Chapter 6
-Kediaman Keluarga Park-
“Bukankah seharusnya memang begitu?”
“Tidak, aku tidak suka yang seperti itu.”
“Sejak kapan kau...”
Ocehan-ocehan itu tak didengar lagi oleh Hae-bin. Seperti biasa, Tuan dan Nyonya Park bila bertemu selalu bertengkar. Walau itu hanya untuk hal-hal kecil. Seperti mengatur letak barang di ruang tamu. Padahal, kalau tak sedang senggang begini, mereka berdua jarang sekali bisa bertemu.
Dae-jia yang saat itu akan memenuhi janjinya bertemu editor novel yang akan segera diterbitkannya, tiba-tiba sudah berdiri di samping Hae-bin, yang kini berada di teras rumahnya. Kakaknya itu melayangkan tatapan menuduh pada Hae-bin, “Itu semua karenamu!” desis Dae-jia lalu tanpa menunggu bantahan Hae-bin lagi, gadis itu masuk dalam mobil Mercedes pink miliknya dan melaju kencang.
Hae-bin menghela nafas, sambil menatap kepergian Dae-jia dengan tatapan pilu. Getaran ponsel yang ia genggam membuatnya terkejut. Sebuah pesan dari Dong-hae masuk.
From: Lee Dong-hae
Ibu Guru, muridmu yang paling tampan ini sudah datang dan sedang menunggu di depan pintu gerbang.
Buru-buru Hae-bin melangkah dan ia menemukan pria itu sudah di depan pagar rumahnya tengah tersenyum di atas motor sport miliknya.
“Kau tidak sedang menangis lagi kan?” godanya yang berhasil membuat pipi Hae-bin memanas. Ia mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, saat ia menangis di pelukan Dong-hae.
Hae-bin tersenyum kikuk, “Ehm...tapi sepertinya ada masalah lain,” gumam Hae-bin bingung mengungkapkannya. Tak mungkin baginya mengajak Dong-hae masuk di saat ada pertengkaran antara Ayah dan Ibu tirinya di dalam.
“Masalah?” alis Dong-hae bertaut, “jadi...kau tak bisa mengajariku lagi?” katanya pura-pura kecewa.
Hae-bin kembali berdeham, “Bukan begitu...” sergahnya merasa tak nyaman, “tapi kita tak bisa belajar di sini,” ia beralasan, “bagaimana kalau di rumahmu saja?” tambahnya cepat sebelum Dong-hae sempat memprotes.
Pria itu tersenyum lebar sembari mengangguk, “Boleh, ayo kita berangkat sekarang!”
“Sebentar, aku ke dalam dulu mengambil tas-ku!” tahannya.
“Oke!”
-Kediaman keluarga Lee-
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 30 menit, Hae-bin tiba di depan sebuah rumah yang tak kalah mewahnya dengan rumah Ayahnya. Hanya saja, halaman rumah itu lebih luas. Berbagai tanaman ditanam dengan rapi dan terawat. Rumputnya juga tampak begitu tebal dan hijau, hingga menampilkan pemandangan yang sangat asri. Di bagian samping rumah, ia melihat ada sebuah rumah kaca kecil yang pastinya dipenuhi dengan tanaman-tanaman budi daya.
Ia turun dari motor Dong-hae dengan mata masih menjelajahi pemandangan di sekitarnya.Menyenangkan sekali di sini, batin Hae-bin. “Ayo, kita ke sana!” ajak Dong-hae memimpin langkah Hae-bin. Mereka berdua berjalan menuju sebuah meja dan kursi besi berwarna putih yang terletak di tengah-tengah taman bunga tersebut, tepat di sebelah kolam ikan dengan air mancur mini berbentuk ikan paus yang tengah menyemburkan airnya. Suara gemericik air itu menimbulkan suasana menenangkan bagi yang mendengarnya. “Bagaimana kalau kita belajar di sini saja,” tawar Dong-hae.
Hae-bin mengangguk setuju, “Kurasa, materi yang akan kita pelajari akan lebih cepat masuk dengan kondisi seperti ini,” gumam Hae-bin, masih belum berhenti memuji keasrian taman itu.
Dong-hae tersenyum bangga, menatap takjub pada gadis cantik yang tengah tersenyum di hadapannya. Ya, gadis itu tampak cantik dengan senyum tulus tersungging di bibirnya. Rambutnya yang sengaja diurai membingkai dengan indah wajah lembut gadis itu.“Kalau begitu, aku ke dalam dulu mengambil minuman untukmu.”
“Tidak usah,” tolak Hae-bin, “sebaiknya kita mulai saja belajarnya,” Hae-bin duduk di kursi dan mulai mengeluarkan buku-bukunya. Karena merasa rambutnya mengganggu ketika ia tengah menunduk untuk mengambil buku-buku dalam tasnya. Hae-bin hendak mengikat rambut panjangnya itu, tapi tiba-tiba tangan Dong-hae menahan lengannya.
“Biarkan saja! Kau terlihat lebih cantik dengan rambut terurai begitu!” gumam Dong-hae lirih yang tentu saja membuat degup jantung Hae-bin kembali meningkat.
“Sekarang baru hari Jumat,” gumaman seseorang membuat keduanya salah tingkah dan buru-buru berpaling menghadap asal suara. Seorang gadis memakai long-coat cokelat muda dengan blus putih dan jeans biru tua di bawahnya. “Malam Minggu masih dua hari lagi,” tambah gadis itu santai sambil mendekat ke arah mereka.
“Yoo-hee?” keluh Dong-hae kesal, “Siapa yang sedang berkencan, kami sedang belajar!” belanya. Adiknya itu menyeringai, lalu meletakkan tumpukan kertas yang hanya di klip di bagian atasnya. “Apa ini?” tanyanya bingung.
“Itu Novel,” jawab Yoo-hee acuh tak acuh.
“Aku tau ini Novel,” sergah Dong-hae tak sabar, “lalu kenapa kau berikan padaku?”
“Kurasa kau belum lupa janjimu padaku, Lee Dong-hae!” Gadis itu mengingatkan sambil bersedekap.
“Janji?” kening Dong-hae berkerut mencoba untuk mengingat sesuatu, tapi tak berhasil. “ Janji ap—“
“Berapa umurmu Lee Dong-hae? semuda ini sudah pikun!” ejek Yoo-hee. Mata Dong-hae membulat kesal mendengar ejekan adiknya itu.
“Ya! ka—“
“Dulu kau menerima permintaanku untuk membuatkan lay-out dan desain cover novel ini padaku,” potong Yoo-hee tenang.
“Tapi—“
“Besok malam, kuharap sudah selesai!”
“Ya!” Dong-hae berdiri dari kursinya, “Setidaknya kau panggil aku kakak!” gerutu Dong-hae.
“Kalau kau ingin aku memanggilmu kakak, setidaknya tunjukkan padaku bahwa kau pantas untuk kupanggil begitu,” gadis itu menyeringai jahil ketika melihat wajah Dong-hae yang tampak semakin kesal.
“Ya! Lee Yoo—“
“Young-in! ayo cepat! Nona Park pasti sudah menunggu kita!” Yoo-hee memanggil adik bungsunya yang sudah berjanji pada Ayahnya untuk membantunya di kantor tanpa mempedulikan omelan Dong-hae.
Setengah menit kemudian, gadis lain keluar dari rumah besar itu. Gadis itu terengah-engah karena berlari terlalu cepat, “Iya, iya,” jawab gadis itu sambil mengerucutkan bibirnya. Sebenarnya ia masih tak rela mengorbankan waktunya untuk membantu kakaknya di perusahaan Ayahnya, apalagi sore ini ia telah memiliki janji dengan kekaksihnya Kyu-hyun, tapi terpaksa dibatalkan karena harus memenuhi permintaan kakaknya bertemu dengan salah satu novelis yang novelnya akan segera diterbitkan. “Aku kan masih harus menelpon Kyu-hyun dulu untuk membatalkan janji kami!” gerutu Young-in masih tak rela.
“Kau bisa melakukannya di mobil!” Yoo-hee menarik lengan adik bungsunya itu.
“Tapi kak!” protes Young-in, “apa kau tega melihat adikmu ini putus dengan kekasihnya hanya karena ini?”
“Apa urusanku?” Yoo-he mengangkat bahunya, “kurasa masih banyak pria lain yang bisa kau jadikan kekasih.”
“Cih,” cibir Young-in, “Lihat, siapa yang bilang begitu?” Young-in mendekatkan wajahnya pada Yoo-hee, “seorang gadis yang rela menjomblo hanya untuk mengharapkan seseorang yang sudah 5 tahun ini pergi ke luar negeri tanpa kabar apapun.”
“Apa kau tak menginginkan mobil itu lagi?” Yoo-hee mengingatkan.
“Haissshh...kau tega!” Young-in mulai berjalan dengan langkah pelan menuju mobil tapi langkahnya terhenti ketika tak sengaja menatap Hae-bin yang tengah duduk di kursi taman. “Eh? Kau Park Hae-bin kan, sahabat Yu-ri?” sapanya menghampiri gadis itu.
Hae-bin tersenyum kikuk. Mereka berdua memang sekolah di satu SMA yang sama. Tapi karena sifat pendiam Hae-bin, ia tak terlalu akrab dengan Young-in. “Iya,” balas Hae-bin.
Young-in melirik kakaknya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Sementara Dong-hae merasa was-was, takut kalau-kalau adiknya yang jahil ini akan mengadukannya pada Yu-ri. “Sejak kapan kalian dekat?” selidik Young-in.
“Dia ke mari untuk membantuku belajar bahasa Inggris,” bela Dong-hae.
“Ah...” Young-in mengangguk-angguk, “jadi kau membawa guru les privat ke mari,” godanya.
“Ehm...” Dong-hae menggaruk belakang kepalanya, “Yah...salahmu sendiri tak mau membantuku!”
“Young-in!” panggil Yoo-hee sekali lagi.
“Errrggh...” Young-in menggeram sebal lalu dengan langkah terpaksa mengikuti kakaknya ke mobil.
Dong-hae menatap Hae-bin penuh penyesalan, “Maaf, adik-adikku memang begitu.”
Hae-bin tersenyum, justru suasana seperti itulah yang diinginkannya di rumah. Pertengkaran antara adik dan kakak. Pagi hari bertengkar, malam harinya sudah baikan lagi. Kapan aku bisa merasakannya?, batin Hae-bin sendu.
“Hae-bin, kita bisa melanjutkannya sekarang?” tanya Dong-hae melihat Hae-bin yang tiba-tiba diam.
“Ah..ya,” cetus Hae-bin.
Dong-hae mengeluarkan buku-bukunya, “Kita mulai dari mana?” Mata Hae-bin masih belum lepas dari naskah novel yang tadi diletakkan oleh adik Dong-hae di meja. “Hey! Kau mendengarku?” Dong-hae mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Hae-bin.
Sepertinya aku pernah melihat novel itu, pikir Hae-bin. “Kak...boleh aku pinjam naskah itu?” Hae-bin menunjuk tumpukan kertas yang diklip rapi itu.
“Oh? Ini?” Hae-bin mengangguk. “Silakan!”
Ia menerima naskah itu. Benar, ini novel kak Dae-jia, gumamnya dalam hati. Novel yang dulu tak selesai dibacanya.
“Itu novel baru yang akan diterbitkan di publisher Ayahku,” jelas Dong-hae, “kau tertarik untuk membantuku?” tiba-tiba ide cemerlang melintas di benak Dong-hae.
“Sampai bagian mana aku dulu membacanya?” Hae-bin bergumam pelan pada dirinya sendiri sambil membuka-buka halaman naskah itu tanpa mempedulikan kata-kata Dong-hae.
Alis pria itu bertaut, “Kau pernah membacanya?” tanyanya bingung. Padahal ia tau novel itu belum diterbitkan di manapun.
“Oh?” Hae-bin mengangkat kepalanya, dan tersenyum kikuk, “Ini...” ia ragu, tapi memutuskan untuk jujur pada Dong-hae. Tak ada gunanya ia berbohong pada pria itu, begitu pikirnya. “Ini novel kakakku.”
“Eh?” Dong-hae tampak kaget. “Maksudmu...”
“Kakak tiriku,” jelas Hae-bin lagi, gadis itu menunjuk nama yang tertera di naskah itu, “Park Dae-jia.”
“Ah...” Dong-hae mengangguk, tanda mengerti. “Bukankah...setauku hubungan kalian tak begitu baik?” tanya Dong-hae hati-hati.
Hae-bin tersenyum kecut, “Kau benar!” gumamnya, “ia selalu menyalahkan aku atas kekacauan yang terjadi di rumahnya saat ini.”
Dong-hae menghela nafas, “Kalau kau mau, ceritakanlah semuanya padaku!” tawar Dong-hae.
-Infinite Cafѐ, Hongdae-
Yu-ri menggeram kesal. Sudah ia duga pria itu akan mengingkari janjinya. Bagaimana mungkin ia percaya pada pria dingin tak punya hati seperti Kim Soo-hyun itu? apalagi ini menyangkut masalah keluarganya. “Errggh...sial!” makinya sambil meninju tembok cafѐ milik orang tuanya. “Sepertinya aku memang harus menggunakan metodeku sendiri untuk membuat pria parasit itu jera.”
“Hey, kau bilang hari ini akan menjalankan aksimu,” kakaknya Shin Yoon-hee, tiba-tiba menghampirinya. “tapi kenapa kau sekarang malah duduk santai di sini?”
“Aku menunggu seseorang,” gumam Yu-ri dengan ekspresi kesal.
“Kekasihmu?”
Yu-ri menggeleng, lalu membayangkan Soo-hyun menjadi kekasihnya. Ih...amit-amit aku memiliki kekasih sepertinya, pikir Yu-ri ngeri. “Tentu saja bu—“
“Kak Jung-soo?” bantahan Yu-ri terhenti saat kakaknya tiba-tiba berseru. Ia mengikuti arah pandang kakaknya. Seorang pria yang ia kenali bernama Park Jung-soo, salah satu personil band yang selama ini menjadi penyanyi tetap di cafѐ Ibunya. Pria itu melayangkan senyum berhias lesung pipi-nya pada kedua gadis itu.
“Lama tidak bertemu Yu-ri!” katanya sambil mengacak-acak rambut Yu-ri.
Yu-ri tersenyum lebar, “Ya, aku terlalu sibuk menjadi mahasiswa,” sombongnya.
Park Jung-soo tertawa mendengar jawaban Yu-ri, “Di mana yang lainnya, kenapa kau hanya sendiri?” tanya Yoon-hee, “kurasa pelanggan sudah mulai ramai, dan panggung sudah siap.”
“Justru aku datang ke mari untuk meminta ijin pada Ibumu,” katanya membuat kening Yoon-hee berkerut.
“Kalian tidak bisa tampil malam ini?”
“Maaf, produser rekaman tempat kami mengirimkan demo mengajak kami bertemu!” Jung-soo beralasan.
“Produser rekaman?” Yu-ri ikut menimpali, “jadi...kalian akan membuat album rekaman dan menjadi band terkenal?” katanya antusias.
Jung-soo tersenyum lebar, “Tentu saja,” serunya bangga, “doakan kami.”
Yu-ri mengangguk, “Pasti! Sepertinya aku harus mengumpulkan tanda tangan kalian sebelum kalian menjadi sibuk,” gumaman Yu-ri itu hanya ditanggapi senyuman senang Jung-soo lalu pria itu kembali mengacak-acak rambut Yu-ri.
“Apakah itu artinya...kalian tak bisa lagi tampil di cafѐ kami?” Yoon-hee tampak tidak rela.
“Kami akan menyempatkan diri,” gumam Jung-soo menenangkan. “Kami tak akan pernah lupa, bahwa cafѐ inilah tempat kami menemukan jalan ke sana.”
“Haiiissh...kenapa Ye-sung sama sekali tak mengungkit hal ini padaku, padahal tadi kami sempat bertemu?” keluh Yoon-hee seolah tak mendengar ucapan Jung-soo tadi. Dasar Jong-woon aneh!, makinya dalam hati.
“Kami baru mendapat kabar sore ini,” Jung-soo menjawab rasa penasaran Yoon-hee, “kalau begitu, aku pamit dulu!”
“Ya, hati-hati kak! Semoga sukses!” seru Yu-ri lalu berhigh-five dengan Jung-soo, sebelum pria itu pergi. Yu-ri menyeringai melihat ekspresi kecewa kakaknya, “Kau kecewa karena kau akan jarang bertemu kak Ye-sung?” goda Yu-ri sambil terkikik geli.
“Ya! enak saja!” bantah Yoon-hee, “aku dan Ye-sung hanya berteman!”
-Kediaman keluarga Lee-
“Jadi, ayahmu bilang kalau ia ingin menebus semua kesalahannya padamu?” Dong-hae bertanya setelah mendengar cerita Hae-bin tentang keluarganya dan mengapa ia menangis beberapa hari yang lalu. Dong-hae mengangguk-angguk paham.
“Beliau bilang akan melakukan apa saja untuk dapat menebus kesalahannya padaku dan Ibu.”
“Kurasa...” Dong-hae tampak berpikir sejenak.
“Kurasa apa?” ulang Hae-bin penasaran.
“Kurasa...kalau memang Ayahmu itu ingin menebus semua kesalahannya padamu,” Dong-hae mengambil jeda sejenak, “harusnya ia berusaha menebus kesalahannya pada Ibu dan kakak tirimu lebih dulu, agar semuanya menjadi lebih mudah bagimu.”
Hae-bin terdiam. Ia menemukan kebenaran dalam kata-kata pria di hadapannya itu. selama ini Ayahnya memang selalu bersikap baik padanya. Tapi tidak pada Ibu dan kakak tirinya.
“Ehm...sepertinya kita sudah terlalu banyak membuang waktu,” tukas Hae-bin merasa tak nyaman, “sebaiknya kita mulai pelajarannya sekarang.”
-Universitas Sogang-
Perayaan ulang tahun universitas Sogang, dimulai hari ini. Siang ini, Dong-hae menjemput kekasihnya, Shin Yu-ri untuk berjalan-jalan menikmati acara itu. “Wah...ramai sekali di sini!” seru Yu-ri antusias melihat stan-stan yang didirikan para mahasiswa dari berbagai jurusan dan klub yang ada di universitas itu.
“Hmm..beginilah acara kami setiap tahunnya,” gumam Dong-hae bangga.
“Wah...pasti menyenangkan sekali!” gumam Yu-ri masih terkagum-kagum lalu menghampiri salah satu stan yang memamerkan topeng-topeng kayu, gerabah, lukisan dan juga berbagai benda seni lainnya. Stan itu milik mahasiswa fakultas kesenian.
Dong-hae meraih salah satu topeng bergambar monster lalu menutupi wajahnya dengan topeng itu, “Bagaimana? ini cocok untukku?”
Yu-ri tertawa, “Sebaiknya kau pakai topeng itu terus, hal itu lebih baik daripada kau tidak memakainya,” goda Yu-ri.
Dong-hae langsung meletakkan kembali topeng itu di tempatnya dan mengejar Yu-ri yang sudah kabur, takut kalau-kalau kekasihnya itu memberinya hadiah jitakan.
Tiba-tiba langkah Yu-ri terhenti di depan ruangan bertuliskan ‘Rumah Hantu’. Tiba-tiba ia menyeringai. “Apa yang kau lihat?” tanya Dong-hae melihat kekasihnya yang tiba-tiba diam.
Yu-ri menunjuk ruangan itu dengan jari telunjuknya, mendadak wajah Dong-hae berubah panik. “Ayo kita masuk!” ajaknya tanpa mempedulikan bantahan Dong-hae gadis itu menarik dan melingkarkan lengannya di lengan Dong-hae. Menggiringnya ke tempat itu.
“Tapi...Yu-ri,” sergah Dong-hae tepat di depan pintu ruangan dengan nuansa hitam itu.
“Apa?” tanya Yu-ri santai, “masa kau takut pada rumah hantu seperti ini?”
“Ehm...kau tau kan aku ini takut gelap,” jelas Dong-hae perlahan, “tidur di kamar dengan lampu mati saja aku takut...apalagi...” Dong-hae menatap ngeri pada ruangan di hadapannya.
“Hoy! Sebenarnya kalian mau masuk atau tidak?” keluh mahasiswa lain yang mengantre di belakang mereka.
“Ya, Yu-ri—“ Dong-hae tak dapat melanjutkan kata-katanya ketika tiba-tiba Yu-ri sudah menyeretnya masuk ke dalam.
“Lihat, begini saja kau takut?” ejek Yu-ri setelah mereka sampai di dalam, “Itu semua tipuan,” tunjuknya pada kain-kain putih yang sengaja di gantung di pinggiran ruangan gelap itu.
Tapi Dong-hae tak menjawab, pria itu hanya menggenggam erat kedua bahu Yu-ri hingga ia bisa merasakan tangan gemetar kekasihnya itu, Dong-hae sama sekali tak mau menjauh dari tubuh gadis itu. “Ayo percepat langkahmu!” perintah Dong-hae ngeri. “Aaaaa!!!” jeritnya kaget ketika secara tiba-tiba seorang mahasiswa yang berdandan seperti dracula bangun dari sebuah peti mati yang diletakkan di pinggir ruangan.
Yu-ri terkikik geli mendengar jeritan Dong-hae itu. “Kau seperti—“ Gadis itu urung meneruskan kalimatnya karena secara tiba-tiba Dong-hae melangkah melewatinya dan berlari ke arah pintu keluar. Namun malang, sebelum pria itu sampai di pintu, ia kembali menjerit ketika tiba-tiba mahasiswa lain dengan wig panjang menyerupai sadako di film The Ring tiba-tiba keluar dari properti berbetuk sumur tepat sebelum pintu keluar. Tak ayal hal itu membuat Yu-ri kembali terkikik geli hingga perutnya terasa sakit.
Sementara itu, Hae-bin yang baru saja tiba berjalan-jalan sendirian di tengah lapangan utama tempat diadakannya festival ulang tahun universitas Sogang itu. Tak sengaja ia melihat Dong-hae baru saja keluar dari sebuah ruangan yang diketahuinya sebagai rumah hantu. Pria itu tampak pucat pasi. Ia tersenyum senang hendak menyapa pria itu. Baru saja ia akan menghampirinya, ia mengurungkan niatnya ketika tiba-tiba Yu-ri muncul di belakang pria itu sambil tertawa. Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah hatinya terlalu sakit menyaksikan keakraban pasangan kekasih di hadapannya itu.
Sebenarnya ada apa denganku?, keluh Hae-bin dalam hati.
Sebelum dua orang itu menemukannya tengah memperhatikan mereka, ia buru-buru pergi dari tempat itu. “Sebaiknya aku menemui kekasihku,” gumam Hae-bin sambil menahan sesuatu yang membuat hatinya terasa sesak.
Sesampainya di aula utama, ia mengedarkan pandangannya dan menemukan Kim Soo-hyun, kekasihnya itu tengah sibuk mengatur panggung yang akan digunakan untuk acara utama malam nanti. Hae-bin berusaha tersenyum, lalu menghampiri kekasihnya itu.
“Kim Soo-hyun, kekasihmu datang!” salah seorang teman Soo-hyun memberitahu.
Soo-hyun segera menoleh pada gadis itu dan menurunkan tangannya yang menggenggam handy-talky, “Oh...kau datang!” komentarnya singkat lalu kembali bicara pada seseorang di handy-talky-nya.
Hae-bin mendesah lelah. Bukan ini reaksi yang ia harapkan. Tapi ia tau kekasihnya memang begitu. Ia duduk di pinggiran panggung, menunggu hingga Soo-hyun tidak terlalu sibuk untuk menggubrisnya dan mau mengajaknya jalan-jalan.
Kira-kira 15 menit setelahnya, Soo-hyun yang tampak lelah duduk tepat di sampingnya. Hae-bin menyerahkan botol minuman yang tadi sempat dibelinya sebelum ke mari. “Minumlah dulu, sepertinya kau lelah!”
Soo-hyun menerima botol itu dan meneguk isinya hingga hampir separuh, “Kau belum makan? Mau kubelikan ma—“
“Tidak usah,” potong Soo-hyun. “Mau sampai kapan kau di sini?” tanyanya sambil melirik gadis itu.
“Emm...sampai kau selesai—“
“Aku sibuk Hae-bin,” Soo-hyun kembali memotong kalimat Hae-bin, “Kau tau kan, kalau aku tak suka diganggu?”
Hae-bin menunduk lalu mengangguk, “Ya,” lirihnya.
“Sebaiknya kau pergi saja bersama teman-temanmu, jangan menungguku di sini,” Soo-hyun sudah berdiri dari tempatnya dan menghampiri teman-temannya yang sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk properti panggung.
Hae-bin kembali mendesah frustasi, sambil menatap punggung kekasihnya. Kapan Soo-hyun akan bersikap manis padanya, seperti yang selama ini ditunjukkan Dong-hae?, batinnya.
“Kakak!” teriakan seorang bocah mengagetkan Hae-bin. Seorang bocah lelaki kira-kira berusia 10 tahun, yang ia kenali sebagai adik Soo-hyun, tengah berlari dan memeluk punggung kakaknya.
“Kau?” Soo-hyun tampak terkejut, “apa yang kau lakukan di sini?”
Adiknya menyeringai senang, “Bersenang-senang!”
“Kau tidak kabur dari rumah lagi kan?” tampak kekhawatiran di wajah Soo-hyun.
Jung-hyun menggeleng, “Tidak, aku diantar paman Hong, lalu dia meninggalkanku.”
Soo-hyun menghela nafas, ia tak ingin sekali lagi mendapat teguran Ayah angkatnya hanya karena tak menjaga adiknya itu dengan baik. “Syukurlah kalau begitu,” gumam Soo-hyun lega.
“Ayo kak, kita jalan-jalan!” rengek Jung-hyun sambil menarik lengan kakaknya.
Soo-hyun mendesah frustasi, “Jung-hyun, kau tak melihat kakakmu ini sibuk, he?”
Jung-hyun merengut mendengar jawaban kakaknya, “Sudah kuduga,” komentarnya, “kau selalu sibuk.”
“Ya—“
“Bagaimana kalau kau jalan-jalan denganku saja?” tawar Hae-bin yang sudah berdiri dan menghampiri kedua kakak beradik itu. Jung-hyun buru-buru memalingkan wajahnya pada Hae-bin, “Kau mau?” Hae-bin mengulurkan tangannya.
Setelah melirik kakaknya sekilas dan kakaknya memberikan anggukan persetujuan, akhirnya ia menerima uluran tangan Hae-bin.
Mereka berdua berjalan beriringan, tanpa mengucapkan sepatah katapun, “Kau ingin ke mana?” akhirnya Hae-bin memecah keheningan itu.
“Ke mana saja,” jawab Jung-hyun sambil terus berjalan.
“Bagaimana kalau kita—“
“Kak Yu-ri!” tiba-tiba Jung-hyun berseru membuat Hae-bin mengurungkan niatnya mengajak Jung-hyun melihat-lihat stan di lapangan utama. Alisnya bertaut, bagaimana bisa adik Soo-hyun itu mengenal Yu-ri?, pikirnya.
Yu-ri yang tengah berdiri di pinggir lapangan basket menantikan kekasihnya unjuk bakat menari di depan semua orang, menoleh ketika mendengar namanya di sebut.
“Oh? Jung-hyun?” sapanya riang.
Bocah itu berlari dan memeluk Yu-ri, “Aku merindukanmu!” katanya seolah tak ada orang lain di sana.
“Kau ke mari dengan siapa? Kabur lagi?” tebak Yu-ri.
Jung-hyun mengerucutkan bibirnya, “Kau sama saja seperti kak Soo-hyun, mengiraku kabur dari rumah,” omel Jung-hyun.
Yu-ri tertawa lebar, “Ah..Hae-bin, kau di sini juga,” sapa Yu-ri pada Hae-bin yang hanya bisa berdiri dengan pikiran bingung, menerka-nerka kenapa Jung-hyun bisa seakrab itu dengan Yu-ri. Padahal dengan dirinya, tidak.
“Kak, ayo temani aku jalan-jalan!” rengek Jung-hyun pada Yu-ri.
“Eh? Tapi..” Yu-ri menoleh ke lapangan, di sana Dong-hae dan teman-temannya sudah bersiap untuk beraksi. Pria itu melambaikan tangannya ke arah mereka.
“Kak, ayolah!” Jung-hyun terus menarik mantel biru yang dipakai Yu-ri.
Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya ia menuruti permintaan Jung-hyun, “Baiklah...baiklah, asal nanti kakakmu tidak marah padaku!” katanya memperingatkan.
“Kalau ia berani marah, aku yang akan memarahinya duluan!” balas Jung-hyun. Yu-ri tertawa geli mendengarnya.
“Oke, ayo!” ajaknya menggandeng lengan Jung-hyun. “Hae-bin, kau tidak ikut?” Yu-ri melirik Hae-bin.
Masih dengan ekspresi bingung, Hae-bin menggeleng, “Pergi saja,” katanya terlalu kaget untuk bertanya ada hubungan apa sebenarnya di antara mereka.
Setelah keduanya menghilang dari jarak pandangnya, Hae-bin baru sadar. Tak seharusnya ia meninggalkan tanggung jawabnya menjaga adik Soo-hyun pada orang lain. Tapi, bukankah Jung-hyun sendiri yang meminta Yu-ri menemaninya? Anak itu juga berjanji tak akan membiarkan kakaknya itu memarahi Yu-ri, batin Hae-bin frustasi.
Masih bingung, kepala Hae-bin berpaling dan pandangannya terpaku pada sosok pria yang tengah meliuk-liuk dengan lincahnya menampilkan gerakan tari bersama rekan-rekannya di lapangan basket. Sorakan riuh dari penonton terdengar dari setiap sudut. Tanpa sadar, senyum Hae-bin terkembang kala melihat pria itu tersenyum ke arah penontonnya.
“Hai, di mana Yu-ri?” tiba-tiba Hae-bin dikejutkan oleh tepukan ringan seseorang di sampingnya.
“Kak Dong-hae?” serunya, melihat pria yang tadi dipandanginya lekat-lekat. Pria itu sudah selesai menari dan nampak lelah dengan keringat menetes di dahi dan lehernya.
“Hey!” sapa Dong-hae lagi saat melihat gadis itu hanya diam.
“Oh...?” Hae-bin menunduk, menyembunyikan pipinya yang memerah karena kedapatan memandangi pria di depannya itu, “Yu-ri...ia pergi menemani Jung-hyun.”
“Jung-hyun? Siapa itu?” tanya Dong-hae bingung.
“Itu...dia...”
“Jung-hyun?” tiba-tiba seorang pria menghampiri mereka, “di mana adikku? Bukannya aku menyuruhmu menjaganya!”
“Soo-hyun, dia...” Hae-bin tergagap, “dia bersama...Yu-ri.”
“Apa?” tanpa mengindahkan lagi omongan Hae-bin, pria itu melesat pergi meninggalkan mereka.
“Bukankah itu kekasihmu?” tanya Dong-hae bingung.
Hae-bin mengangguk, “Ya, dia Kim Soo-hyun kekasihku,” ada nada tak yakin dalam kalimat Hae-bin.
“Tapi kenapa...Yu-ri dan adiknya...” kebingungan menghiasi wajah Dong-hae.
“Aku juga tak tau...” balas Hae-bin muram.
Setelah mencari ke sana ke mari, akhirnya Soo-hyun menemukan adiknya yang kini tengah berdiri di depan sebuah stan yang menunjukkan miniatur-miniatur planet yang tersusun sesuai urutan tata surya milik klub astronomi. Ia mendesah lega mendapati adiknya tidak apa-apa.
“Aku suka sekali mempelajari tentang planet,” gumaman bocah itu terdengar oleh Soo-hyun yang kini berjalan mendekati mereka.
“Benarkah?” tanya seorang gadis yang dikenalinya sebagai Shin Yu-ri menanggapi kata-kata Jung-hyun.
“Kau percaya adanya alien?” tanya Jung-hyun polos.
Yu-ri tampak berpikir sejenak, “Emm...memangnya kau percaya?” ia malah balas bertanya.
Jung-hyun mengangguk, “Aku sangat percaya,” katanya dramatis, “kau tak pernah mendengar ada berita tentang piring terbang yang beberapa kali terlihat oleh kamera?”
Mata Yu-ri membulat, “Wah...jujur aku belum pernah melihatnya,” katanya takjub, “memangnya bentuknya seperti apa? bulat seperti di film-film itu?”
Mendengar percakapan itu membuat Soo-hyun tak tahan untuk tersenyum. Gadis ini benar-benar kekanak-kanakan!, batin Soo-hyun geli.
“Ah...Kak Soo-hyun, suatu kehormatan sekali seorang presiden mahasiswa mampir di stan kami,” gumam seorang mahasiswa yang ia kenali sebagai ketua klub astronomi.
Soo-hyun mengangguk sesopan mungkin, merasa tersanjung diperlakukan seperti itu. “Eh...kakak! kau di sini juga?” seru Jung-hyun senang.
Yu-ri melirik Soo-hyun sekilas, lalu kembali pura-pura sibuk memperhatikan miniatur-miniatur planet itu. “Ya, aku takut terjadi apa-apa denganmu,” gumam Soo-hyun.
Mendengar kata-kata Soo-hyun itu, tentu saja membuat Yu-ri tersinggung. “Aku baik-baik saja,” jawab Jung-hyun sebelum Yu-ri sempat marah pada kakaknya itu. “Kak, ayo kita ke rumah hantu itu!” cetusnya sembari menggandeng lengan keduanya membuat Yu-ri dan Soo-hyun saling bertukar pandang.
“Bagaimana ini, mereka tak bisa ditemukan? Soo-hyun pasti marah padaku,” keluh Hae-bin bingung.
Dong-hae menepuk pundak gadis itu, “Tenanglah, kita pasti menemukannya, dan mereka pasti baik-baik saja sekarang,” ia mencoba menenangkan Hae-bin.
“Semoga saja,” gumam Hae-bin pelan.
Sementara itu, tepat di sebelah pohon maple yang terletak di dekat stan-stan penjual makanan, Young-in dan Kyu-hyun sedang menyantap kue beras yang mereka beli dari stan makanan itu. “Enak kan?” Young-in yang baru saja menyuapkan potongan besar ke mulut kekasihnya bergumam.
“Ya, enak sih enak,” protes Kyu-hyun setelah dengan susah payah menelan kue beras itu, “tapi bisakah kau menyuapkannya sedikit demi sedikit?” Young-in terkikik geli mendengar protesan kekasihnya itu. “Eh...bukannya itu temanmu, Shin Yu-ri!” tunjuk Kyu-hyun ketika melihat Yu-ri sedang berdiri di depan stan es krim.
“Ya, benar!” gumam Young-in. Tiba-tiba terlintas di benaknya, kejadian kemarin. Pasti akan heboh, kalau aku mengatakan padanya, batin Young-in dengan seringai jahil tersungging di bibirnya.
“Ya! kau mau ke mana?” protes Kyu-hyun ketika tiba-tiba Young-in berdiri dan menghampiri temannya itu.
“Yu-ri!” panggilnya.
“Oh? Young-in?” sapa Yu-ri senang.
“Siapa dia?” seorang bocah yang tak dikenalinya ikut menimpali. Siapa bocah ini?, batin Young-in,seingatku Yu-ri tak memiliki adik kecil!
“Oh..kenalkan, dia Jung-hyun, dan Jung-hyun dia temanku Young-in,” Yu-ri memperkenalkan.
“Ah...” Young-in mengangguk, tampak tak tertarik, “Yu-ri, ada sesuatu yang ingin kusam—“
“Hey, kalian lama sekali!” seruan seorang pria menghentikan kalimat Young-in.
“Kau tidak sabaran sekali sih!” keluh Yu-ri lalu menyerahkan satu es krim cone yang tadi dipesannya pada pria itu. “Kau mau bicara apa Young-in?” tanya Yu-ri kembali menoleh pada temannya itu.
Young-in yang masih bingung, buru-buru menggeleng, “Tidak, tidak ada,” jawabnya sambil tersenyum bingung.
“Kalau tidak ada, kami permisi dulu ya!” pamit Yu-ri lalu pergi meninggalkannya yang masih tak mengerti dengan pemandangan di depannya. Kami? Siapa pria itu? kenapa Yu-ri bersama pria itu? bukankah ia kekasih kakakku?, batin Young-in bertanya-tanya.
“Hey, bukankah pria itu presiden mahasiswa kampus ini?” tiba-tiba seruan Kyu-hyun kekasihnya membuat Young-in menoleh. Tangannya masih sibuk bergerak ke sana ke mari.
Tapi ia tiba-tiba tersadar, “Apa? apa kau bilang? Presiden mahasiswa?” ulang Young-in. Kyu-hyun hanya mengangguk, “dari mana kau tau?”
“Aku pernah melihatnya menyampaikan pidato saat acara olimpiade Matematika beberapa waktu yang lalu,” jelas Kyu-hyun. Tapi itu tak cukup menjelaskan mengapa Yu-ri bisa dekat dengan pria itu.
“Sebenarnya apa yang terjadi di antara mereka?” gumam Young-in pada diri sendiri.
~To Be Continued.....
By Yuli ~Admin Lee~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar