Senin, 23 Januari 2012

F A T E - Chap 3 - Super Junior Fanfiction -

CHAPTER 3



Ringkasan Chapter sebelumnya ::

Ye-sung memulai hidup barunya bersama "Jodoh"  yang terpaksa diterimanya untuk tinggal bersamanya, sang penyihir muda berbakat, Juny Killarney. Ditakut-takuti oleh beragam ilusi yang dihasilkan tongkat sihir Juny, membuat idola satu itu tak berkutik terhadap semua keinginan Juny. termasuk, harus menjauhi Yoo-na, member SNSD yang diam-diam ditaksir Ye-sung. 
Bagaimana kelanjutan kehidupan baru Ye-sung dan Juny, juga tetangga serta fan Ye-sung, Kim Hae-sa yang tergila-gila pada pria itu, dan sahabatnya, Karin Lee, yang tanpa sengaja memotret kemesraan Taec-yeon 2PM bersama Jessica SNSD? 



- Apartemen Ye-sung / Kim Jong-woon -    

Seminggu sudah berlalu sejak “penjajahan” yang dilakukan Juny terhadap rumah dan hidup Ye-sung yang “malang”. Semenjak itu pula, ke mana pun Ye-sung pergi, dan di mana pun Ye-sung berada, selalu ada sesosok gadis asing bergaya gothic—lengkap dengan sapu andalannya—berkeliaran di sekitar idola satu itu.

Apa Ye-sung sebal? Apa Ye-sung Terganggu? Apa Ye-sung ingin kabur dari Juny? Oh, ya, itu sudah pasti. Tapi hal-hal tersebut tidak sebanding dengan rasa takut Ye-sung terhadap ancaman tongkat sihir sakti Juny. Jadi, begitulah, kehidupan “horor-romantis” seorang Kim Jong-woon aka Ye-sung, terus berlanjut…

“Ugh…” keluh Juny saat keluar dari mobil Ye-sung.

“Ada apa?” tanya Ye-sung. Bukan karena ia khawatir, tapi sepanjang perjalanan Ye-sung heran melihat sikap kalem Juny yang tak biasa. Bukan berarti Juny banyak bicara selama seminggu mereka tinggal bersama, tetapi biasanya sikap diam Juny diselubungi kabut tebal aura seramnya, sedangkan selama perjalanan dari kantor SM Entertainment hingga akhirnya sampai di sini, Juny secara mengajaibkan terlihat “tak berbahaya”, dan bahkan justru terlihat lemah.

Juny tak menjawab. Ia merasa sangat pusing dan mual. Diambilnya sapu terbangnya dari jok belakang Hyundai Tucson merah garnet milik Ye-sung, lalu berjalan cepat, tak sabar ingin segera sampai di apartemen Ye-sung.Namun rupanya Juny tak kuasa menahan mualnya lebih lama lagi. Di depan sebuah Mercedes Benz hitam mengkilat—yang entah siapa—Juny memuntahkan makan siangnya.

“Ya Tuhan!” seru Ye-sung ngeri saat melihat muntahan Juny mengotori mobil mahal tersebut. Buru-buru dihampirinya gadis itu. “Kenapa kau muntah di sini?” omelnya.

Dengan latar kulit pucatnya—yang semakin pucat—mata hitam besar Juny yang menyorot tajam terlihat semakin menyeramkan ketika mendelik sewot ke arah Ye-sung. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, sebuah sapu tangan sutra berwarna perak yang bersulam inisial Juny—JK—muncul di tangan gadis itu, dan dipakainya untuk mengelap bibirnya.

“Benda itu,” kata Juny dengan suara yang tak setajam dan selantang biasanya, sambil menunjuk mobil Ye-sung. “Yang kalian manusia biasa sebut mobillah, yang membuatku seperti ini! Semenjak naik mobilmu, aku merasa pusing dan mual—“ Juny terdiam ketika melihat gerakan bibir Ye-sung yang mencurigakan. “Apa?”

Tak dapat menahannya lagi, Ye-sung tertawa terbahak-bahak. “Maaf, maaf, aku…” belum selesai kalimatnya, Ye-sung kembali terbahak-bahak lagi hingga meneteskan air mata. “…kau… kau mabuk? Kau belum pernah naik mobil sebelumnya? Di jaman semodern ini? sama sekali?” Dan lagi-lagi, tawa Ye-sung meledak dengan menyebalkannya.

Wajah Juny merona malu. Yang paling dibenci Juny adalah kekalahan. Tapi yang paling membuatnya murka adalah dipermalukan. Dan itulah yang dilakukan Ye-sung saat ini. Dikeluarkannya tongkat sihir dari saku tersembunyi gaun hitam-peraknya, lalu tanpa basa-basi menodongkannya tepat di depan hidung Ye-sung, yang dengan mujarabnya langsung menghilangkan tawa dan selera humor pria itu.

“Apa aku terlihat lucu hingga pantas ditertawakan?” tanya Juny dengan kelembutan palsu.

“Tidak,” jawab Ye-sung langsung sambil menggeleng tegas dan serius. “Kau… terlihat cantik, dengan… dengan rambut… emm, semacam itu, dan gaun mekar itu… eh… juga sapumu…” rayunya dengan menyedihkan—berharap itu cukup untuk meredakan kemarahan Juny. Yeah, yang benar saja.

Tongkat sihir Juny menekan pelan hidung Ye-sung, membuat mata pria itu juling karena tatapannya yang terpaku pada ujung tongkat sihir di hidungnya.

“Tak heran kau terus melajang dan tidak dihiraukan si gadis kurus kering yang kau puja itu, bila begini caramu menggombal,” hina Juny, memaksudkan Yoo-na yang ditemuinya di kali pertama ia menginjakkan kaki di SM Entertainment seminggu lalu.

Yesung yang tersinggung karena Yoo-na-nya yang cantik sempurna dibawa-bawa dalam pembicaraan—dan dihina oleh gadis aneh dari alam lain di hadapannya ini—menggeram marah. “Kau tidak boleh—“

“Kak Ye-suuuuunnnggg!!!”

Belum sempat Ye-sung maupun Juny bereaksi terhadap seruan tersebut, si pemilik suara, bocah laki-laki berusia sekitar 8 tahun, berlari menubruk tubuh Ye-sung, kemudian memeluknya.

“Ji-hae!” teriak Kim Hae-sa memanggil adiknya. Karena membawa tas-tas plastic belanjaan, ia kesulitan mengejar Ji-hae yang nakal. Hae-sa nyaris mengomeli Ji-hae, tetapi diurungkannya niatnya begitu melihat dengan siapa adiknya berada. “Eh, kak Ye-sung,” ucapnya malu-malu sambil merapikan rambut panjangnya.

“Eh, hai,” sapa Ye-sung. Ketika disadarinya Juny masih belum juga menyingkirkan tongkat sihir dari hidungnya, buru-buru Ye-sung menepisnya.

“Kak Ye-sung, teman-teman sekelasku tak ada yang percaya padaku ketika ku katakan aku bertetangga denganmu,” adu Ji-hae.

“Benarkah?” Ye-sung tak tahu lagi harus berkomentar apa karena tegang. Belum pernah selama seminggu ini dirinya dan Juny terlihat berkeliaran bersama di sekitar apartemennya. Ia tak ingin orang-orang mulai curiga.

“Ji-hae, jangan ganggu kak Ye-sung,” Hae-sa pura-pura menasehati adiknya, walau pada kenyataannya ia sendiri pun sedikit demi sedikit semakin mendekati Ye-sung.

Ji-hae mengeluarkan ponsel khusus anak-anak dari saku celana pendek kotak-kotak birunya. “Apa aku boleh berfoto denganmu? Agar teman-temanku tak menuduhku pembohong?”

Ye-sung melirik cepat ke arah Juny yang walau masih terlihat kesal, namun terlalu mabuk untuk tetap menjaga kesangaran wajahnya. “Baiklah, ayo,” Ye-sung menyetujui dengan cepat, agar bisa cepat pergi dari tempat itu.


“Oh… kak Ye-sung, kau baik sekali,” ucap Hae-sa terharu. “Sini, sini, biar aku yang memotret kalian,” tawarnya bersemangat. Ji-haeku memang pintar. Dia tahu harus bergaul baik dengan calon kakak iparnya, pikir Hae-sa girang sambil terkikik geli.

Berjongkok dan merangkul Ji-hae, Ye-sung tersenyum ke arah kamera. Semakin lama Juny semakin tak sabar. Ia benar-benar butuh ramuan penghilang sakit buatannya yang tersimpan di kamar tamu Ye-sung, juga beristirahat sebentar agar bisa cepat pulih, tapi Ye-sung justru asyik berfoto-foto. Memang, bisa saja Juny lebih dulu kembali ke apartemen Ye-sung, tapi demi para dewa-dewi, Juny tak akan sudi meninggalkan Ye-sung berduaan—yeah, ada si adik kecil, tapi dia tak dianggap—dengan si gadis-cengar-cengir yang sepertinya sangat memuja Ye-sung ini. Apa yang dilihatnya dari pria aneh ini? pikir Juny, heran terhadap selera Hae-sa.

“Yak, sudah. Wah, kalian sama-sama terlihat tampan,” puji Hae-sa ketika melihat hasil fotonya, walaupun sebenarnya yang dipelototinya adalah wajah Ye-sung, dan tak sedikitpun melirik wajah adiknya yang hanya berjarak beberapa centi dari kepala besar idolanya itu. “Emm, kak, boleh aku juga berfoto bersamamu—“

“Bo—“

Belum sempat Ye-sung mengiyakan, Juny langsung menarik “jodohnya” itu ke arahnya, lalu mendorong Ji-hae dan Hae-sa—yang selalu cengar-cengir bila berada di dekat Ye-sung—menjauh dengan sapunya.

“Kau tidak punya waktu untuk ini,” kata Juny tegas.

“Eh—“

“Siapa dia, kak?” tanya Hae-sa. Diamatinya penampilan nyentrik Juny dengan sebal.

“Oh, eh, dia… temanku dari Irlandia,” jawab Ye-sung cepat.

“Apa dia juga artis?” tanya Hae-sa.

Juny nyaris muntah lagi. Dijewernya telinga Ye-sung untuk mendekat ke arah mulutnya agar ia bisa berbisik. “Singkirkan dua anak menyebalkan ini, atau aku yang melakukannya.”

Ngeri mendengar ancaman Juny “si penyihir jahat” terhadap dua orang tak berdosa yang merupakan tetangga dan fansnya itu, Ye-sung segera mencengkeram lengan atas Juny dan menariknya menjauh. “Ah, maaf, lain kali saja kita mengobrolnya. Kami ada urusan penting dan mendesak. Permisi,” pamitnya, sebelum secepat kilat menyeret Juny pergi dari tempat parkir.

Ditinggalkan begitu saja membuat Hae-sa curiga, juga cemburu melihat kedekatan Juny dan Ye-sung. Dan kekesalannya tersebut dilampiaskannya pada adiknya.

“Bukankah sudah kubilang jangan lari meninggalkanku!? Kalau kau diculik orang bagaimana?” omelnya.

Ji-hae tak mendengarkan omelan kakaknya sama sekali. tatapannya tertuju pada sosok Juny dengan gaun gothic dan sapunya. Ingatan bocah itu melayang ke sekitar satu setengah tahun lalu, ketika ia melihat sesosok wanita naik sapu terbang melintas di depan balkon apartemennya.

Melonjak-lonjak girang, Ji-hae menatap wajah cemberut Hae-sa sambil menunjuk Juny. “Kak, yang tadi, teman kak Ye-sung, dia penyihir! Dia bisa terbang dengan sapu terbang!”

Dengan gemas Hae-sa menjewer telinga Ji-hae. “Penyihir apa, hah? Kau pikir bisa lolos dari omelanku dengan omong kosong tentang penyihir!? Biar kuadukan kau pada ibu karena tidak menuruti kata-kataku!”

“Aww! Sakit!” keluh Ji-hae. “Aku tidak bohong! Aku lihat dia terbang! Sumpah!” katanya, terus berusaha meyakinkan, namun apa daya, sang kakak yang selalu menganggap adik semata wayangnya itu nakal dan pengkhayal, tidak, dan mungkin tak akan pernah mempercayai kebenaran yang sebenarnya dikatakannya.

Keren, pikir Ji-hae. Aku punya banyak tetangga artis terkenal, dan sekarang ditambah bertemu dengan penyihir sungguhan! Aku harus ceritakan ini pada teman-temanku besok!



Setelah meminum ramuan penghilang sakit dan tidur selama satu jam, akhirnya Juny bangun dalam keadaan segar. Matahari sore yang terakhir kali dilihatnya sebelum memejamkan mata telah hilang, dan digantikan kegelapan malam.

Pemandangan yang pertama kali dilihat Juny ketika keluar dari kamar adalah Ye-sung yang sedang mengobrol dengan  Ddangkoma.

“…Ddangkomaku yang malang,” ucap Ye-sung yang belum menyadari kehadiran Juny. Dibelai-belainya tempurung kura-kuranya. “Aku tahu pasti kau juga takut pada si nenek sihir itu, kan? sepertinya dia sangat membencimu—“

Berkacak pinggang, Juny sengaja berdeham dengan nyaring, membuat Ye-sung terlonjak kaget di sofa kuningnya.

“Eh, kau sudah bangun. Apa kau sudah merasa sehat?” tanya Ye-sung berbasa-basi.

Tak menjawab, Juny langsung melangkah ke arah dapur dan mulai melaksanakan tugas sehari-harinya; membuat makan malam untuk mereka berdua.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan, sebelum Juny bersuara. “Aku bukannya membenci kura-kuramu. Aku hanya menganggap hobimu mengobrol dan bermain-main dengannya itu konyol dan menyedihkan.”

Ye-sung cukup senang mendengar Juny tak membenci Ddangkoma kesayangannya, tapi ia juga kesal mendengar sebutan konyol dan menyedihkan yang diberikan Juny.

Bersandar di sofanya, Ye-sung mengamati punggung Juny yang sedang mencuci sayuran dalam balutan gaun cokelat tua dengan dilapisi celemek merah bergambar wajah kartun Ye-sung—pemberian salah satu fansnya. Selagi Juny sibuk dengan sayurnya, di meja counter sebuah pisau bergerak dengan sendirinya memotong-motong daging sapi di atas telenan, dan tak jauh dari situ, di atas kompor, sebuah panci berisi air kaldu tengah diaduk-aduk oleh sendok besar yang juga bergerak sendiri.

Setelah seminggu hidup bersama, dan selama itu pula melihat pemandangan seperti ini, Ye-sung tak lagi terkejut, namun masih saja terkagum-kagum dengan kehebatan sihir. Selama ini dipikirnya sihir hanya ada dalam dunia dongeng semacam Harry Potter, siapa sangka ia akan bertemu penyihir sungguhan seperti ini!?

Bukan berarti aku senang, pikir Ye-sung muram. justru sebaliknya, aku berharap tidak pernah bertemu penyihir satu ini.

“Kita hanya di rumah, kenapa kau tetap memakai gaun seformal itu?” tanya Ye-sung tiba-tiba karena penasaran. “Kenapa tidak memakai pakaian rumah saja?”

“Ini pakaian rumahku,” jawab Juny santai. Well, apa lagi yang bisa dikatakan Ye-sung?

Saat Ye-sung terdiam, Juny berpikir, mungkin baik bagi mereka bila lebih banyak mengobrol untuk saling mengenal. Mereka tak akan pernah bisa dekat bila sedikit bicara seperti ini.

“Apa kau tak tertarik memelihara binatang lain selain kura-kura itu?” tanyanya.

“Nama kura-kura ini Ddangkoma,” kata Ye-sung sabar.

“Namanya jelek. Aku tidak suka.”

Memangnya aku tanya pendapatmu? gerutu Ye-sung dalam hati. “Aku tidak memiliki keinginan memelihara binatang lain,” jawabnya pada akhirnya.

“Apa kau bisa berkuda?” tanya Juny sembari terus sibuk menyiapkan makan malam.

“Tidak.”

Juny tak dapat menahan desah kecewanya. Di dunia yang ditinggalinya selama ini, selain sapu terbang, para prianya wajib bisa mengendarai kuda, bila tidak ingin disebut pecundang payah. Bila berkuda saja dia tidak bisa, jangan harap dia bisa mengendalikan naga raksasa seperti Trevor, keluh Juny dalam hati.

“Apa kau punya binatang peliharaan?” tanya Ye-sung, karena Juny diam saja setelah jawabannya.

“Punya,” jawab Juny singkat, masih kesal dengan jawaban Ye-sung.

“Apa kau tidak rindu berjauhan darinya selama seminggu ini?”

“Sebenarnya iya, tapi sayangnya aku tak bisa membawanya ke mari.”

Kalau begitu kau saja yang pergi kembali padanya, pikir Ye-sung penuh harap, tapi ia hanya berkomentar, “Kenapa? Ngomong-ngomong, apa hewan peliharaanmu?”

“Aku yakin kau dan tetangga-tetanggamu yang penakut tak akan mau dekat-dekat Killy ku yang manis,” kata Juny sambil mengeluarkan tongkat sihirnya, lalu melambaikannya ke udara. Dalam sekejab di udara muncul semacam gelembung sabun yang di dalamnya menampilkan gambar seekor ular piton hitam sepanjang 9 meter bersayap kelabu yang tengah bermain-main di sebuah taman yang asri.

Mata sipit Ye-sung terbelalak ngeri melihat pemandangan terserbut. “I-itu… Killy-mu yang manis? ular raksasa bersayap itu!?”

Juny mengangguk tanpa menatap Ye-sung. Senyum sayang tersungging di bibir merahnya kala mengamati Killy-nya tengah asyik bermain-main di taman belakang rumah keluarganya.

Orang macam apa yang memelihara monster semacam itu? batin Ye-sung takjub. Penyihir yang gemar mengancam orang tak berdosa dengan tongkat sihirnya, jawabnya sendiri dalam hati.

Tanpa menyadari keterkejutan dan rasa ngeri Ye-sung, Juny kembali melambai-lambaikan tongkat sihirnya ke udara, memunculkan tiga gelembung lain. di masing-masing gelembung menampilkan gambar keluarga Juny; Ayahnya yang sedang melakukan rapat bersama para Menteri Negeri Sihir Irlandia, Ibunya yang sedang menyulam sambil bernyanyi bersama bunga-bunga di sekitarnya, dan gelembung terakhir menampilkan Kennard, kakak Juny, sedang berlatih pedang bersama sesama prajurit.

Dengan nada lembut yang belum pernah didengar Ye-sung, Juny mulai menceritakan tentang keluarganya.

Ye-sung ikut tersenyum saat Juny tersenyum ketika menceritakan hal lucu yang pernah dialami keluarganya. Saat ini, Juny terlihat begitu normal. Tidak menakutkan sama sekali. Hanya seorang gadis yang amat mencintai keluarganya, dan terlihat jelas merindukan mereka.

Kriiiiiiiiiiiiiinggggggggg… Telepon yang tiba-tiba berbunyi mengejutkan keduanya. Buru-buru Ye-sung menyambar gagang telepon, dan tersenyum lebar ketika mendengar suara ibunya.

Juny telah selesai menyiapkan makanan di meja makan ketika Ye-sung akhirnya juga selesai bicara dengan ibunya.

“Ibumu?” tanya Juny yang diam-diam mendengarkan pembicaraan Ye-sung.

“Ya. Dia mengeluh karena sudah lama aku tidak pulang,” jawab Ye-sung sambil duduk di kursi makan. “Mungkin akhir pekan nanti aku akan pulang ke rumah.”

Juny duduk di sisi kanan Ye-sung sembari mengangguk setuju. “Bagus. Memang sudah waktunya aku bertemu keluargamu,” katanya.

“Eh? Kau… astaga, tidak, maksudku ‘aku’ sendiri, kau tidak ikut.”

“Aku harus berkenalan dengan calon mertuaku, karena itu aku harus ikut,” kata Juny keras kepala. “Mereka sungguh beruntung mendapatkan menantu secantik, seberbakat, secerdas, dan sehebat aku. Aku yakin mereka akan langsung menyukaiku,” tambahnya serius.

Mungkin seharusnya Ye-sung sebal mendengar kesombongan natural Juny, tapi sebaliknya, ia justru tertawa.

“Ada yang lucu?”

“Tidak ada. Hmm… lezat,” puji Ye-sung mencicipi sesuap masakan buatan Juny.

Untungnya Juny menerima pengalihan pembicaraan tersebut karena senang mendengar pujian Ye-sung. “Tentu saja,” sahut Juny angkuh. “Ini aku, Juny Killarney, yang membuatnya. Apapun yang kulakukan selalu sempurna.”

“Yeah, yeah…”

“Kau punya saudara?” tanya Juny beberapa saat kemudian setelah menelan makanannya.

“Ya. Dan kau sudah bertemu dengannya,” jawab Ye-sung. “Pemuda yang kau tanyai di cafeku waktu itu.”

“Oh dia. siapa namanya?”

“Jong-jin.”

“Hmm. Jong-jin lebih tampan darimu,” komentar Juny santai, membuat Ye-sung mendelik tersinggung, namun tak berkata apa-apa.

Mereka melanjutkan makan dengan tenang tanpa bicara sepatah katapun, masing-masing bingung ingin membahas apa lagi.

“Oh!” seru Ye-sung tiba-tiba ketika melihat jam dinding. buru-buru ia meninggalkan meja makan dan menyalakan TV. “Sial, aku ketinggalan,” gerutunya.

“Ada apa?” tanya Juny heran.

“Bukan apa-apa.”

“Bukan apa-apa, tapi kenapa— ah… kau ingin melihat si kurus kering itu,” kata Juny tajam ketika melihat tayangan reality show yang ditonton Ye-sung menampilkan SNSD sebagai bintang tamunya.

“Bukan,” bantah Ye-sung cepat, walau seringai lebar nampak di wajahnya saat kamera menyorot Yoo-na. “SNSD juniorku, aku hanya ingin mengamati penampilan mereka—“

“Kau bodoh bila berpikir dapat membodohiku,” sela Juny sembari bangkit dari kursinya dan menghampiri Ye-sung untuk merebut remote dari tangan pria itu, lalu mematikannya.

“Penyihir satu ini benar-benar…” Ye-sung mendelik dan mendesis kesal. “Dengar, aku sudah muak dengan semua sikap sokmu. Ini rumahku, ini TV-ku, semua milikku, dan terserah apa yang kuinginkan, mengerti!?” bentak Ye-sung sambil kembali merebut remote dari Juny, dan menyalakan TV lagi.

“Bukankah aku sudah memperingatkanmu?”

Ye-sung berpura-pura tak mendengarkan, dan asyik menonton Yoo-na berinteraksi dengan teman-temannya. Cantiknya… puja Ye-sung dalam hati.

“Melihat sikapmu, kuanggap kau yang meminta hal ini,” ucap Juny datar. Dikeluarkannya tongkat sihirnya, dan bersiap untuk melambaikannya ke arah layar TV.

Panik melihat tongkat sihir Juny yang mungkin akan membahayakan Yoo-nanya yang cantik, Ye-sung melompat ke arah Juny. Niatnya hanya untuk merebut tongkat sihir gadis itu, namun yang terjadi adalah tubuh Ye-sung menabrak Juny, membuat keduanya terjatuh ke lantai, lalu bergumul dalam perebutan tongkat sihir tersebut.

“Kemarikan!” geram Ye-sung.

“Langkahi dulu mayatku,” balas Juny.

“Aww!” jerit Ye-sung saat Juny menjambak rambutnya, lalu menduduki pahanya agar ia tak bisa bergerak. “Kau… lumayan berat,” keluhnya, dan langsung mendapat hadiah jambakan kedua. “Aww… aww… aww!”

“Kau bahkan berani menyerangku demi si kurus itu!?” geram Juny, dengan gemas menjewer kedua telinga Ye-sung, masih dalam posisi menduduki pria itu.

“Ah, tidak… aku… awww!”

“Juny Killarney!” suara tajam bernada berat yang menggelegar menyentak Juny dan Ye-sung. Keduanya mengangkat kepala, dan terbelalak kala melihat Kennard Killarney—lengkap dengan seragam prajurit dan pedang besarnya—berdiri menjulang di atas mereka.

“Kakak…” ucap Juny terkejut.

Kennard memasang tampang galak sambil bersedekap. “Apa yang sedang kalian lakukan?”



- Kediaman keluarga Lee -  

“Jadi, apa kau punya koleksi foto Jessica yang baru lagi?” tanya Lucas, sepupu Karin, sengaja berkunjung ke rumah paman-bibinya demi mendapatkan foto-foto terbaru idolanya tersebut dari sepupunya.

Karin menurunkan majalah yang sedang dibacanya untuk menatap ke ambang pintu kamarnya, di mana Lucas sedang berdiri.

Lucas adalah penggemar berat Jessica, dan merupakan salah satu langganan tetap Karin. “1 foto 5000 won,” kata Karin, kembali asyik membaca majalahnya, dan tak menghiraukan sepupunya.

“Apa!? beberapa minggu lalu kau menjualnya 2000 won, kenapa sekarang naik?”

“Itu dulu,” jawab Karin seenaknya. “Mau atau tidak. Terserah saja.”

“Hah… baiklah.”

Karin menyeringai puas dibalik majalahnya. “Berapa yang kau mau?”

“Kau punya berapa?”

Karin beranjak dari kasurnya dan mengambil koleksi foto terbaru Jessica dari laci nakasnya. “Pilih saja,” katanya, melempar foto-foto tersebut ke kasurnya.

“Eh? Foto apa ini?” tanya Lucas.

Cepat-cepat Karin menoleh, dan melihat Lucas nyaris mengambil foto-foto kemesraan Jessica dan Taecyeon. “Ini tidak dijual,” kata Karin tegas, secepat kilat mengambil foto-foto tersebut.

Wajah Lucas masih terlihat shock karena apa yang baru dilihatnya dalam foto tersebut. “Itu… tolong katakan aku salah lihat… itu pasti bukan foto Jessica dan si tuan-monster-otot itu kan? itu bukan si Taecyeon sialan yang mencium pipi lembut Jessicaku yang cantik, kan?”

“Itu memang bibir Taecyeon yang menempel di pipi Jessica,” sahut Karin tanpa belas kasihan pada sepupunya yang tengah patah hati. “Cepat, kau mau beli yang mana. aku sibuk. Masih banyak majalah yang belum kubaca hari ini.”

“Tidak… tidak mungkin… Jessicaku… tidak mungkin dia mau dicium si brengsek itu…” gumam Lucas tak rela dengan gaya bak pemain drama abal-abal.

Kembali membuka majalahnya, Karin berkomentar dengan entengnya. “Kenapa tidak, Taecyeon tampan dan terkenal.”

“Jessicaku bukan tipe gadis yang mudah dibuat silau hanya dengan ketampanan dan kepopuleran seorang pria!” protes Lucas keras.

“Hmm. 1 foto 5000 won,” ulang Karin acuh tak acuh. “Ambil yang kau mau dan bayar sekarang. lima menit lagi harga 1 fotonya naik menjadi 6000 won.”

Kegalauan Lucas seketika itu juga sirna begitu mendengar harga baru yang ditetapkan sepupunya. “Mana bisa begitu!” protesnya, lalu buru-buru mengambil lima lembar foto tercantik Jessica dan membayar Karin dengan amat sangat tak rela. “Ini, ambil!”

“Terima kasih!” ucap Karin manis sambil menyimpan uang tersebut dalam brangkas kecil di samping tempat tidurnya, yang telah penuh dengan uang tabungannya hasil dari menjual foto-foto artis dan beragam kerja sampingannya selama ini.

Lucas sudah sampai di depan pintu saat bertanya, “Mau kau apakan foto-foto Jessica dan si… si brengsek itu?”

Karin membalik halaman majalahnya saat menjawab, “Dijual pada penawar tertinggi, tentu saja—“

“Jangan!” teriak Lucas, mengejutkan Karin. “Jangan! Kumohon jangan! Apa kau tak peduli pada Jessicaku yang polos tak berdosa? Para fans Taecyeon akan memangsanya bila tahu mereka… mereka… ‘mungkin’ berkencan… karena itu, demi Jessica, tolong jangan menjualnya…”

Karin menatap Lucas seolah sepupunya itu sudah gila. “Apa peduliku?” tanyanya tanpa dosa. “Sudah, pergilah, aku sibuk.”

Lucas menggeram. “Kau tak boleh menjualnya, kau dengar aku!? Aku tak akan membiarkanmu!”

“Tutup pintu kamarku bila kau sudah selesai mengoceh,” pinta Karin.



- Apartemen Ye-sung / Kim Jong-woon -   

Ting tong… ting tong… ting tong…

“Erhmm…” Ye-sung yang masih sangat mengantuk mengerang kesal karena tidurnya terganggu suara berisik.

“Menurutmu kapan dia akan bangun?” sayup-sayup Ye-sung mendengar suara pria.

“Mungkin sebentar lagi,” kali ini Ye-sung langsung mengenali suara wanita tersebut. Juny. Si penyihir penyiksanya.

Ting tong… ting tong… ting tong…

“Sangat mengganggu. Kenapa tidak kau bukakan pintunya?”

“Aku tak boleh terlihat oleh tetangganya, jadi aku tidak bisa menerima tamu,” kata Juny tenang. Ia sudah menjelaskan situasi antara dirinya dan Ye-sung, dan juga perjanjian mereka untuk merahasiakan hubungan sementara ini pada kakaknya semalam.

Akhirnya, benar-benar terbangun karena rentetan bunyi bel yang tak kunjung berhenti, serta percakapan di dekatnya, Ye-sung membuka mata, dan langsung menatap langit-langit ruang tamunya.

Awalnya ia sedikit bingung, sebelum akhirnya teringat kejadian semalam. Kennard, kakak Juny, datang ke Korea untuk mengecek keadaan adiknya, dan sebagai utusan orangtua mereka untuk menilai seberapa pantas Ye-sung untuk Juny—walau Ye-sung sudah ditetapkan sebagai jodoh Juny oleh Cermin Jodoh, mereka tetap khawatir dia tak cukup baik untuk putri mereka yang berharga.

Melihat adik kesayangannya berada dalam posisi mencurigakan bersama Ye-sung, Kennard nyaris saja langsung menyeret pergi pasangan tersebut untuk dinikahkan saat itu juga. untungnya Juny berhasil meyakinkan kakaknya bahwa tak terjadi apa-apa, dan sebenarnya mereka justru sedang bertengkar.

Semalam Kennard juga mengumumkan bahwa dirinya akan tinggal di Korea—bersama Juny dan Ye-sung—selama beberapa hari untuk memastikan semua berjalan lancar bagi Juny di negeri asing ini. tetapi, yang membuat Ye-sung sebal bukan main adalah, Kennard yang dengan seenaknya menyatakan selama tinggal di Korea, kamar Ye-sung menjadi kamarnya. Sialan. Dan berhubung kamar yang satu lagi ditempati oleh Juny—dan Ye-sung dilarang dekat-dekat kamar itu oleh Kennard sebelum ia menikah dengan Juny—maka pilihan satu-satunya tempat untuk Ye-sung tidur adalah sofa di ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga.

Ye-sung menguap dan menggeliat. “Hmm?” gumamnya bingung, karena tidak merasakan kerasnya badan sofa di tubuhnya. Menatap ke sekitarnya, Ye-sung langsung terbelalak panik saat menyadari ia memang tidak tidur di sofa seperti tadi malam, melainkan melayang di udara!

“Juny!” teriak Ye-sung.

“Aku di sini, tak usah berteriak,” kata Juny santai. “Pelankan suaramu, bila tak ingin tetanggamu mendengarnya.”

Menoleh ke bawah, Ye-sung melihat dengan tak percaya dan kesal pada Juny dan Kennard yang dengan santainya sedang duduk di sofa kuning yang semalam merupakan tempat tidur Ye-sung. Kakak beradik itu terlihat bagai lukisan bangsawan eropa; dengan pakaian yang mereka kenakan, dan cara mereka meminum teh. Begitu santai dan natural, seolah melihat Ye-sung tidur melayang-layang di atas mereka merupakan hal normal!

“Turunkan aku!” bentak Ye-sung.

“Apa dia memang selalu sepemarah ini di pagi hari?” tanya Kennard sebelum kembali menyeruput tehnya.

“Sebenarnya tidak juga,” jawab Juny tenang. “Kurasa ini situasi yang agak special.”

“Turunkan aku, Juny Killarney! Kalau tidak, aku bersumpah—“

“Oh, diamlah!” gerutu Juny, lalu mengayunkan tongkat sihirnya.

Dengan gerakan lambat, Ye-sung melayang turun, hingga akhirnya menjejak lantai. “Jelaskan padaku, kenapa kalian membuatku melayang-layang seperti tadi!?” geram Ye-sung emosi.

“Kami ingin menggunakan sofa ini untuk berbincang-bincang sambil minum teh, tetapi ada tubuhmu yang menghalangi, jadi—“

“Jadi kalian membuatku melayang-layang di udara!” Ye-sung menyela perkataan Kennard dengan marah. “Tak terpikirkah oleh kalian untuk memindahkanku ke kamar saja?”

“Untuk apa repot-repot seperti itu, bila ada cara yang lebih mudah,” jawab Kennard santai.

“Kalian ini benar-benar—“

“Berhentilah marah-marah, dan sambut tamumu. Sejak tadi belmu terus berbunyi. Sungguh mengganggu,” kata Juny.

Ye-sung baru tersadar, belnya belum juga berhenti berbunyi. Setelah memberikan delikan marah untuk terakhir kalinya pada Juny dan Kennard, Ye-sung berderap menuju pintu. Tanpa melihat lebih dulu siapa tamunya, Ye-sung langsung membuka pintu.

“Kak Ye-sung! Kenapa lama sekali?” keluh Kim Ji-hae, adik Hae-sa.

“Eh? Kau… kenapa kau kemari?”

“Ada yang ingin kutanyakan pada kakak.”

“Tentang apa?”

“Tentang teman wanitamu kemarin, yang memakai gaun mekar dan membawa sapu terbang.”

“Oh dia— eh? Sapu terbang!?” seru Ye-sung kaget, karena walau orang-orang heran melihat Juny membawa-bawa sapunya kemanapun ia pergi, tapi tak pernah ada yang menebak bahwa itu bukan sapu biasa.

Setelah menengok ke kiri dan kanan lorong untuk memastikan tak ada orang, Ji-hae menarik Ye-sung untuk membungkuk agar ia dapat berbisik di telinga idolanya tersebut. “Teman kakak itu penyihir, kan?”

“A-apa!?” Ye-sung terperanjat, ia bingung, dari mana bocah kecil ini mengetahui hal tersebut. Atau mungkin dia hanya sembarang bicara? pikirnya menenangkan diri.

Mendengar suara seruan Ye-sung, Juny yang penasaran namun sayangnya tak bisa menampakkan diri, meminta kakaknya mengecek keadaan jodohnya itu.

“Ada masalah?” tanya Kennard dari belakang Ye-sung.

“Ah, ini—“

“Kim Ji-haeeeeeee!” seru Hae-sa marah sambil berlari di sepanjang lorong untuk menghampiri adiknya. “Ibu mencari-carimu sejak tadi, ternyata kau ke mari, hah?”

“Aku hanya ingin bicara pada kak Ye-sung,” Ji-hae membela diri.

Terlalu emosi, Hae-sa lambat menyadari keberadaan Ye-sung. “Buru-buru dirapikannya rambut kepang duanya dan seragam sekolahnya yang sebenarnya sudah sangat rapi. “Eh, kak Ye-sung, selamat pagi,” sapanya manis.

“Selamat pagi,” balas Ye-sung ramah.

“Maaf, adikku mengganggu—“ perkataan Hae-sa terhenti di tengah jalan ketika sosok Kennard yang berdiri di sisi Ye-sung menarik perhatiannya.

Bibir mungil gadis berusia delapan belas tahun itu ternganga tanpa disadarinya, karena terlalu terpukau oleh ketampanan aritokrat Kennard. Mata hitamnya terlihat misterius dan membuai. Hidung mencung yang kokoh. Bibir seksi. Rambut cokelat gelapnya yang bergelombang. Dada bidang dan tubuh tinggi atletisnya dibalut pakaian yang tampak seperti baju seragam militer abad pertengahan berwarna paduan hitam-emas. Singkatnya, sebuah paket ketampanan LUAR BIASA! Hae-sa nyaris meneteskan air liur selama memandangi Kennard yang mempesona.

Sudah terbiasa dengan kekaguman kaum wanita tiap melihatnya, Kennard hanya menatap Hae-sa sekilas sebelum beralih pada Ji-hae yang juga sedang memandanginya.

“Kau siapa?” tanya Ji-hae. “Apa kau artis seperti kak Ye-sung juga?”

“Bukan,” jawab Kennard singkat.

“Wah, kau bisa bahasa Korea! Hebat!” puji Ji-hae.

Perlahan tapi pasti, Hae-sa melangkah maju menghampiri Kennard. Didorongnya Ji-hae dan bahkan idola tercintanya sendiri, Ye-sung, menjauh agar ia bisa berhadap-hadapan dengan Kennard.

Ye-sung yang tahu betapa Hae-sa selama ini mengaguminya, mau tak mau merasa heran dan kaget melihat tingkah gadis itu.

Hae-sa mengulurkan tangan mungilnya yang putih untuk dijabat tagan kecokelatan Kennard yang besar. “Perkenalkan, aku Kim Hae-sa, delapan belas tahun, siswi SMU Ilhwa kelas 12-5, senang berkenalan denganmu.”

“Hmm. Ya.” Sahut Kennard sambil menjabat tangan gadis itu, tanpa menanggapi lebih jauh perkenalan diri Hae-sa.

“Kau teman kak Ye-sung? Dari mana asalmu? Berapa lama kau akan tinggal di Korea? Atau kau sudah menjadi warga Negara Korea? Di mana kau tinggal selama di sini? apa tinggal bersama kak Ye-sung?”

Apa semua gadis Korea bicara secepat dan secerewet ini? Kennard bertanya-tanya dalam hati.

“Hae-sa! Ji-hae!” dari ujung lorong terdengar teriakan nyonya Kim, ibu kedua anak itu. “Apa yang kalian lakukan, mengganggu tetangga di pagi hari seperti ini dan bukannya berangkat sekolah!” bentaknya. “Cepat ke mari!” panggilnya. “Maaf, nak Ye-sung,” katanya ramah pada sang idola.

Ye-sung mengangguk canggung. “Oh, ya, tidak apa-apa.”

“Ya, Bu!” seru Ji-hae menenangkan ibunya. “Kak, nanti kita lanjutkan lagi pembicaraan ini,” katanya pada Ye-sung dengan gaya serius bak orang dewasa.

“Eh, ya…”

“Kuharap kita bisa bertemu dan berbincang-bincang lagi,” kata Hae-sa penuh harap pada Kennard. “Apartemenku di ujung lorong sana, kalau kau mau berkunjung—“

“Kim Hae-saaa!!!” seru Nyonya Kim dengan suara melengking.

“Ya, Bu! Kalau begitu sampai jumpa nanti… ah, aku bahkan belum tahu namamu—“

“Hae-sa, bila dalam hitungan ketiga kau belum juga kemari, aku akan—“

“Baik, baik!” seru Hae-sa, bergegas mendatangi ibunya. Tapi di tengah jalan ia berhenti dan menoleh ke arah Kennard—tanpa sedikitpun melirik Ye-sung—dan tersenyum. “Jangan pulang ke negara asalmu sebelum kita berjumpa lagi, ya!”

“Apa semua gadis Korea seperti dia?” tanya Kennard pada Ye-sung setelah Hae-sa semakin jauh.

“Tidak juga,” jawab Ye-sung. “Ngomong-ngomong, kau tidak akan lama di Korea, kan?”

“Kenapa? Tidak sabar ingin mendapatkan kamarmu lagi?”

“Bukan. Aku hanya mengkhawatirkan popularitasku bila kau terus berkeliaran di sekelilingku.”



- SM Entertainment -     

Ryeo-wook, Eun-hyuk, dan Dong-hae yang baru saja datang ke kantor management mereka, sedang mengobrol di dekat mesin penjual minuman, ketika Ye-sung datang dengan diiringi Juny dan Kennard.

“Siapa itu yang bersama kak Ye-sung?” bisik Ryeo-wook pada dua temannya.

“Kurasa selain bermain dengan Ddangkoma, sekarang kak Ye-sung punya hobi mengumpulkan orang asing,” Eun-hyuk balas berbisik. “Tak bisa dipercaya, padahal kemampuan berbahasa inggrisnya lebih buruk dariku.

Dong-hae berdengus mengejek. “Tak ada yang kemampuan bahasa Inggrisnya lebih buruk darimu.” 

“Aku sangat pintar sekarang. Shin-woo rajin mengajariku,” pamernya. “Coba saja kau tes aku. I love you, I hate you, I miss you,” ia mencontohkan dengan penuh percaya diri.

Malas menanggapi lebih lanjut masalah bahasa, Dong-hae justru mengomentari penampilan militer Kennard, yang lengkap dengan pedang yang disarungkan tergantung di pinggangnya dan sapu yang mirip dengan milik Juny di tangannya. “Penampilannya sama anehnya dengan Juny. Lama-lama aku bisa berpikir kak Ye-sung memiliki mesin waktu dan mendatangkan orang-orang dari masa lalu ke masa sekarang.”

“Eh? Bagaimana bila itu benar?” komentar Eun-hyuk antusias.”Siapa yang ingin kau datangkan dari masa lalu? Bagaimana kalau kita mendatangkan Bi-dam dari drama The Great Queen Seondeok? Apa menurutmu orang aslinya setampan kak Nam-gil? Shin-woo penggemar Kim Nam-gil, kau tahu—yeah, siapa yang tidak?”

“Kau melantur,” omel Dong-hae.

“Sstt. Mereka datang,” Ryeo-wook memperingatkan.

“Selamat pagi, semua,” sapa Ye-sung.

“Pagi,” sahut ketiga adik Super Juniornya berbarengan. “Siapa dia, kak?” tanya Ryeo-wook, menatap Kennard yang tubuh tingginya menjulang diantara mereka semua.

“Dia—“

“Aku kakak Juny,” jawab Kennard dalam bahasa Korea fasih. “Kennard Killarney.”

Ye-sung mengutuk dalam hati. hancur sudah kebohongannya selama ini.

Eun-hyuk ternganga sesaat sebelum bertanya heran; “Kakak Nona Juny? Tapi, bukankah kata kak Ye-sung Nona Juny sebatang kara?”

Ye-sung bertukar pandang bingung dengan Juny sebelum tertawa hambar pada Eun-hyuk. “Yeah, begitulah. Juny memang sebatang kara—tadinya—sampai beberapa hari lalu, kakaknya ini, Kennard, akhirnya menemukannya. Dia sudah lama mencari-cari Juny.”

Dong-hae berbisik pada Eun-hyuk. “Kenapa kedengarannya seperti kisah drama murahan, ya?”

Eun-hyuk balas berbisik. “Jangan-jangan nanti dia bercerita bahwa sebelumnya Juny mengalami kecelakaan, amnesia, dan dikira mati oleh orang-orang sekitarnya, sebelum akhirnya ditemukan oleh kakaknya.”

“Atau, mungkin, Juny tertukar sejak lahir,” timpal Dong-hae.

“Cobalah bicara lebih pelan bila kalian bermaksud untuk berbisik-bisik,” gerutu Ye-sung, yang seperti Juny, Kennard, dan Ryeo-wook, dapat mendengar dengan jelas bisik-bisik antara Eun-hyuk dan Dong-hae.

“Selamat pagi semua,” sapa Yoo-na yang baru datang. “Sepertinya pembicaraan kalian seru sekali. membicarakan apa?” tanyanya sembari menghampiri mereka—sengaja, karena ia tahu Juny selalu tidak menyukai kehadirannya.

“Bukan apa-apa,” jawab Ye-sung senang hati. “Hanya memperkenalkan kakak Juny,” katanya, menunjuk Kennard.

Walaupun sudah biasa dikelilingi pria-pria tampan, namun Yoo-na tetap terpengaruh oleh ketampanan Kennard. Diamatinya dengan rakus penampilan pria itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Keningnya berkerut bingung melihat pedang dan sapu Kennard. Untuk apa dia membawa pedang? Apa itu asli? Dan lagi, ada apa sebeanarnya dengan keluarga Killarney? Apa sudah menjadi tradisi mereka untuk membawa-bawa sapu ke mana pun mereka pergi? pikirnya bingung.

“Kennard, perkenalkan, ini juniorku, Im Yoo-na, dan Yoo-na, perkenalkan ini kakak Juny, Kennard Killarney,” kata Ye-sung.

“Hai,” sapa Yoo-na manis.

“Hai,” sahut Kennard acuh tak acuh.

“Yoo-na! ayo, waktunya latihan!” panggil manager gadis itu.

“Ah, ya,” sahut Yoo-na cepat. Ia tersenyum pada semua—dan sedikit lebih lama pada Kennard. “Permisi semua.”

“Ya,” sahut semua, kecuali Juny dan Kennard.

“Sepertinya Yoo-na tertarik padamu,” kata Eun-hyuk dengan ceria dan polosnya tanpa menyadari Ye-sung akan cemburu.

“Ck, Hyuk,” omel Dong-hae yang mengetahui Ye-sung menyukai Yoo-na.

“Apa?” tanya Eun-hyuk tanpa dosa.

“Ya, aku tahu,” komentar Kennard cuek, karena hal seperti itu sudah biasa baginya.

“Dia salah satu gadis idola tercantik Korea saat ini, kau tahu, apa kau tidak tertarik padanya?” pancing Eun-hyuk lagi, membuat Ye-sung menggeram pelan, namun segera terdiam karena merasakan sikutan dari Juny.

“Benarkah? Aneh sekali, menurutku dia tak secantik itu,” komentar Kennard, yang mantan terakhirnya secantik dan seseksi Kim Kardashian.

“Kalian mau terus mengobrol di sini atau latihan?” omel Ye-sung yang cemburu. Tanpa menunggu jawaban teman-temannya, ia langsung berjalan menuju ruang latihan.

“Ini hanya perasaanku, atau jodohmu itu memang cemburu karena gadis bertubuh rata tadi tertarik padaku?” Kennard berbisik pada Juny.

“Memang. Gadis itu adalah gadis yang ditaksir Ye-sung,” balas Juny.

Kennard mengangkat sebelah alisnya. “Dan kau tidak keberatan mengetahui hal itu? wah, ini seperti bukan adik yang kukenal…”

Juny menyeringai. “Mana mungkin aku tidak keberatan jodohku menyukai gadis lain. tapi tenang saja, aku punya cara sendiri untuk mengatasi mereka.”

“Aku percaya padamu. Tapi katakan saja bila kau butuh bantuanku.”

Juny menggandeng lengan kakaknya dan tersenyum. “Terima kasih atas tawarannya.”



- Kediaman keluarga Lee -  

“…akhirnya busku sampai juga,” gerutu Hae-sa pada Karin lewat telepon. “Aku sudah tak sabar ingin pulang dan bertemu si tampan itu lagi!”

“Hmm,” gumam Karin mengomentari sambil membuka pintu rumahnya. “Kau terus membicarakan orang asing itu seharian ini. apa Ye-sung-mu sudah terlupakan begitu saja?”

Hae-sa terkesiap. “Ya Tuhan, kau benar! Kak Ye-sung… astaga, aku benar-benar lupa padanya… astaga… penggemar macam apa aku ini…”

“Aku pulang!” seru Karin, sambil terus mendengarkan penyesalan Hae-sa yang menelantarkan Ye-sung.

“Kau sudah makan?” tanya Nyonya Lee, ibu Karin, menyambut putri semata wayangnya di foyer.

“Sudah, Bu,” jawab Karin. “Aku mau istirahat di kamar dulu.”

“Ya. Oh ya, tadi Lucas kemari, dia masuk ke kamarmu, katanya ingin mengembalikan buku sejarah yang dipinjamnya darimu,” lapor ibunya.

Seketika Karin menjadi curiga. Buku sejarah apanya? Lucas paling malas membaca, mana pernah dia meminjam buku apapun dari Karin, apalagi buku sejarah!

“…bagaimana ini, Karin? Aku merasa bersalah pada kak Ye-sung karena semudah ini terpesona pada pria lain… apalagi itu temannya sendiri… aduh, aku ini gadis macam apa?”

Karin terlalu panic mengkhawatirkan nasib foto-fotonya dan tak menyimak perkataan Hae-sa. Seandainya saja ia tidak menggunakan headset, mungkin saat ini sambungan telepon mereka sudah diputusnya.

Dan benar saja, begitu memasuki kamar, laci nakas Karin terbuka. Foto-foto Jessica dan Taecyeon lenyap. Tak cukup sampai di situ, kamera digital Karin tergeletak di kasurnya tanpa memory card yang sudah pasti diambil oleh Lucas demi melenyapkan bukti-bukti kemesraan Jessica dan Taecyeon.

“Brengsek!” maki Karin. “Mati kau, Lucas!”

“Eh? Karin? Kau barusan bilang apa?” tanya Hae-sa heran.

Karin baru menyadari bahwa ia masih dalam sambungan telepon dengan Hae-sa. “Maaf, Hae-sa, aku ada urusan penting, nanti aku akan meneleponmu la—“

“Ya Tuhan! aku tak percaya ini!” seru Hae-sa tiba-tiba, mengejutkan Karin. “Karin, kau tak akan percaya apa yang baru saja kulihat!” katanya bersemangat. “Jessica dan Taec-yeon 2PM baru saja terlihat bersama keluar dari café di dekat kompleks apartemenku!”

Itu cukup untuk menarik perhatian Karin. “Benarkah? Kau yakin itu mereka?”

“Tentu saja!”

“Tolong bantu aku ikuti mereka, bisa kan? aku dalam perjalanan menuju apartemenmu. Kabari aku bila mereka ternyata tidak pergi ke apartemen Jessica.” kata Karin bersemangat.

“Baiklah, bisa saja…”

“Ok, terima kasih!”

Bagus sekali. di kesempatan kedua ini semoga saja aku bisa mendapat foto pengganti yang lebih bagus dari foto yang kudapat sebelumnya, batin Karin sambil berlari keluar kamar. Beruntung kau Lucas Lee, kematianmu ditunda untuk sementara.



- SM Entertainment -   

Kelelahan sehabis latihan koreografi tarian mereka untuk konser beberapa minggu yang akan datang, Ye-sung bersandar di dinding sambil meminum air mineral.

“Gerakannya terlihat cukup rumit,” komentar Kennard, yang berdiri di sisi kiri Ye-sung. Sejak tadi ia menonton latihan tari Super Junior bersama adiknya.

“Memang,” sahut Ye-sung. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Wajah Ye-sung berbinar saat melihat ID pengirimnya; Yoo-na! gadis itu memintanya untuk datang ke teras belakang gedung SM Entertainment bersama member-member yang lain, karena Seo-hyun baru saja membeli banyak cake untuk dimakan bersama di sana.

tapi tanpa mengabari teman-teman segrupnya, Ye-sung langsung keluar dari ruang latihan seorang diri. Ia bersyukur Juny sedang ke toilet, sehingga bisa lepas dari bayang-bayang gadis itu.

Ye-sung menyeringai mengingat tongkat sihir Juny yang kini aman tersimpan dalam tas bajunya. Saat tadi Juny pergi ke toilet, tongkat sihirnya jatuh, dan Ye-sung memungutnya. Awalnya ia berniat mengembalikan, tetapi kemudian terpikir bahwa tanpa tongkat itu mungkin ia dapat bebas dari ancaman Juny, karena itu ia sengaja menyembunyikannya.

“Kak Ye-sung, mana yang lain?” sapa Tiffany.

“Oh, sebentar lagi mungkin mereka datang,” dusta Ye-sung sambil mencari-cari Yoo-na. “Eh, mana Yoo-na dan Jessica?” tanyanya, karena menyadari kedua gadis itu tak ada diantara grupnya.

“Jessica pulang lebih dulu, sementara Yoo-na sedang ke toilet,” jawab Soo-young. Tiba-tiba ia memandang ke sesuatu di belakang Ye-sung “Eh? Kau—“

Mendapat firasat tak enak, Ye-sung menoleh ke belakang, dan langsung beradu pandang dengan Juny.

“sudah kuduga kau pasti ada di sini begitu melihat pesan yang dikirimkan si gadis kurus kering itu padamu,” ucap Juny dingin.

Ye-sung kebingungan, bagaimana Juny bisa tahu tentang pesan itu, sedangkan ponselnya ada di saku celananya. Kecuali… ditariknya Juny menjauh dari grup SNSD.

“Apa kau bertemu Yoo-na di toilet?” tanya Ye-sung curiga.

Juny bersedekap. “Kira-kira begitu.”

“Di mana dia? apa dia masih di sana? Kau tidak menyakitinya, kan?”

Mata Juny menyorot marah. “Tenang saja, aku belum berniat mengotori tanganku dengan menyakitinya. Terkunci sebentar di toilet justru akan menyegarkan jiwanya,” jawabnya santai. Sebenarnya itu bohong. Memang, mereka sama-sama di toilet tadi, tapi Juny tidak melakukan apa-apa pada gadis itu. mengenai pesan yang dikirim Yoo-na, Juny justru mengetahuinya karena Yoo-na yang sengaja memanas-manasi Juny dengan berkata Ye-sung pasti akan kegirangan mendapat sms ajakan darinya.

“Apa!? kau menguncinya di sana!?” seru Ye-sung marah. “Dasar gila! Kau benar-benar tak punya hati!” makinya, lalu bergegas pergi untuk menyelamatkan Yoo-na.

Belum sempat Ye-sung mencapai pintu ganda yang menghubungkan teras dengan bagian dalam gedung, tiba-tiba Yoo-na muncul dengan santai dan senyum cerianya.

“Kak Ye-sung, kau datang. mana yang lain?”

Kebingungan menatap Yoo-na yang sepertinya baik-baik saja, Ye-sung melirik Juny. Wajah gadis penyihir itu tanpa ekspresi, namun sorot matanya memancarkan kemarahan yang teramat sangat.

Ye-sung diserang perasaan bersalah. ia sudah menuduh Juny seenaknya dan memakinya… padahal Juny tidak melakukan apapun yang buruk, kecuali berbohong karena kesal atas tuduhan Ye-sung.

“Juny, aku—“

“Awas!” terdengar teriakan dari lantai dua.

Juny menatap ke atas, dan melihat seorang staf SM panik karena tanpa sengaja menjatuhkan pot bunga yang berukuran cukup besar… tepat menuju Ye-sung!

Merogoh ke saku gaunnya Juny terkejut karena tak menemukan tongkat sihirnya. Rasa panic dan takut atas keselamatan Ye-sung menghantam Juny dengan amat kuatnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari secepat kilat untuk mendorong Ye-sung menjauh. Dan Ye-sung memang terhindar dari hantaman pot berkat Juny, namun sayangnya gerakan gadis itu tak cukup cepat untuk menjauhkan dirinya sendiri dari pot tersebut.

Rasa sakit menusuk yang menghantam kepalanya membutakan Juny. Dan dalam sekejab, semua menjadi gelap…

“Juny!” teriak Ye-sung, panik melihat darah merah segar yang mengalir dari kepala Juny. “Juny, Ya Tuhan!” rasa takut mencengkeram jantungnya karena keadaan Juny yang lemas tak berdaya. “Tolong! Cepat panggil ambulance!” teriaknya pada orang-orang di sekitarnya. “Juny, Juny bangunlah!” pintanya pada Juny yang tergolek tak berdaya dalam pelukannya.



To Be Continued...


by Destira ~ Admin Park ~

1 komentar:

  1. Juny mabuk kendaraan,,
    Hahaha

    Yesung smakin menderita semenjak kedatangan kakaknya juny.. *poor yesung*

    Critanya smakin menarik.. :)

    BalasHapus