. “Semalam kau—“
“Ada apa semalam?” sela Seo-min. “Selesai makan aku langsung ke kamar dan terbangun sebentar saat ayah membawamu yang mabuk masuk ke kamar. Memangnya ada apa?”
“Ah… oh, itu… tidak ada…”
“Ya sudah,” gumam Seo-min sambil meneruskan langkahnya menaiki tangga menuju lantai dua.
Ini yang terbaik. Ini yang terbaik… Seo-min terus meyakinkan dirinya sendiri atas keputusannya walau sebenarnya hatinya memberontak.
Kyu-hyun sedang memakan sereal seorang diri ketika Hyun-in memasuki Dapur. Hyun-in tahu dirinya diawasi oleh Kyu-hyun, dan kesadaran tersebut membuatnya tak nyaman dan ingin segera pergi dari sana.
“Kau sukses membuat semua orang tercengang,” kata Kyu-hyun tiba-tiba, membuat Hyun-in meminum susunya sambil melirik pemuda yang sedang menatapnya itu. “Apa mungkin kau tak ingat sudah mencium kak Dong-hae?”
Hyun-in tersedak dan nyaris menyimburkan susunya. “kelihatannya kau ingat,” kata Kyu-hyun santai, melihat wajah Hyun-in yang merona merah. “Bagaimana rasanya mencium idolamu?”
“Sebenarnya apa maksudmu mengungkit semua itu?” sergah Hyun-in. “Ini semua karenamu. Kau membuatku mabuk!”
Kyu-hyun mendengus. “Apa aku memaksamu minum? Kau sendiri yang ingin mencobanya dan akhirnya terus minum. Kau yang membuat dirimu sendiri mabuk, dan sekarang kau mau menyalahkanku padahal kau yang mempermalukan dirimu sendiri!?”
Rasa malu dan bersalah menyerang Hyun-in, namun gengsi membuatnya terus melawan. “Samar, tapi aku masih ingat kau yang mendorongku untuk menyatakan perasaan pada kak Dong-hae—“
“Menyatakan perasaan,” sela Kyu-hyun, berdiri dari kursinya dan bersedekap. “Tapi apa aku menyebut tentang ciuman? Tidak.”
Hyun-in menggigit bibirnya. Ia benar-benar malu mengingat ulahnya sendiri semalam. Ayahnya yang tak pernah marah pun tadi memarahinya. Hari ini benar-benar hari terburuk untuknya.
“apa yang kulakukan bukan urusanmu,” desis Hyun-in akhirnya.
“Secara langsung memang tidak, tapi setelah kau melakukannya di hadapan semua orang seperti itu, apa tidak terpikir olehmu mereka akan membicarakannya dan membuat suasana shooting menjadi kurang nyaman? Belum lagi bila sampai diketahui media, masalahnya akan semakin panjang.”
“Aku… aku tidak tahu…” gumam Hyun-in, benar-benar merasa malu, bingung dan bersalah.
“Hah… Tuan Putri sepertimu memang tidak pernah pikir panjang dalam melakukan sesuatu,” kata Kyu-hyun sebelum meninggalkan dapur.
Sepeninggal pemuda itu, Hyun-in dengan murung keluar menuju halaman belakang. Yang berkecamuk di benaknya saat ini adalah bagaimana ia mampu berhadapan dengan Dong-hae lagi setelah kejadian semalam.
Sungguh memalukan! Tidak hanya menyatakan cinta, aku juga menciumnya di depan banyak orang! bodoh, bodoh, bodoh! amuk Hyun-in dalam hati.
“…makan yang banyak.”
Hyun-in menghentikan langkahnya saat mendengar suara pria. Menengok ke kiri dan ke kanan, akhirnya ia menemukan sumber suara tersebut. Ki-bum yang sedang berjongkok di dekat gudang tengah memunggunginya. Teringat bahwa ki-bum pasti juga melihat kejadian semalam, dengan malu Hyun-in berbalik arah untuk menghindar, namun sapaan pria itu menghentikannya.
“Selamat pagi, Nona Kang.”
“Eh, selamat pagi,” sahut Hyun-in sambil menoleh memandang Ki-bum yang setengah berputar menghadapnya sambil tersenyum. “Kelinci?” ucapnya terkejut saat melihat dua binatang berbulu putih dan abu-abu yang berada di dekat kaki Ki-bum.
“Binatang yang lucu, kan?” kata Ki-bum sambil membelai kepala si kelinci abu-abu sambil memberinya wortel.
“Peliharaan kakak?” walau awalnya berniat menghindar, tetapi rasa penasaran menahan Hyun-in untuk tinggal lebih lama.
“Mana mungkin. Untuk apa aku bawa ke lokasi shooting?” sahut Ki-bum. “Justru aku mengira ini peliharaan keluargamu karena aku memang menemukannya di sini.”
“Eh, tidak, kami tidak pernah memelihara bintang apapun di sini,” kata Hyun-in sambil berjalan menghampiri Ki-bum dan kedua kelinci tersebut. “Lucu sekali,” pujinya sambil berjongkok di sebelah Ki-bum dan ikut mengelus kelinci putih.
“Mau beri dia makan?” tawar Ki-bum sambil menyerahkan sebatang wortel lain. “Maaf, aku mengambilnya dari kulkas kalian tanpa ijin,” tambahnya.
“Oh, tidak apa-apa, tak usah dipikirkan,” kata Hyun-in. “Hmm… mungkin kelinci-kelinci ini milik penjaga vila kami. Pak Han!” seru Hyun-in memanggil penjaga vilanya yang sedang menyiram bunga tak jauh dari tempat mereka saat ini.
“Ya, Nona?” tanya Han sambil bergegas menghampiri anak majikannya.
“Apa kelinci-kelinci ini milik Anda?” tanya Hyun-in.
“Oh, itu, sebenarnya seminggu lalu tanpa sengaja saya menemukan mereka bermain di halaman. sepertinya milik penyewa vila tetangga, tapi entah kenapa tidak dibawa saat mereka pindah. Karena kasihan, saya rawat saja.”
“kasihan sekali meninggalkan kelinci-kelinci selucu ini,” gumam Ki-bum.
Han tersenyum. “Bila Tuan menginginkannya, bawa saja, saya tidak keberatan sama sekali, karena toh memang bukan benar-benar peliharaan saya,” katanya.
“Hmm… aku ingin sekali, tapi aku tidak akan bisa merawat mereka dengan baik mengingat kesibukanku,” kata Ki-bum sambil terus membelai tubuh berbulu abu-abu lembut itu dengan sayang.
“Apa mereka punya nama?” tanya Hyun-in.
“Saya tidak tahu, dan tak pernah terpikir memberi mereka nama juga,” jawab Han sambil terkekeh. “Apa Nona menyukai mereka?”
Hyun-in tersenyum. “Tentu saja. Bagaimana bisa tidak menyukai mahluk selucu ini?”
Ki-bum menatap Hyun-in sambil tersenyum. “Kalau begitu kau saja yang bawa dan rawat mereka,” katanya.
“Eh?”
“Si abu-abu ini milikku, dan yang putih milikmu,” lanjut Ki-bum tanpa peduli keterkejutan Hyun-in. “tapi karena aku tidak bisa merawatnya, aku titipkan dia padamu. Sesekali aku akan mengunjunginya. Bagaimana?” tawarnya seenaknya.
Hyun-in masih belum bersuara karena kebingungan, ketika Ki-bum meneruskan ocehan tentang memberi nama pada kedua kelinci tersebut, seolah Hyun-in telah menyetujuinya.
“…bagus, tidak?” hanya penggalan kalimat terakhir Ki-bum yang sempat didengar Hyun-in.
“Eh? Apa?”
“Atau kau ada ide lain?” tanya ki-bum sambil menggendong si kelinci abu-abu.
Akhirnya, pasrah bahwa dirinya sekarang menjadi perawat sah kedua kelinci tersebut, Hyun-in mulai memikirkan nama yang cocok sambil mengawasi interaksi ki-bum dan si kelinci abu-abu.
“Ah, bagaimana kalau si abu-abu kita namai Bum-bum?”
“Diambil dari namaku?” komentar Ki-bum geli. “kalau begitu si putih dinamai Hyun-hyun?”
Hyun-in tertawa. “Aneh sekali kedengarannya.”
Ki-bum ikut tertawa. “Kalau begitu Princess saja,” katanya kemudian.
“Hmm? Kenapa?”
“karena dia milikmu, dan melihatmu membuatku teringat putri-putri di negeri dongeng,” jawab Ki-bum santai, tanpa peduli perkataannya membuat Hyun-in tersipu malu.
Pagi ini sudah dua orang yang menyebutnya Putri, tetapi perkataan Kyu-hyun dengan maksud menghina dan menyakiti hati Hyun-in, sedangkan Ki-bum bermaksud memujinya, dan hal tersebut menyenangkan hati Hyun-in.
Hyun-in mengangguk antusias. “Baiklah, Bum-bum dan Princess,” katanya ceria.
“Nona jadi membawa mereka?” tanya Han, dan dijawab anggukan oleh Hyun-in. “kalau begitu akan kupersiapkan kandang untuk membawa mereka,” katanya sambil beranjak pergi.
“Terima kasih, Pak Han,” ucap Hyun-in. “kakak benar akan mengunjungi Bum-bum?” tanyanya pada Ki-bum.
“Tentu saja, dia kan milikku,” jawab Ki-bum. “Kuharap kau tidak terganggu kalau aku datang berkunjung nanti.”
“Tentu saja tidak! Aku akan senang sekali. Bum-bum juga pasti akan senang kakak kunjungi,” kata Hyun-in.
Ki-bum menyunggingkan senyum mautnya. “Terima kasih.”
“Ki-bum! Ki-bum! Oh, di sini kau ternyata. Ayo, giliranmu sebentar lagi,” kata seorang kru yang datang mencari pemuda itu.
“Oh, baik,” sahut Ki-bum. “Aku pergi dulu,” katanya pada Hyun-in. “Terima kasih sekali lagi karena sudah bersedia merawat Bum-bum.”
“sama-sama,” sahut Hyun-in.
“Oh ya,” ucap Ki-bum, berhenti berjalan dan menoleh ke arah Hyun-in. “tentang semalam,”
Seketika wajah ceria Hyun-in berubah murung. “Aku bukan ingin menceramahimu,” kata Ki-bum menenangkan. “Aku hanya berpikir kau mungkin merasa malu dan serba salah bila bertemu kak Dong-hae. Tak usah takut, dia tidak marah. Dia mengerti kau sedang mabuk,” tambahnya. “Aku pergi dulu.”
“Ah, ya…” gumam Hyun-in. benarkah? Bisakah kak Dong-hae memahaminya?
Selama ini aku terus menjaga jarak darimu, berharap ketertarikanmu padaku hanya sementara, tetapi ternyata itu tidak terjadi. Kau yang seperti ini menggangguku. Hentikan sampai di sini saja.
Sejak pagi hingga sekarang, perkataan Seo-min terus membayangi Dong-hae. Rasa tak percaya yang bercampur kecewa dan patah hati membuatnya tak dapat seratus persen berkonsentrasi dalam berakting hingga berkali-kali dimarahi Bong-soon.
Maaf. Selama ini aku sudah berusaha untuk tidak menyakiti hatimu, dan berharap ketertarikanmu padaku hanya sementara, tetapi semakin lama… kurasa sebaiknya semua itu dihentikan sekarang sebelum terlalu jauh.
Tiba-tiba teringat olehnya penolakannya pada Hea-in dulu. Apakah ini karma? Karena ia telah menyakiti hati wanita itu? mungkin begitu… mungkin seperti inilah perasaan Hea-in waktu itu, batinnya.
“Memikirkan apa?” tegur Ki-bum sambil melepas pakaian dari sponsor yang digunakan untuk keperluan shooting.
“Tidak apa-apa,” elak Dong-hae sambil memakai kaus hitam miliknya sendiri setelah melepas pakaian shootingnya.
“Memikirkan ciuman Kang Hyun-in?” tebak Kyu-hyun dari sudut kamar yang selama beberapa hari ini dijadikan ruang rias tersebut.
Sebenarnya Dong-hae justru tak terpikir sedikit pun tentang masalah itu semenjak mendengar penolakan Seo-min. “Tak usah membahasnya,” perintah Dong-hae. “Kasihan Hyun-in bila terus mendengar orang membicarakan hal itu.”
“kau mengkhawatirkannya? Apa kau ada hati padanya?” olok Kyu-hyun.
“Dia sedang mabuk, tak sadar apa yang dia lakukan,” komentar Dong-hae datar. Suasana hatinya tidak memungkinkan untuk menanggapi olokan Kyu-hyun dengan candaan.
“Aku lapar sekali,” keluh Ki-bum. “Ayo, kita makan,” ajaknya.
“Ya,” sahut Dong-hae tanpa benar-benar sadar. Yang ia pikirkan hanya Seo-min dan Seo-min. aku harus bicara dengannya. dia tidak mungkin serius. Aku melihat caranya menatapku semalam. Dia tertarik padaku, batin Dong-hae.
“Eh, di mana kak Sung-min?” samar-samar Dong-hae mendengar pertanyaan Kyu-hyun.
“Entahlah, sehabis berganti pakaian dia pergi keluar,” jawab Ki-bum.
Selesai berganti pakaian, Dong-hae bergegas keluar. “Mau ke mana?” tanya Kyu-hyun.
“kalian makan duluan saja,” seru Dong-hae sambil berlari. Di mana Seo-min saat ini? pikirnya.
Sung-min lebih dulu selesai dalam shooting adegannya, karena itu ia lebih dulu berganti pakaian dan makan bersama beberapa kru. Sekarang, menunggu saudara-saudara Super Juniornya, ia ingin bersantai dengan bermain gitar.
Berjalan melalui jalan setapak di samping vila keluarga Kang, Sung-min menuju halaman belakang. Belum sempat ia duduk di kursi malas yang di susun di pinggiran kolam renang, pemandangan seseorang tengah berenang di malam hari seperti ini menghentikannya. Siapa itu? pikirnya penasaran.
Untuk melampiaskan keresahan hatinya dan kacaunya pikirannya saat ini, Seo-min memutuskan untuk berenang, tanpa mempedulikan hari yang sudah malam. Setelah menyelesaikan putaran keempatnya, ia menepi untuk beristirahat sejenak, dan saat itulah ia melihat Sung-min yang tengah memandanginya di pinggir kolam.
“Apa yang kau lihat!?” seru Seo-min ketus.
Sung-min berdecak kesal. Apa yang dilihat Dong-hae dari gadis ini, pikirnya kesal. “Tenang saja, aku tidak ada niat sedikit pun mengintipmu, Nona Kang,” katanya dengan kesopanan dibuat-buat.
Karena rasa penasarannya telah terjawab, Sung-min pun akhirnya duduk dan mulai memainkan gitarnya sambil bernyanyi kecil.
Seo-min yang merasa terusik dengan kehadiran Sung-min, memutuskan untuk mengakhiri acara berenangnya. Lagi pula ia mulai kedinginan. Melangkah keluar dari kolam renang, ia menghampiri salah satu kursi malas untuk mengambil handuknya. Saat sedang mengeringkan rambut, disadarinya suara dentingan gitar dan alunan suara Sung-min berhenti. Penasaran, ia menoleh sedikit untuk mengecek, dan mendapati pria itu tengah memandanginya.
“Tak pernah melihat gadis dengan baju renang!?” sewot Seo-min.
Sung-min segera tersadar. Sesaat tadi dia terpukau karena sosok Seo-min yang keluar dari kolam dengan latar gelap malam dan hanya diterangi secercah cahaya dari lampu taman, terlihat bagai seorang dewi. Yeah, mana ada Dewi kurus kering dan kasar seperti dia, pikirnya kesal.
“Hanya tak pernah melihat yang sekurus ini,” balas Sung-min dengan lagak ramah sebelum kembali memainkan gitarnya.
Seo-min mendengus marah sambil berjalan menghampiri Sung-min. “Kau pikir tubuhmu sangat bagus, hah!? Dasar pria mesum!”
“kau sebut aku apa!?” emosi Sung-min mulai terpancing.
“M. E. S. U. M,” eja Seo-min dengan sengaja. “Pria-pria hidung belang yang hanya melihat wanita dari ukuran dada dan bokongnya tanpa mempedulikan otaknya!”
Sung-min mengatupkan bibirnya rapat sambil berdiri dan menaruh gitarnya di kursi untuk berhadap-hadapan dengan Seo-min. “Hanya karena kau wanita dan putri Tuan Kang bukan berarti aku akan diam saja kau perlakukan dengan kasar. Aku bukan Dong-hae, yang hanya akan tersenyum melihat tingkah-tingkah menyebalkanmu,” katanya tajam dan tegas.
Mendengar nama Dong-hae disebut menyentak Seo-min dan membuat hatinya yang semula mulai tenang kembali gundah atas keputusannya untuk mengalah.
“Oh ya?” tantang Seo-min, sekalian ingin melampiaskan stresnya pada Sung-min. “Lalu kau mau apa? Memukulku? Memangnya Pinky Boy sepertimu cukup kuat untuk melawanku?”
Sesuatu dalam tatapan Sung-min memperingatkan Seo-min bahwa dirinya telah bertindak terlalu jauh. Karena itu ia tak terlalu terkejut ketika Sung-min mencengkeram erat pundak kirinya hingga terasa sakit.
“Jangan memancingku,” kata Sung-min sedingin es.
Dengan berani Seo-min membalas tatapan tajam Sung-min. “Kau—“ ucapan Seo-min terhenti ketika tanpa sengaja sudut matanya menangkap sosok Dong-hae yang baru keluar ke beranda belakang.
Otak Seo-min berputar cepat, dan dengan cepat pula ia mengambil keputusan untuk memanfaatkan keadaannya saat ini. untuk meyakinkan Dong-hae bahwa ia tak menyukai pria itu.
Dipeluknya tubuh Sung-min dengan satu tangan, dan menggunakan tangan yang lain untuk mengarahkan kepala pria itu agar menunduk sementara ia menengadah dan menelengkan kepalanya ke samping hingga orang yang melihat akan mengira mereka berciuman.
“Apa…” gumam Sung-min terkejut.
Sejujurnya Seo-min merasa jengah menempel selekat ini pada Sung-min. ditajamkannya telinganya untuk mendengar suara apapun dari Dong-hae, tapi tak terdengar apa-apa.
“Apa maumu?” bisik Sung-min menatap tajam mata Seo-min, namun gadis itu hanya menatapnya tanpa kata dan hanya mengeratkan pelukannya. Sung-min menegang merasakan bagaimana tubuh Seo-min bagai menyatu dengannya dengan hanya dibatasi kain tipis dari yang masing-masing mereka kenakan. “Ini caramu menantangku untuk membuktikan kejantananku?” desisnya marah memikirkan penghinaan gadis itu sebelumnya.
Tatapan merendahkan Seo-min menghabiskan sisa kesabaran Sung-min. Seo-min terkesiap kaget ketika Sung-min merengkuhnya kedalam pelukan dan benar-benar menciumnya dengan kasar. Sedetik, dengan marah Seo-min berusaha melepaskan diri, sebelum teringat pada kehadiran Dong-hae, dan seketika itu juga ia berhenti melawan dan membiarkan Sung-min menciumnya.
Dingin dan kaku, itulah reaksi Seo-min dalam pelukan dan ciuman Sung-min pada awalnya, namun perlahan kehangatan pelukan Sung-min, dan penjelajahan bibirnya memanaskan darah Seo-min. membuat kulitnya meremang, perutnya tergelitik, dan jantungnya berdebar cepat. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia berpacaran dan bermesraan seperti ini…
Beberapa langkah di belakang pasangan yang tengah terhanyut napsu tersebut, Dong-hae berdiri dengan tegang. Ia tak mempercayai apa yang dilihatnya saat ini. ia tak mau percaya. Karena tidak mungkin kak Sung-min mencium Seo-min yang kusukai. Karena tak mugkin Seo-min membiarkan kak Sung-min menciumnya… batin Dong-hae pedih. Ia tak bisa percaya… bahwa mereka benar-benar melakukannya.
Kenapa? Bagaimana? Diatas segalanya, yang membuat Dong-hae paling tersakiti adalah perasaan ditusuk dari belakang. Dikhianati orang yang selama ini dianggapnya sahabat, bahkan saudara sendiri…
Berkali-kali ia membuka mulut, namun tak ada suara yang dapat keluar. Tubuhnya bergetar menahan amarah dan sakit hati. Teganya dia… teganya dia…
“… kak…” pada akhirnya satu kata berhasil terucap dengan suara yang terdengar asing.
Ditengah kabut napsu yang menyelubunginya, samar Sung-min mendengar suara itu. suara… Dong-hae. Secepat kilat ia bergerak mundur menjauhi Seo-min. matanya terbelalak tak percaya menatap sahabat yang juga telah dianggapnya sebagai adik sendiri itu.
“…kalian… kau… bagaimana bisa…” kata-kata Dong-hae tersendat-sendat karena pergumulan emosi di dadanya.
“Dong-hae…” Sung-min tak tahu harus berkata apa. Ia bersalah. Ia menyadarinya.
“…kenapa…?”
“Dong-hae…”
Tak tahan tetap di sana dengan sahabat yang mengkhianatinya dan gadis yang mematahkan hatinya, Dong-hae melangkah cepat meninggalkan kedua orang itu.
Seo-min memeluk tubuhnya yang kedinginan sembari memandangi punggung Dong-hae yang perlahan semakin menjauh. Ia menyesali pilihannya mempergunakan Sung-min. seharusnya siapapun asalkan jangan sahabat pria itu sendiri…
Hatinya perih mengingat rasa sakit yang dilihatnya di mata pria itu. “…maafkan aku…” bisiknya.
To Be Continued...
By Destira ~Admin Park~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar