CHAPTER 3
Ringkasan Chapter sebelumnya ::
Ye-sung memulai hidup barunya bersama "Jodoh" yang terpaksa diterimanya untuk tinggal bersamanya, sang penyihir muda berbakat, Juny Killarney. Ditakut-takuti oleh beragam ilusi yang dihasilkan tongkat sihir Juny, membuat idola satu itu tak berkutik terhadap semua keinginan Juny. termasuk, harus menjauhi Yoo-na, member SNSD yang diam-diam ditaksir Ye-sung.
Bagaimana kelanjutan kehidupan baru Ye-sung dan Juny, juga tetangga serta fan Ye-sung, Kim Hae-sa yang tergila-gila pada pria itu, dan sahabatnya, Karin Lee, yang tanpa sengaja memotret kemesraan Taec-yeon 2PM bersama Jessica SNSD?
- Apartemen Ye-sung / Kim Jong-woon -
Seminggu sudah berlalu sejak “penjajahan” yang dilakukan Juny terhadap rumah dan hidup Ye-sung yang “malang”. Semenjak itu pula, ke mana pun Ye-sung pergi, dan di mana pun Ye-sung berada, selalu ada sesosok gadis asing bergaya gothic—lengkap dengan sapu andalannya—berkeliaran di sekitar idola satu itu.
Apa Ye-sung sebal? Apa Ye-sung Terganggu? Apa Ye-sung ingin kabur dari Juny? Oh, ya, itu sudah pasti. Tapi hal-hal tersebut tidak sebanding dengan rasa takut Ye-sung terhadap ancaman tongkat sihir sakti Juny. Jadi, begitulah, kehidupan “horor-romantis” seorang Kim Jong-woon aka Ye-sung, terus berlanjut…
“Ugh…” keluh Juny saat keluar dari mobil Ye-sung.
“Ada apa?” tanya Ye-sung. Bukan karena ia khawatir, tapi sepanjang perjalanan Ye-sung heran melihat sikap kalem Juny yang tak biasa. Bukan berarti Juny banyak bicara selama seminggu mereka tinggal bersama, tetapi biasanya sikap diam Juny diselubungi kabut tebal aura seramnya, sedangkan selama perjalanan dari kantor SM Entertainment hingga akhirnya sampai di sini, Juny secara mengajaibkan terlihat “tak berbahaya”, dan bahkan justru terlihat lemah.
Juny tak menjawab. Ia merasa sangat pusing dan mual. Diambilnya sapu terbangnya dari jok belakang Hyundai Tucson merah garnet milik Ye-sung, lalu berjalan cepat, tak sabar ingin segera sampai di apartemen Ye-sung.Namun rupanya Juny tak kuasa menahan mualnya lebih lama lagi. Di depan sebuah Mercedes Benz hitam mengkilat—yang entah siapa—Juny memuntahkan makan siangnya.
“Ya Tuhan!” seru Ye-sung ngeri saat melihat muntahan Juny mengotori mobil mahal tersebut. Buru-buru dihampirinya gadis itu. “Kenapa kau muntah di sini?” omelnya.
Dengan latar kulit pucatnya—yang semakin pucat—mata hitam besar Juny yang menyorot tajam terlihat semakin menyeramkan ketika mendelik sewot ke arah Ye-sung. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, sebuah sapu tangan sutra berwarna perak yang bersulam inisial Juny—JK—muncul di tangan gadis itu, dan dipakainya untuk mengelap bibirnya.
“Benda itu,” kata Juny dengan suara yang tak setajam dan selantang biasanya, sambil menunjuk mobil Ye-sung. “Yang kalian manusia biasa sebut mobillah, yang membuatku seperti ini! Semenjak naik mobilmu, aku merasa pusing dan mual—“ Juny terdiam ketika melihat gerakan bibir Ye-sung yang mencurigakan. “Apa?”
Tak dapat menahannya lagi, Ye-sung tertawa terbahak-bahak. “Maaf, maaf, aku…” belum selesai kalimatnya, Ye-sung kembali terbahak-bahak lagi hingga meneteskan air mata. “…kau… kau mabuk? Kau belum pernah naik mobil sebelumnya? Di jaman semodern ini? sama sekali?” Dan lagi-lagi, tawa Ye-sung meledak dengan menyebalkannya.
Wajah Juny merona malu. Yang paling dibenci Juny adalah kekalahan. Tapi yang paling membuatnya murka adalah dipermalukan. Dan itulah yang dilakukan Ye-sung saat ini. Dikeluarkannya tongkat sihir dari saku tersembunyi gaun hitam-peraknya, lalu tanpa basa-basi menodongkannya tepat di depan hidung Ye-sung, yang dengan mujarabnya langsung menghilangkan tawa dan selera humor pria itu.
“Apa aku terlihat lucu hingga pantas ditertawakan?” tanya Juny dengan kelembutan palsu.
“Tidak,” jawab Ye-sung langsung sambil menggeleng tegas dan serius. “Kau… terlihat cantik, dengan… dengan rambut… emm, semacam itu, dan gaun mekar itu… eh… juga sapumu…” rayunya dengan menyedihkan—berharap itu cukup untuk meredakan kemarahan Juny. Yeah, yang benar saja.
Tongkat sihir Juny menekan pelan hidung Ye-sung, membuat mata pria itu juling karena tatapannya yang terpaku pada ujung tongkat sihir di hidungnya.
“Tak heran kau terus melajang dan tidak dihiraukan si gadis kurus kering yang kau puja itu, bila begini caramu menggombal,” hina Juny, memaksudkan Yoo-na yang ditemuinya di kali pertama ia menginjakkan kaki di SM Entertainment seminggu lalu.
Yesung yang tersinggung karena Yoo-na-nya yang cantik sempurna dibawa-bawa dalam pembicaraan—dan dihina oleh gadis aneh dari alam lain di hadapannya ini—menggeram marah. “Kau tidak boleh—“
“Kak Ye-suuuuunnnggg!!!”
Belum sempat Ye-sung maupun Juny bereaksi terhadap seruan tersebut, si pemilik suara, bocah laki-laki berusia sekitar 8 tahun, berlari menubruk tubuh Ye-sung, kemudian memeluknya.
“Ji-hae!” teriak Kim Hae-sa memanggil adiknya. Karena membawa tas-tas plastic belanjaan, ia kesulitan mengejar Ji-hae yang nakal. Hae-sa nyaris mengomeli Ji-hae, tetapi diurungkannya niatnya begitu melihat dengan siapa adiknya berada. “Eh, kak Ye-sung,” ucapnya malu-malu sambil merapikan rambut panjangnya.
“Eh, hai,” sapa Ye-sung. Ketika disadarinya Juny masih belum juga menyingkirkan tongkat sihir dari hidungnya, buru-buru Ye-sung menepisnya.
“Kak Ye-sung, teman-teman sekelasku tak ada yang percaya padaku ketika ku katakan aku bertetangga denganmu,” adu Ji-hae.
“Benarkah?” Ye-sung tak tahu lagi harus berkomentar apa karena tegang. Belum pernah selama seminggu ini dirinya dan Juny terlihat berkeliaran bersama di sekitar apartemennya. Ia tak ingin orang-orang mulai curiga.
“Ji-hae, jangan ganggu kak Ye-sung,” Hae-sa pura-pura menasehati adiknya, walau pada kenyataannya ia sendiri pun sedikit demi sedikit semakin mendekati Ye-sung.
Ji-hae mengeluarkan ponsel khusus anak-anak dari saku celana pendek kotak-kotak birunya. “Apa aku boleh berfoto denganmu? Agar teman-temanku tak menuduhku pembohong?”
Ye-sung melirik cepat ke arah Juny yang walau masih terlihat kesal, namun terlalu mabuk untuk tetap menjaga kesangaran wajahnya. “Baiklah, ayo,” Ye-sung menyetujui dengan cepat, agar bisa cepat pergi dari tempat itu.