Chapter 6
-Kediaman Keluarga Yoon-
Ah-ra mengejar Ayahnya yang berjalan dengan langkah cepat menuju rumah. “Ayah, tunggu!” jeritnya putus asa. Setelah pertemuannya dengan Taec-yeon di ruangan Ah-ra tadi, Tuan Yoon kembali teringat akan masa lalu kelam yang menimpa kehidupannya dan membuat rasa bersalah di sudut hatinya kembali mengemuka. “Ayah, kumohon!” rengek Ah-ra mencoba menarik lengan Ayahnya tetapi tak diacuhkan, “kau marah padaku?”
Akhirnya Tuan Yoon menghentikan langkahnya dan bergumam datar tanpa sedikitpun menoleh pada putrinya, “Apa kau masih sering bertemu dengan pemuda itu?”
Ah-ra melangkah ke hadapan Ayahnya dan buru-buru menggeleng untuk membantah pertanyaannya, “Sungguh, baru sekali ini aku bertemu dengannya, Ayah.”
Tuan Yoon menatap mata putrinya lurus-lurus seolah-olah pandangan itu dapat menembus ke dalam hatinya, “Tapi matamu tidak berkata begitu,” tuding Tuan Yoon tak percaya.
“Maaf Ayah,” Ah-ra menunduk lesu, “memang sudah beberapa kali kami bertemu,” akunya, “tapi, aku berani bersumpah, baru kali ini aku berbicara berdua—“
“Kau masih mencintainya?!” sela Tuan Yoon membuat Ah-ra mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Kata-kata Tuan Yoon tidak berupa pertanyaan, tapi lebih pada pernyataan. Tuan Yoon pun terduduk lemah di sofa di sampingnya dengan mata memandang kosong ke depan. Ingatannya kembali pada 18 tahun silam, kala peristiwa kelam itu terjadi.
18 tahun yang lalu...
Malam itu, seorang pasien yang merupakan putra tertua keluarga Ok, Ok Jin-yeon, datang ditemani seorang pria dan wanita dengan keluhan diare dan demam. Saat Tuan Yoon—yang masih bertugas sebagai dokter di rumah sakit Seoul—memeriksanya, putra Tuan Ok tersebut dinyatakan menderita diare infeksius akut yang sudah disertai dengan dehidrasi karena tubuh pasien yang lemah. Sehingga Tuan Yoon memutuskan agar Ok Jin-yeon dirawat inap, “Anda keluarga pasien?” tanya Tuan Yoon pada seorang pria setengah baya yang berdiri khawatir di depan ruang IGD.
“B-bukan dokter, saya hanya pelayan saja,” jawab pria itu, “majikan saya sedang ke luar kota untuk urusan bisnis, jadi ia tak bisa datang. Apakah terjadi sesuatu pada Tuan muda?” tanyanya panik.
“Tidak, saya hanya ingin menginformasikan bahwa pasien harus dirawat inap untuk menanggulangi dehidrasi yang dialaminya,” kata Tuan Yoon yang disambut anggukan oleh pria itu, “tapi sebelumnya, saya ingin bertanya apakah anda tau pasien pernah memiliki alergi obat tertentu sebelumnya?”
Pria itu menggeleng, “Maaf Dok, saya kurang tau,” jawab pria itu tak yakin. “Apa kau tau sesuatu?” pria itu bertanya, pada wanita berseragam pelayan di sebelahnya.
Wanita itu menggeleng, “aku juga kurang tau, karena selama ini Tuan muda jarang sakit,” jawab wanita.
“Yah...baiklah kalau begitu,” Tuan Yoon pun kembali ke ruang IGD dan melakukan skin test terhadap antibiotik Ampisilin yang akan diberikannya untuk menghindari resiko alergi. Setelah ditunggu selama beberapa jam dan pasien sudah dipindahkan ke bangsal perawatan dengan infus ringer laktat untuk mengatasi dehidrasinya, perawat yang memeriksa menyatakan bahwa pasien tidak mengalami tanda-tanda alergi terhadap antibiotika turunan penisilin itu, hingga Tuan Yoon berani memerintahkan pada perawat itu untuk menyuntikkannya pada putra pertama Tuan Ok tersebut.
Namun saat Tuan Yoon baru saja tiba di depan rumahnya, ponselnya berbunyi, “Hallo?” sapa Tuan Yoon.
“Dokter, pasien yang tadi diberikan obat antibiotik mengalami kejang-kejang dan kulitnya timbul bercak-bercak merah, selain itu pasien juga mengeluh sesak nafas,” seru seorang perawat panik membuat Tuan Yoon tidak kalah panik dan buru-buru memutar mobilnya untuk kembali ke rumah sakit.Gawat, dia pasti mengalami syok anafilaksis, batin Tuan Yoon khawatir, Tapi mengapa saat skin test tadi tak terlihat?
“Bawa ke ruang IGD dan berikan oksigen serta adrenalin,” perintah Tuan Yoon cepat lalu buru-buru meng-gas mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Beberapa menit kemudian saat Tuan Yoon tiba di rumah sakit tepatnya di ruang IGD, ia dikejutkan oleh pernyataan dokter Park Jung-ho yang kebetulan saat itu sedang piket jaga yang menyatakan bahwa pasien tersebut tidak tertolong. “Sepertinya reaksi alerginya sudah terlambat diketahui, saat dibawa ke IGD tekanan darah pasien sudah sangat rendah hingga pasien tidak tertolong lagi,” jelas dokter Park. Tentu saja berita itu membuat Tuan Yoon terpaku merasakan lututnya melemas dan tak bertenaga lagi hingga ia terduduk lemas di kursi ruang tunggu. “Seung-won, kau jangan khawatir,” seru dr. Park, mencoba menenangkan sahabatnya, “Tadi perawat Seo memberitahuku, kalau kau sudah melakukan pekerjaanmu sesuai dengan Standar Operasional Prosedur, jadi ini tak bisa disebut sebagai pelanggaran.”
Merasa frustasi, Tuan Yoon menangkupkan kedua telapak tangan untuk menutup wajahnya, “Tapi karena aku pasien itu meninggal,” gumam Tuan Yoon tercekat, “apa pantas aku disebut sebagai dokter?”
“Seung-won, kejadian ini tak terprediksi,” Dokter Park menyentuh pundak Tuan Yoon menenangkan, “jangan menyalahkan dirimu sendiri, bukankah tadi kau sudah menanyakan pada keluarga pasien tentang riwayat alergi yang diderita dan kau pun juga sudah melakukan skin test dan hasilnya negatif,” kata Dokter Park, “mungkin pasien bisa mentoleransi saat skin test itu dilakukan hingga memberikan hasil negatif palsu, kau sudah mengusahakan yang terbaik, hal ini murni kecelakaan Seung-won.” Hal semacam itu memang sangat jarang terjadi tapi tidak menutup kemungkinan karena pada saat melakukan skin test pasien memiliki kemampuan untuk mentoleransi pemberian antibiotik tersebut, tetapi pada saat digunakan pasien justru mengalami yang sebaliknya.
Sesuai yang diperkirakan Tuan Yoon, pihak keluarga pasien, Tuan Ok Gi-taek, yang tidak mengetahui kronologis yang sebenarnya akhirnya menuntut Tuan Yoon dan Rumah Sakit itu atas tuduhan malpraktik. Dokter Park yang mengerti dan memahami kondisi yang sebenarnya dari segi kedokteran, bertindak sebagai saksi ahli dalam persidangan, sehingga tuduhan keluarga Ok pada Tuan Yoon tak terbukti dan Tuan Yoon dibebaskan dari tuduhan malpraktik. Tapi semua itu justru membuat dendam pribadi di pihak keluarga pasien semakin besar dan yang lebih membuat Tuan Yoon merasa bersalah hingga saat ini adalah ternyata putrinya mencintai anak kedua dari keluarga Ok tersebut.
“Ayah?!” seruan putrinya itu menyadarkannya dari lamunan panjang rangkaian peristiwa kelam masa lalunya yang kembali ke permukaan.
“Maafkan Ayah, Ah-ra,” gumam Tuan Yoon pilu.
Ah-ra menggeleng kuat-kuat hingga membuat air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya terjatuh dan menetes menghangatkan pipinya yang dingin, “Ayah tidak bersalah, untuk apa minta maaf?” Ah-ra memeluk tubuh Ayahnya dan mereka pun menangis sambil tetap saling berpelukan, dalam diam.
-Mobil Taec-yeon-
“Apa maumu sebenarnya? Kenapa kau mengatakan kalau kau ingin menikahiku di depan kedua orang tuamu?” tuntut Hea-in kasar.
“Kenapa? Kau tidak ingin menikah denganku?” tanya Taec-yeon cuek, membuat Hea-in mendengus kesal.
“Kau sudah gila ya?” Taec-yeon mengerem mobilnya secara mendadak hingga membuat Hea-in tersentak ke depan, “Kau—“
“Kau berani mengatakan aku gila!” potong Taec-yeon sinis.
“Kau memang sudah gila!” tukas Hea-in ketus.
“Hya! Kau tidak—“
“Ingat kalau aku ini Boss-mu,” Hea-in menirukan kata-kata Taec-yeon persis sama dengan gaya pria itu saat mengatakannya, yang selalu dijadikan senjata oleh Taec-yeon untuk menggertak Hea-in, “apa kau tak punya kata-kata lain?” ejek Hea-in kesal.
Wajah Taec-yeon memerah karena emosi dan rasa malu bercampur kesal. Baru kali ini ia menemukan seorang karyawan yang berani melawan perintahnya. Apalagi karyawan wanita. Biasanya mereka akan dengan sukarela memberikan semua miliknya demi mendapatkan perhatian Taec-yeon. “Sial kau!”
“Aku sedang terburu-buru, lebih baik aku naik taksi saja,” cetus Hea-in lalu buru-buru membuka pintu mobil Taec-yeon dan keluar.
“Tunggu Nona—“ kata-kata Taec-yeon terhenti saat melihat Hea-in tiba-tiba tersungkur di sebelah mobilnya. “Nona Hea-in?!” serunya kaget dan cepat-cepat menghampiri Hea-in lalu memeriksa tubuh gadis itu. Saat Taec-yeon menyentuh dahinya, ia merasakan tubuh Hea-in demam tinggi. “Nona Hea-in, kau tidak apa-apa?” Taec-yeon berkata panik sambil mencoba mengguncang tubuh Hea-in yang sekarang tak sadarkan diri itu. Ya Tuhan, dia pasti kecapean, gumam Taec-yeon dalam hati. Lalu dengan sigap membopong tubuh langsing gadis itu ke dalam mobilnya.
-Seoul Medical Centre-
Hyo-hee kembali melirik jam dinding di belakangnya untuk yang kesekian kalinya, “Kakak kok belum datang juga?” gumamnya gelisah, “memangnya dia harus bekerja sampai jam berapa sih?” Ia tersentak, saat mendengar suara pintu dibuka. “Ka...Oh..maaf, kupiikir kakakku.” Rona kecewa kembali tergambar jelas di wajahnya.
“Oh...tidak apa-apa,” jawab si perawat yang datang untuk menyuntikkan obat pada Hyo-jin.
“Eh suster, apakah dokter Yoon tidak berpesan sesuatu padamu?” tanya Hyo-hee, merasa bersalah karena seharusnya kakaknya sudah datang untuk menemui dr. Yoon sesuai yang disampaikannya pagi tadi.
Perawat itu tampak ragu sejenak sebelum menjawab, “Apakah seharusnya ada?”
Hyo-hee menggeleng tak yakin, “Setahuku dia tadi berpesan padaku untuk menyampaikan pada kakak agar menemuinya, tapi karena sampai sekarang kakakku belum pulang juga, makanya aku—“
“Tapi, tadi dr. Yoon sudah pulang lebih awal,” sela perawat itu.
“Benarkah?”
“Hmm...” si perawat mengangguk mantap, sebelum meneruskan kegiatannya. Hmm...apa mungkin dia lupa?, batin Hyo-hee bertanya-tanya, ya, pasti dia lupa, atau mungkin ada urusan lain, syukurlah kalau begitu. “Sudah,” ucapan perawat itu menghentak Hyo-hee yang saat ini tengah sibuk dengan pikirannya sendiri, “saya permisi dulu.”
“Ah, ya,” Hyo-hee menunduk sopan dan kembali duduk di kursinya.
“Kak Hea-in belum pulang ya Kak?” tanya Hyo-jin yang rupanya terbangun saat perawat tadi menyuntikkan obat di selang infusnya.
“Belum,” gumam Hyo-hee setengah melamun, lalu mulai mengetik SMS ke nomor kakaknya.
To: Kak Hea-in
Kak, kenapa kau belum pulang?
To: Hyo-hee
Maaf, malam ini aku tidak bisa pulang.
“Eh?” Hyo-hee mengulangi lagi membaca SMS balasan dari kakaknya tersebut. Tumben sekali dia tidak pulang. Hah...apa dia tidak capek bekerja siang malam begini?, gumamnya dalam hati.
-Apartement Taec-yeon-
Setelah membalas SMS di ponsel Hea-in, Taec-yeon meletakkan ponsel tersebut di nakas dan kembali mengompres kepala gadis itu. Setelah menemukan Hea-in tak sadarkan diri tadi, ia membawa Hea-in ke apartement-nya dan mengukur suhu tubuh gadis itu dengan termometer yang mencapai 39,4 derajat celcius.
“Hah...dia pasti terlalu capek menjaga adiknya di rumah sakit, sampai-sampai tidak memperhatikan kesehatannya sendiri,” gumam Taec-yeon lirih, sambil mengganti kompress Hea-in yang masih tertidur pulas.
Hea-in sempat tersadar sejenak, sebelum menggumam tak jelas dan kembali memejamkan matanya yang terasa berat dan panas, hingga air mata menetes di sudut matanya. Sementara Taec-yeon dengan telaten mengusap air mata yang keluar itu dengan tissue. Aissh...kalau menjaga diri sendiri saja kau tidak bisa, bagaimana bisa menjaga orang lain?, gerutu Taec-yeon dalam hati. Walaupun ia sempat merasa kesal terhadap Hea-in, tetapi entah mengapa keberadaan gadis itu juga sempat menarik perhatiannya. “Ahh...tidak...tidak...tidak,” Taec-yeon menggeleng kuat-kuat untuk menghentikan pikiran-pikiran tersebut dari otaknya.
-Kediaman keluarga Yoon-
Ah-ra mencoba untuk memejamkan matanya tetapi tak bisa. Ia merasa bersalah pada Ayahnya, dan mengutuki dirinya sendiri saat melihat Ayahnya kembali menampakkan wajah terluka seperti dulu. Ayahnya yang sabar, ayahnya yang sangat ia sayangi dan hormati itu, kini merasakan kembali luka yang telah lama berlalu. Bagaikan kembali menguak luka lama yang telah tertutup rapat hingga darah kembali mengucur dan perihnya kembali terasa.
Selain itu, ia juga merasa tak enak hati pada Jung-soo karena secara tiba-tiba membatalkan janji makan siang mereka, untuk harus mengejar Ayahnya yang marah, setelah memergokinya bertemu dengan Taec-yeon. Ia membaca kembali balasan SMS dari Jung-soo setelah ia mengirim SMS permintaan maaf padanya tadi.
To: Yoon Ah-ra
Tidak apa-apa, mungkin lain kali kita bisa makan siang bersama lagi. Semoga urusanmu cepat selesai, FIGHTING!!
dan Selamat Malam, semoga Mimpi Indah ^0^
Ah-ra tersenyum membaca SMS dari Jung-soo tersebut. Walaupun, ia tak mengerti masalah apa yang sedang dialami Ah-ra saat ini, ia tetap memberikan SMS dukungan untuknya. Dia pria yang baik, tak seharusnya aku mengecewakannya, bisik hati Ah-ra, tapi aku juga tak bisa memungkiri kalau aku masih sering memikirkan Taec-yeon. Apakah bijaksana bagiku, menjalin hubungan dengan Park Jung-soo, sementara hatiku masih memikirkan pria lain? Haruskah aku menyatakan yang sebenarnya pada Park Jung-soo?
-Studio Musik, Kyeo-wo-
Tak...tak...deg deg deg deg...bug...bug...bug..blam...tak...tak...bug...bug...tak...tak...Blam blam!!!!!
“Hya, ya, ya, ya.....!!! Drum-ku bisa jebol kalau kau memukulnya sekeras itu,” omel Shin-dong berusaha menarik paksa stick drumnya dari tangan Jung-soo. “Kau ini kenapa sih?” Shin-dong bertanya heran.
“Mungkin ia baru saja bertengkar dengan dr. Yoon,” goda Hee-chul yang sedari tadi hanya memperhatikan Jung-soo yang seolah-olah melampiaskan kemarahannya dengan memainkan drum sekeras-kerasnya.
“Ya, marah sih marah, tapi kenapa melampiaskannya pada drumku,” gerutu Shin-dong, “punya salah apa drumku padamu?”
“Haiissh...kalian ini, aku sudah pusing jangan ditambah semakin pusing dengan omelan kalian,” protes Jung-soo kesal, lalu beranjak mengambil bass gitar di sebelah Hee-chul.
“Hya, ya...aku tidak akan meminjamkan bass-ku pada seseorang yang sedang emosi,” Hee-chul merebut kembali bass di tangan Jung-soo itu dan memeluknya seolah barang itu adalah barang paling berharga di dunia ini. “mainkan saja gitarmu!” ia menunjuk gitar Jung-soo dengan kepalanya.
“Hah...ya sudah aku pulang saja kalau begitu,” cetus Jung-soo.
Tapi belum sempat ia keluar ruangan, Yesung yang baru saja datang menghadangnya, “Kau mau ke mana?”
“Aku mau pulang!” Jung-soo menggeser tubuh Yesung dari pintu untuk memberinya celah.
“Jangan biarkan dia pergi!” protes Hee-chul, “kau tak ingin kan kalau latihan kita hari ini dibatalkan hanya karena emosi sesaat Lee-teuk.”
Yesung yang tak mengerti apa yang telah terjadi menatap Jung-soo dengan pandangan heran, “Kau kenapa?”
“Kalian latihan sendiri saja, aku sedang tidak berminat latihan hari ini,” Jung-soo mencoba beralasan.
“Hya! Mana bisa begitu?” Yesung menghalangi jalan, “kau bertengkar dengan dr. Yoon?” tebak Yesung.
Jung-soo menggeleng, “Tidak ada apa-apa,” elaknya.
“Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa kau sekesal ini?” selidik Yesung.
“Hah...aku bingung harus berkata apa?” gumam Jung-soo lirih. Walaupun ia tak menampakkan kekecewaannya pada Ah-ra karena gadis itu secara tiba-tiba membatalkan rencana makan siangnya kemarin, ia bukan orang bodoh yang tak mengerti keadaan, hingga sedikit banyak hal itu membuat Jung-soo penasaran dan bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan gadis itu. Ia juga merasa heran dengan pria yang ditemuinya kemarin, semenjak Ah-ra meminta ijin untuk berbicara berdua saja dengan pria itu, ia sudah curiga ada sesuatu di antara keduanya. Terlebih, karena hal itulah Ah-ra membatalkan secara sepihak janji makan siang bersamanya. Sebenarnya ada hubungan apa antara Ah-ra dan pria itu?, gumamnya dalam hati.
“Hya! Kau melamun?” tukas Yesung, membuatnya terkesiap dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
-Apartement Taec-yeon-
Hea-in meregangkan tubuhnya serta menguap lebar-lebar. Saat matanya terbuka penuh, ia mulai merasakan ada yang aneh. “Dimana aku?” gumamnya heran, saat meraba dahinya ia merasakan sebuah kain lap yang sudah mulai kering menempel. “Eh?” ia mengedarkan pandangannya, kamar bergaya modern minimalis dengan warna hitam putih menjadi warna dominan di ruangan tersebut.Tempat tidur ini juga terasa empuk, gumamnya dalam hati. Ya Tuhan, jangan-jangan!. Hea-in memeriksa pakaiannya, takut terjadi sesuatu padanya, tapi ia menemukan pakaian yang sama seperti yang ia pakai kemarin berupa blus kerja berwarna putih dan bawahan krem selutut, hanya blazer-nya saja yang sudah tak ada dan kini disampirkan di kursi malas di sebelah tempat tidur itu. “Kenapa aku bisa berada di sini?” Ia melirik nakas di sebelahnya dan sempat tertegun, saat melihat foto Ok Taec-yeon sedang tersenyum berada di sana. “Eh? Ini—“
“Rupanya kau sudah bangun,” Hea-in tersentak dan buru-buru menoleh ke arah datangnya suara.
“Kau? Kenapa aku—“
“Kau tidak sadar apa yang terjadi pada dirimu semalam?” sela Taec-yeon.
“Heh? Apa maksudmu?” secara tidak sengaja Hea-in memeluk tubuhnya sendiri.
Taec-yeon mendengus geli, “ckckckck...kau pikir aku ini pria macam apa yang berani memanfaatkan seorang gadis yang sedang sakit.”
“Sakit? Aku...sakit?” tanya Hea-in bingung.
“Hah...kau ini, sampai-sampai kondisi tubuh sendiri saja tidak tau,” kata Taec-yeon, “pantas saja, semalam kau pingsan begitu saja, beruntung aku bukan orang jahat yang akan memanfaatkanmu.”
“Pingsan? Aku...pingsan?”
“Berhenti bertingkah seperti orang bodoh begitu!” bentak Taec-yeon, “makanan sudah siap, bangunlah! Kau harus makan untuk mengembalikan kondisimu.”
“Tunggu!” tahan Hea-in mulai yang beranjak dari tempat tidur. “Kau yang merawatku semalaman?” nada tak percaya sengaja diperlihatkan gadis itu.
“Kenapa? Kau tak percaya?” Taec-yeon balik bertanya. “Kau tau? Gara-gara kau aku tertidur dengan posisi duduk di sebelah tempat tidur, dan sekarang leherku sakit,” gerutunya.
Benarkah ia melakukan semua itu?, gumam Hea-in dalam hati. Di balik ketidakpercayaannya, ia sempat merasa geli, memikirkan ternyata atasan yang ia rasa tak memiliki hati dan perasaan itu, bisa sebaik ini dan merawatnya saat ia sakit. “Kalau kau tidak ingin terganggu, kenapa kau tak membawaku ke rumah sakit saja? Kenapa kau justru membawaku ke mari?” pancing Hea-in, pura-pura kesal.
Taec-yeon mendelik kesal, “Kau? Apa kau tak bisa berterima kasih pada orang yang telah merawatmu?” omelnya kesal. Membuat Hea-in ingin tertawa melihat ekspresi Taec-yeon, tapi segera ditahannya. Tidak, aku tak boleh terlihat senang, gumamnya dalam hati. “Aku membawamu kemari karena kupikir kau hanya butuh istirahat, setelah selama ini kau selalu berada di rumah sakit menjaga adikmu,” jelasnya, “kau juga tau, kalau rumah sakit itu juga sarang penyakit, jadi aku membawamu kemari agar kau bisa beristirahat lebih baik. Kukira kau sudah lama tak tidur di tempat tidur yang nyaman.”
Hea-in terdiam. Ia memperhatikanku? Tapi kenapa?, batinnya bergemuruh.
“Kalau kau tidak mau makan, biar aku yang habiskan semua makanannya!” cetus Taec-yeon, akhirnya beranjak dari kamar menuju dapur, meninggalkan Hea-in yang masih terpaku karena heran dengan sikap Taec-yeon.
Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Hea-in menyusul Taec-yeon ke dapur setelah sebelumnya mencuci muka dan tangannya di kamar mandi. Dari jauh ia menyaksikan Taec-yeon yang sedang sibuk mengolah sesuatu di counter dapur. Pria itu berbalut T-shirt berwarna biru muda dan celana kerja hitam yang kemarin dipakainya, lengkap dengan sandal rumah lembut berwarna biru langit. Ia benar-benar berbeda dengan pakaian santai seperti ini, batin Hea-in mengagumi sosok pria itu dari belakang. Ia masih tak percaya dengan kenyataan yang dialaminya semalam.
“Ehm..” dehaman Taec-yeon menyadarkan Hea-in dari lamunan singkatnya, “apa aku terlihat tampan di matamu saat ini?”
Hea-in mendengus geli, “Cih...apa kau berharap begitu?”
“Lalu mengapa kau memperhatikanku begitu?”
“Siapa bilang aku memperhatikanmu?!” protes Hea-in.
“Hah...sudahlah, aku malas beradu argumen dengan wanita keras kepala seperti dirimu,” sergah Taec-yeon, lalu meletakkan sup buatannya yang masih mengepulkan asap putih di meja makan. Bau sedap menyelubungi indera penciuman Hea-in, membuat perutnya bergemuruh, meminta untuk segera diisi.
“Terima kasih,” gumam Hea-in lirih dan canggung, membuat Taec-yeon menghentikan sejenak kegiatannya dan menatap Hea-in lurus-lurus.
“Apa kau demam lagi?”
“Eh?”
Taec-yeon bergerak mendekat dan menyentuh dahi Hea-in, lalu menyentuh dahinya sendiri, untuk membandingkan panas tubuhnya dengan Hea-in, “Kurasa panasnya sudah normal,” komentar Taec-yeon lebih pada diri sendiri.
“Kau?” Hea-in mendelik kesal.
Taec-yeon menunjukkan seringainya, hingga gigi putihnya yang berderet rapi terlihat jelas, “kupikir kau demam lagi, makanya kau berterima kasih padaku,” komentarnya santai, “karena kupikir kau tak tau cara berterima kasih.”
“Sial kau!” Taec-yeon menangkap pergelangan tangan Hea-in saat ia akan meninju bahu Taec-yeon.
“Sebaiknya kita makan saja,” saran Taec-yeon, kemudian berputar meninggalkan Hea-in dan duduk di meja makan. “Kau tidak ingin makan?” Dengan sedikit kesal, Hea-in akhirnya mendekat ke meja makan dan duduk di hadapan Taec-yeon. “Makanlah, sup ini,” Taec-yeon menyodorkan mangkuk berisi sup ayam gingseng pada Hea-in, “Sup ini baik untuk yang sedang demam.”
Ini aneh, batin Hea-in. Tapi ia menurut saja, dan menyuap sesendok sup ayam gingseng itu ke mulutnya. “Kau tidak sedang menyuapku bukan?” gumam Hea-in, heran.
“Cih...kupikir ucapan terima kasihmu tadi sangat tulus,” balas Taec-yeon. “kalau kau masih sakit, kau tidak perlu bekerja, nanti kuantar kau ke rumah sakit, istirahatlah dulu selama beberapa hari sampai kau benar-benar pulih.”
Hea-in menghentikan makannya, “Kau ini kenapa sih?” Hea-in menyuarakan keherananannya.
“Kenapa?” Taec-yeon mengangkat kedua bahunya, “tidak apa-apa, aku hanya tak ingin kau pingsan di kantor dan membuat semuanya semakin runyam.”
“Sudah kuduga,” gumam Hea-in lirih.
“Apa?”
“Tidak,” elak Hea-in cepat sambil terus menyantap makanannya. Perutnya sudah lapar sekali, karena kemarin ia belum sempat makan malam.
“Rupanya, kau menyukai masakanku,” komentar Taec-yeon puas, melihat Hea-in sangat lahap memakan masakannya.
Hea-in mendengus, “Cih...begitu saja—“
TING! TONG!....bel pintu berbunyi. Taec-yeon segera beranjak dari tempatnya. Sementara Hea-in sedikit tegang, berharap yang datang bukan orang tua Taec-yeon, karena ia tak ingin kesalahpahaman itu semakin melebar dengan melihatnya bermalam di apartement Taec-yeon.
“Siapa?” tanya Hea-in bingung, saat melihat Taec-yeon terpaku di depan video pengintai di sebelah pintu. Penasaran, Hea-in menghampirinya dan tertegun melihat seseorang yang terpampang di video itu.
~To Be Continued.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar