Rabu, 27 April 2011

The Stranger -Chap 3-

-Chapter 3-




-Park Dae-jia, Yoeido Park-


Putuskan hubunganmu dengan adikku! Gadis sepertimu sangat tidak pantas bersama pria sebaik Yong-hwa.

Aku tak akan membiarkan Kau terus membohonginya!

Kalau Kau tak mau mengaku, aku akan membuatmu mengakui semuanya!

Kau tau? kemarin dia bilang akan melamarmu,  Aku tak akan pernah membiarkan pertunangan itu terjadi!


Kata-kata pria itu terus berputar dalam benakku, bagaikan lingkaran setan yang sewaktu-waktu dapat menarikku hingga terjerumus ke dalam lubang penderitaan yang nyata. Sesaat setelah bertemu secara tidak sengaja di depan kedai Tteokbokki tadi, dia mengajakku berbicara empat mata, dan mulai mengancamku dengan kata-kata kasarnya, tanpa memberiku kesempatan untuk membela diri, seakan-akan aku lah orang paling berdosa dalam hal ini. Apakah dia lupa, kalau dirinyalah yang memulainya? Dasar egois!!

“....Hya! Park Dae-jia!” seruan Kak Hea-in membuatku tersadar, “Ada apa sih denganmu? Apa kau tidak mendengar panggilanku sejak tadi? Kulihat, sejak bertemu pria itu, Kau jadi begini? Rasanya aku tak pernah melihatnya, memangnya siapa dia?” Kak Hea-in memberondongku dengan pertanyaan yang sama sekali tak ingin kujawab.

Menggeleng lemah, aku memandang Kak Hea-in yang tengah menatapku khawatir, “Kau tidak marah kalau kita pulang sekarang?”

Kak Hea-in mendesah berat, “Baiklah, tidak apa-apa.”

“Tapi, kalau Kau masih ingin menonton pertunjukan kembang api, aku bisa pulang dulu naik taksi,” tawarku.

“Tidak...tidak...kalau Kau memang merasa tidak sehat, lebih baik kita pulang saja!”

Aku bersyukur, sesudahnya Kak Hea-in tak bertanya lagi tentang apa yang terjadi. Karena aku memang tak ingin bicara apapun saat ini. Hingga mobil kami sampai di depan pintu gerbang rumahku, tak ada satu pun di antara kami yang bersuara.



-Halaman rumah keluarga Park-

“Hya! Kau melamun lagi?!” Kak Hea-in mengguncang bahuku pelan, “Lihatlah!” aku mengikuti arah telunjuk Kak Hea-in dan mematung saat memandang pemandangan yang ada di hadapanku. Taman bunga di depan rumahku, kini dipenuhi dengan lilin-lilin putih kecil membentuk sebuah jalan setapak. Ada apa ini? siapa yang melakukan semua ini?



 “Nona Dae-jia, ada seseorang yang menunggumu,” kata Bibi Jung saat aku baru saja keluar dari mobil.

“Siapa Bi?” tanyaku bingung.

“Beliau hanya memberi saya ini,” Bibi Jung menyerahkan sebuah amplop berwarna pink bergambar hati dan sangat wangi.

“Ehm...” Kak Hea-in berdeham singkat, “aku ke kamar dulu Dae-jia,” ujarnya seraya melirikku dan melayangkan senyuman penuh makna. Aku kembali mengamati amplop di tanganku dan mulai membuka isi-nya.


Ikuti jalan ini!
Maka, Kau akan menemukan ‘kebahagiaan’ yang selama ini Kau cari...


Hanya itu yang tertulis. Tanpa nama pengirim dan identitas apa pun. Kak Yong-hwa?! Yeah, benar, ini pasti dia. Jadi benar dia akan melamarku, seperti yang dikatakan Kakaknya tadi? Hah...aku tak tau harus bagaimana? Aku menghela nafas sejenak, lalu mulai menyusuri jalan setapak yang dipinggir-nya berhias lilin-lilin kecil. Sangat indah.

Langkahku terhenti di pinggir kolam renang, samping rumah. Di sana, kekasihku itu tengah berdiri di sebelah meja dan dua buah kursi taman yang di atasnya telah tersedia berbagai menu makanan dengan berhias lilin merah di bagian tengah meja. Kak Yong-hwa tersenyum, saat melihat kehadiranku. Aku tak tau, apa yang kurasakan saat ini? tapi semua terasa hampa, benar-benar hampa. Haruskah aku merasa bahagia? Ingatanku kembali pada ancaman-ancaman yang diucapkan pria bernama Ji-hoon itu.

“Apa Kau tidak menginginkan ‘kebahagiaan’ itu?” seru Kak Yong-hwa, saat melihatku hanya terpaku di tempat, tak mendekat ke arahnya. Entah mengapa kakiku terasa berat untuk melangkah, apakah benar aku memang tak pantas bahagia? “Hmm...kalau Kau memang tak ingin menghampiri ‘kebahagiaan’ itu, jadi biarkan ‘kebahagiaan’ itu yang menghampirimu,” lanjut Kak Yong-hwa sambil bergerak mendekat dan berlutut, menyodorkan kotak beledu hitam kecil berisi cincin emas putih bertahtakan berlian. “Maukah Kau menjadi pengantinku?”

Cincin pertunangan Dae-jia & Yong-hwa

Kurasakan air mataku mulai mendesak untuk keluar membuat bayangan Kak Yong-hwa menjadi kabur. Dadaku sesak oleh tusukan rasa bersalah yang seakan-akan menggerogoti setiap senti dari tubuhku. Benarkah apa yang dikatakan Kak Ji-hoon tadi? Bahwa aku memang tak pantas menjadi kekasih atau bahkan pendamping hidup adiknya ini. Pria di depanku ini benar-benar baik.  Aku tak tau lagi harus berkata apa? jantungku berdentam kuat hingga terasa sakit. Kak Yong-hwa maafkan aku...ingin sekali aku menghambur dalam pelukannya, dan memohon ampunan atas segala kesalahan yang telah kulakukan demi menghapus setiap jengkal dosa yang telah kuperbuat. Tapi semua itu seolah tak berguna, mengingat apa yang telah terjadi tak akan pernah kembali. Haruskah aku mengakuinya sekarang? Haruskah aku menghapus rona bahagia dan tulus dari wajah kekasihku itu?

“Dae-jia?” panggil Kak Yong-hwa.“Maukah Kau menikah denganku?” pintanya lagi.

Aku tak peduli dengan ancaman yang diucapkan Kak Ji-hoon tadi. Aku hanya tak ingin mengecewakan Kak Yong-hwa, yang telah begitu baik mempersiapkan semua ini. Entah apa yang akan dilakukan pria itu untuk memisahkan kami nanti, tapi untuk saat ini, aku tak ingin mengecewakan wajah tulus pria tampan di depanku yang tengah menengadah menanti jawaban dariku. Menghela nafas berat, berharap setiap beban hidupku akan berkurang, aku mencoba untuk menguatkan hati dan berkata,“Ya.”

Setelah memasangkan cincin emas putih di jari manisku, kekasihku itu berdiri dan langsung menarikku dalam dekapan hangatnya. Kurasakan hatiku bergemuruh, menyerukan kata maaf berharap dia dapat mendengarnya dan tanpa sadar butiran-butiran bening hangat kembali membasahi kedua pipiku.



-Jung Ji-hoon (Bi Rain), Villa keluarga Jung-

Kutatap bangunan villa di depanku, sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di sini. Suasana villa sama sekali tidak berubah, hanya tatanan tanaman, pohon-pohon dan rerumputan saja yang kini tampak lebih terawat dan beberapa bunga yang mekar di musim semi. Aku melangkah dengan enggan menuju bangunan utama villa. Besok adalah pesta pertunangan adikku dengan gadis sialan itu. Sebenarnya aku sama sekali tak berminat hadir, saat seminggu yang lalu Yong-hwa mengabariku tentang pesta pertunangannya yang akan dilaksanakan di villa keluarga. Tapi tekadku sudah bulat untuk menghentikan pertunangan ini. Hingga pertemuan dengan ayah—yang selalu ingin kuhindari—pun tak menjadi penghalang bagiku untuk hadir. Aku sudah memperingatkanmu Dae-jia, kalau kau memang ingin terus menjalani permainan ini, akan kuikuti. Dan jangan harap kau bisa lepas dariku.

“Ji-hoon!” aku menoleh ke arah sumber suara yang sudah lama sekali tak kudengar dan sangat kurindukan itu. Ibu. Beliau tengah berdiri di sebelah kursi taman yang bertutup kanopi berwarna silver dan tersenyum hangat ke arahku. Sosoknya tampak semakin renta, tetapi rona kelembutan dan kecantikannya yang seolah tak pernah pudar walau dimakan usia. Aku benar-benar merindukannya. Sudah bertahun-tahun kami tak bersua, tepatnya 5 tahun yang lalu, sejak pertikaianku dengan ayah terjadi. Aku melangkah ke arahnya, beliau pun segera menyongsongku dengan rona bahagia yang tersungging tulus di wajahnya yang renta. Ibu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pertikaianku dan ayah, tapi karena kekeraskepalaan kami, beliau menjadi salah satu pihak yang dirugikan. Maafkan aku Bu...

Kami pun berpelukan dan kurasakan bahu ibu berguncang karena isak tangis. “Kenapa kau tak pernah pulang nak? Kau tau, ibu sangat merindukanmu.”

“Maafkan aku Bu...” ujarku penuh penyesalan. Aku memandang wajah sabar wanita tua di depanku itu dengan penuh kasih. “Bukankah sekarang aku telah kembali?” aku berusaha menenangkan Ibu dan menghapus titik air matanya dengan ujung jariku.

“Tapi kenapa baru sekarang kau kembali? Tak pernahkah sekali pun kau merindukan Ibu?” tuntutnya.

Aku tersenyum getir, “Aku sangat merindukanmu Bu, tapi—“

“Tapi karena kekeraskepalaanmu dan ayahmu, kau tak pernah kembali,” sela Ibu, menyuarakan isi hatiku. Aku hanya bisa mengangguk lemah. “Aku heran, bagaimana bisa kalian saling membenci, padahal sifat kalian tak jauh berbeda.” Yeah, Ibu benar. Aku memang menuruni sifat ayah yang keras kepala, sedangkan Yong-hwa, sabar dan penuh kasih seperti Ibu. Tapi, justru itu lah yang membuat kami tak pernah bisa akur. Kekeraskepalaan dan gengsi yang tinggi, seolah melekat kuat dalam naluri kami.

“Apakah Ibu akan terus memarahiku begini?” protesku.

“Hah...sudahlah, ayo masuk! Kau pasti belum makan, Ibu sudah meyiapkan makanan kesukaanmu di meja makan, saat mendengar kabar dari Yong-hwa bahwa kau juga akan hadir di pesta pertunangannya, Ibu langsung menyuruh Bibi Hong mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak taktoritang,” aku menatap Ibu dan tersenyum, dia sama sekali tak berubah, tetap seorang Ibu yang sabar dan sangat perhatian. Bahkan, dia masih mengingat makanan kegemaranku. Sudah lama aku tak makan taktoritang (Spicy Braised Chicken and Potatoes) buatan Ibu yang lezat.

“Ya, aku—“ kata-kataku terhenti saat melihat Dae-jia yang baru saja turun dari tangga, gadis itu nampak secantik biasanya, mengenakan gaun santai berwarna biru tua dan rambut terkuncir rapi di atas tengkuknya. Aku lebih menyukai saat rambutnya tergerai...Astaga!! Apa yang Kau pikirkan Ji-hoon?

“Ah, Dae-jia...kau sudah bangun rupanya. Bagaimana istirahatmu, apakah sudah cukup?” Ibu bertanya padanya.

Gadis itu tampak ragu sejenak, sebelum menjawab, “Eh...sudah Bu, sudah cukup,” ia menjawab tanpa sedikit pun melirik ke arahku.

“Oh iya, kenalkan, ini Kakak kandung Yong-hwa—“

“Mereka sudah berkenalan Bu!” terdengar suara Yong-hwa dari arah pintu, yang masih menggunakan pakaian berkuda-nya. “Kupikir kau tak jadi datang Kak!” sapanya sembari merangkulku. “Sejak pagi tadi aku sudah menunggumu, kupikir akan menyenangkan kalau kita bisa berkuda bersama.” Ya, berkuda adalah hobby lamaku dan Yong-hwa, sejak kecil, saat berkunjung ke villa, kami selalu menyempatkan diri berkuda di kebun belakang, sebelah istall kuda keluarga.

“Masih banyak yang harus kuurus di Seoul,” jawabku sedikit menyesal.

“Kau di Seoul?” Ibu bertanya, kupikir Yong-hwa telah menceritakan tentang kepulanganku ke Seoul pada Ibu.

“Ya,” sahutku singkat.

“Kau bahkan tak mengunjungiku walaupun pulang ke Seoul?!” tuntut Ibu.

“Maaf Bu.”

“Sudahlah Bu, biarkan Kak Ji-hoon istirahat dulu, dia kan baru saja datang,” sela Yong-hwa. “Ah...bukankah Ibu memasak taktoritang? Bagaimana kalau kita makan siang saja, aku sudah sangat lapar, dan bukankah itu makanan kesukaanmu Kak?” Aku mengangguk penuh syukur pada Yong-hwa, terima kasih karena kau telah mengalihkan kemarahan Ibu.

“Ya, ayo!” jawabku sembari merangkul Ibu dan Yong-hwa, sekilas aku melirik Dae-jia dengan ekor mataku, gadis itu masih saja berdiri mematung di ujung tangga.

“Ah, sayang! Ayo ikut makan bersama kami,” ajak Yong-hwa seakan baru menyadari kehadiran kekasihnya itu.

Taktoritang


-Park Dae-jia-

Dia pasti datang, ya, sudah kuduga. Hah...bagaimana ini? Tatapannya padaku benar-benar menakutkan. Aku jadi ragu dengan keputusanku ini...Kak Hea-in cepatlah datang, aku benar-benar butuh teman! Aku menyurukkan wajahku di matras dan menutupi kepalaku dengan bantal putih lembut, berharap semua masalah itu akan hilang seketika saat aku kembali membuka mata.

Besok malam adalah pesta pertunanganku dengan Kak Yong-hwa, sekaligus untuk membicarakan rencana pernikahan kami. Karena kesibukan masing-masing keluarga, hingga kesempatan ini akan benar-benar dimanfaatkan untuk membicarakan rencana besar dalam hidupku itu. Tapi masalahnya, aku sama sekali tak merasa tenang atau pun bahagia dengan semua ini, layaknya seorang calon pengantin yang akan segera menyongsong hari bahagia-nya.

Kejadian di Busan itu terus saja membayangi, semakin ingin melupakannya, maka semakin sering ingatan itu datang, bahkan dalam mimpi-mimpiku, hingga aku sama sekali tak nyenyak tidur selama beberapa hari belakangan ini. Seandainya itu tak pernah terjadi, seandainya aku tak pernah pergi ke Busan, seandainya aku tak menuruti ajakannya ke kamarnya, seandainya aku segera kembali ke kamarku, seandainya aku tak meladeninya...seandainya ciuman di lift itu tak pernah terjadi....seandainya....seandainya....seandainya.....aku menghela nafas lelah, tapi di dunia ini tidak ada kata seandainya, yang ada hanyalah hubungan sebab akibat dengan apa yang telah terjadi di masa lalu...



“Jangan pergi!” Kak Ji-hoon menangkap lenganku, aku menengadah menghadapnya. Kurasakan jantungku kembali berdentam kuat saat kedua matanya menatap tajam ke dalam mataku. Dan sekali lagi ciuman itu terjadi. Entah mengapa, aku tak bisa menolaknya, seolah aku terbuai dalam belaian kasih sayang yang sudah lama tak kurasakan. Seluruh inderaku lumpuh, deru nafas kami memburu seiring meningkatnya gairah di antara kami. Perlahan sambil tetap saling memagut bibir, Kak Ji-hoon mendorong tubuhku hingga terjatuh di sofa. Setengah sadar, aku mendengarnya bergumam tak jelas ‘Jangan pergi! Aku menginginkanmu’ sambil tetap memagut bibirku dan beralih mengecup leherku dengan kecupan-kecupan lembut hingga kurasakan sesuatu yang menggelitik dan cukup untuk membangunkan setiap sel dari tubuhku dengan gairah menggebu. Tangannya mulai memberanikan diri, menarik lepas kancing baju dan pengait bra-ku. Hingga kurasakan dinginnya pendingin ruangan menyentuh pori-pori kulitku yang bertelanjang dada. Aku menggigil karena gairah yang meningkat saat tangannya mulai membelai payudaraku lembut dan mengerang nikmat ketika bibirnya mengecup dan mempermainkan puncaknya yang mulai mengeras. Tanganku pun mulai membelai tubuhnya yang kekar, hingga kutemukan bukti gairahnya yang mulai mengeras dan tegang. Kudengar dia mengerang nikmat saat tanganku secara tak sengaja menyentuhnya. Perlahan dia mengangkat rokku lebih tinggi dan....



KRIIIIIINGGGG........!!!!!!!!!! aku terkesiap, dan seketika terbangun dari tidurku saat terdengar bunyi weker yang memekakkan telinga. Mimpi itu lagi! Ya Tuhan...bagaimana ini? aku melirik jam weker di atas nakas yang menunjukkan pukul 7 malam. Itu artinya aku harus segera bersiap untuk makan malam bersama keluarga Kak Yong-hwa. Malam ini, ayahnya akan tiba dari Seoul. Sementara Ayah dan Ibuku, baru besok akan menyusul ke mari, semoga bersama Kak Hea-in.



“Tunggu!” kurasakan seseorang menggamit lenganku dan menarikku ke sebuah lorong gelap di sebelah gudang di lantai dua. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Perlahan, samar-samar kulihat sosok pria tinggi besar sedang berdiri di hadapanku. “Aku ingin bicara denganmu!” desisnya. Astaga!! Lagi? Kurasakan daerah perutku yang kosong bagai bergejolak saat pria itu menatapku tajam. “Bukankah aku sudah memperingatkanmu, kenapa kau masih menerima lamaran Yong-hwa?”

“Ini hidupku, jadi aku berhak menentukannya sendiri, tanpa harus mempedulikan apa yang dikatakan orang lain,” bantahku memberanikan diri. Aku tak mau terus-menerus ditindas oleh pria ini.

“Tapi kau telah mengkhianati adikku, itu artinya kau sama sekali tak pantas untuknya!”

Aku tersenyum tanpa rasa humor, “Oh...bagus sekali, apa kau lupa siapa yang telah memulainya?”

“Tak peduli siapa yang telah memulainya, kalau kau memang mencintai adikku, harusnya kau menolak, bukannya—“

“Dasar egois!” makiku, “bagaimana aku bisa menolaknya, kalau kau terus saja men—“ aku menhentikan kalimatku saat sebelah tangan pria itu membekapku dan sebelahnya lagi mengunci tubuhku di dinding.

Deg....deg....deg....deg....deg....kurasakan irama jantungku mulai meningkat tak beraturan. Kejadian di Busan kembali terbayang di pelupuk mataku. Saat pagi itu aku terbangun tanpa sehelai benang pun di tempat tidurnya, saat tubuhnya yang polos mendekapku, saat bibirnya menjelajahi area sensitif di tubuhku.

“Lepaskan aku!” desisku sembari menenangkan detak jantungku yang semakin meningkat, seiring setiap bayangan yang muncul di otakku.

“Diam! Ada yang datang,” ancamnya dengan nada lirih nyaris tak terdengar. Sayup-sayup terdengar suara Kak Yong-hwa tengah mengetuk pintu kamarku dan memanggil-manggil namaku. Ya Tuhan...apa jadinya kalau dia sampai melihatku dalam posisi seperti ini bersama kakaknya? Aku memejamkan mata dan menahan nafas, berharap kekasihku itu segera pergi, sebelum menemukan kami.

“Apa kau takut adikmu mengetahui semua ini? kenapa kau membekapku? Kenapa tidak kau panggil saja dia kemari, bukankah kau menyuruhku untuk mengakui semuanya, bukankah kau menginginkan kami berpisah, kenapa tak kau panggil saja dia?” cecarku penuh emosi, sesaat setelah Kak Yong-hwa pergi.

“Bukan aku yang harus mengakuinya, tapi kau?”

“Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa bukan kau saja? Bukankah kau yang memulainya?”

“Seperti yang kau bilang tadi, ini masalahmu, jadi kau yang harus menyelesaikannya.”

“Kau memang egois!” bentakku lalu meninggalkannya sendiri di lorong. Rasanya dadaku sesak oleh emosi. Bagaimana bisa dia melimpahkan semua kesalahannya padaku? dasar pria egois! Egois! Egois! Aku masuk ke kamarku lagi untuk membenahi dandananku, aku tak boleh terlihat seperti habis menangis di depan Kak Yong-hwa, tidak boleh...aku menggelengkan kepalaku, dan kurasakan air mata yang sejak tadi telah mendesak untuk keluar, kini tumpah tak terbendung lagi. Aku terisak, mencoba untuk menenangkan diri. Tetapi seolah pertahanan diriku hancur ditelan emosi yang menyesakkan.

Setelah kurasa cukup menumpahkan segala emosi dengan menangis, aku mencuci muka dan mulai merias diriku kembali. Aku tak boleh terlambat, Kak Yong-hwa pasti bingung mencariku.

“Astaga! Kau kemana saja?” tanya Kak Yong-hwa saat aku tiba di ruang makan, di sana telah berkumpul keluarga Kak Yong-hwa, Ayah dan Ibunya, tapi dimana pria itu?

“Maaf aku terlambat,” aku mencoba terdengar seriang mungkin.

“Memangnya kau darimana? Tadi aku ke kamarmu, tapi tak ada sahutan.”

“eh...” aku mencoba mencari alasan, “Aku...masih mandi,” dustaku, “maaf, tadi aku telat bangun.”

“Sudahlah Yong-hwa, sampai kapan kau akan membiarkan Ayah kelaparan?” ujar paman Jung hyun woo, ayah Kak Yong-hwa. “Bagaimana kabarmu Dae-jia? Sudah lama kita tidak bertemu,” paman Jung menyapaku.

“Baik Paman,” jawabku sopan.

“Duduklah Nak,” ujar Ibu Kak Yong-hwa dengan sabar. Aku menurut dan mengambil kursi di dekat Kak Yong-hwa.

“Kapan paman datang?” ujarku mencoba untuk merileks-kan diri.

“Sekitar dua jam yang lalu,” jawab paman Jung disertai senyum, “tapi kenapa kau masih memanggilku paman? Harusnya kau sudah harus membiasakan diri memanggilku ayah,” godanya.

Aku tersenyum malu, “Iya, Pa...eh, Ayah!”

“Aku merasa senang, saat Yong-hwa mengatakan bahwa ia ingin segera menikah denganmu. Rasanya sudah tak sabar untuk segera menimang cucu.”

“Ya, benar sekali,” sahut Bibi Young shin menyetujui perkataan suaminya.

“Ah, Ayah...kami kan masih bertunangan, belum menikah,” kilah Kak Yong-hwa.

“Apa maksudmu masih bertunangan? Kalau kau sudah bertunangan, maka tidak lama lagi pernikahan harus dilaksanakan.”

“Tapi Ayah, aku masih harus melanjutkan kuliahku—“

“Kau bisa melanjutkan kuliahmu di Seoul saja, jadi kau bisa tetap menikah dengan Dae-jia.”

“Pa...Ayah, biarkan saja Kak Yong-hwa menyelesaikan dulu kuliahnya. Lagipula aku juga masih—“ kurasakan tangan Kak Yong-hwa menyentuh tanganku. Ada apa?

“Baiklah Ayah, aku akan transfer kuliahku ke Seoul University,” jawab Kak Yong-hwa tegas.

Kulihat paman Jung menyunggingkan senyum puas, “Bagus.”

“Sampai kapan kau akan terus menjadi boneka Ayah, Yong-hwa?” Kak Ji-hoon berkata sembari memasuki ruang makan.

“Kau? Kenapa dia ada di sini?” seru Paman Jung emosi.

“Apa ayah lupa, kalau aku juga bagian dari keluarga ini?” pria itu balik bertanya, seraya menarik sebuah kursi dengan santai. Kulihat Bibi Young shin mulai berdiri dan trelihat gelisah.

“Aku tak pernah punya anak sepertimu!” gertak paman Jung marah. Sepertinya, dia sangat tersinggung dengan kata-kata Kak Ji-hoon barusan, kata-katanya memang menyakitkan, tapi apa tidak berlebihan tingkah Paman Jung? Bukankah dia juga anaknya?

“Suamiku, sudahlah!” Bibi Young shin mencoba menenangkan suaminya.

“Aku yang mengundangnya, Ayah. Maaf,” Kak Yong-hwa menengahi. Ada apa sebenarnya? Sepertinya memang ada masalah antara paman Jung dengan pria itu.

“Kenapa kau meminta maaf Yong-hwa? Apa kau menyesal telah mengundangku ke mari?” tanya Kak Ji-hoon santai sembari menyantap makanannya.

“Bukan begitu Kak—“

“Selera makanku tiba-tiba hilang, hanya dengan meilhat wajahnya!” kali ini Paman Jung benar-benar meninggalkan meja makan, membuat Kak Yong-hwa dan Bibi Young shin terperangah.

“Suamiku!” panggil Bibi Young-shin, “Maafkan suamiku ya nak, lanjutkan saja makan kalian,” pamitnya lalu mengikuti suaminya. Apa-apaan ini? aku melirik Kak Ji-hoon yang saat ini masih dengan santai memakan makanannya, seakan tak terjadi apa-apa.

“Kak, harusnya kau tak bicara begitu pada Ayah,” ujar Kak Yong-hwa tanpa nada menggurui sama sekali.

“Aku hanya mengatakan kenyataan,” jawab pria itu acuh tak acuh, lalu beranjak pergi meninggalkan kami berdua karena makanannya telah habis. Aku benar-benar tak mengerti apa yang terjadi?

“Kak, sebenarnya ada apa antara Ayah dan Kakakmu?” tanyaku mencoba untuk tak menyebut nama pria itu.

Kak Yong-hwa mendesah singkat, “Ceritanya panjang Dae-jia, nanti saja kuceritakan padamu. Sekarang makanlah!” kekasihku itu berkata, muram.



-Jung Yong-hwa-

Apa aku salah telah mengundang Kak Ji-hoon ke mari? Aku menghela nafas lelah, lalu duduk di kursi batu di dekat kolam ikan di samping villa. Memandang langit adalah sesuatu yang menyenangkan. Terlebih saat cuaca cerah seperti ini. Tidak, aku tak boleh berpikir begitu. Sudah seharusnya aku mengundangnya, karena dia memang bagian dari keluarga kami.

Aku menunduk, memandang ikan-ikan yang berenang ke sana kemari memperebutkan remahan roti yang kutaburkan. Besok adalah hari pertunanganku, aku tak boleh tampak tak bersemangat. Terlebih aku akan bertunangan dengan kekasih yang sangat kucintai. Dae-jia. Aku mengenang kembali saat pertama kali kami bertemu, di mall tepatnya di sebuah toko buku. Saat itu, dia tengah sibuk mencari novel favoritnya. Dan sempat bertengkar dengan salah seorang pembeli lain, karena memperebutkan novel yang dicarinya, yang memang hanya tinggal satu. Aku tersenyum, mengingat bagaimana ngototnya dia merebut novel itu. Sampai akhirnya, aku tau, bahwa novel yang sangat ingin dibelinya itu, adalah novel yang salah satunya sedang kupegang. Tentu saja, aku langsung memberikannya padanya. Terlihat sekali, dia sangat berterima kasih padaku. Hah...dia memang gadis yang tak pernah mau kalah.

Tapi akhir-akhir ini, aku merasakan keanehan dari sikapnya. Ataukah itu hanya perasaanku saja, karena terlalu senang menyambut hari pertunangan kami dan bahkan pernikahan kami yang sudah semakin dekat. Ya, pasti hanya karena itu.

“Kak Yong-hwa!” suara orang yang sangat kucintai itu membuatku menoleh.

Aku tersenyum menyambut kekasihku, “Dae-jia?! Duduklah!”

“Sedang apa kau di sini? Kenapa malam-malam begini kau masih di luar? Apa tidak terasa dingin? Bagaimana kalau kau masuk angin” inilah Dae-jia yang selama ini kukenal, cerewet dan manis seperti biasanya. Entah mengapa, selama beberapa hari ini, aku merasa kehilangan dirinya yang dulu. Tapi syukurlah, sekarang sudah kembali.

“Aku sedang memberi makan ikan-ikan itu,” kataku sambil menunjuk ke arah kolam, “Kau mau memberi makan mereka juga?” tawarku sembari menyerahkan sepotong roti ke tangannya. Tanpa diperintah, ia pun mulai mencuil roti itu dan melemparkannya ke kolam.

“Wah...sepertinya, mereka sangat kelaparan!” serunya dengan nada polos seperti biasanya.

“Ya, mereka pasti senang memakannya, apalagi yang memberi makan mereka adalah gadis secantik dirimu,” rayuku membuatnya memukul bahuku pelan.

“Kalau begitu, kau juga pasti mau memakan ini,” Dae-jia mencoba menyuapkan sisa potongan roti di tangannya ke mulutku, tapi aku berhasil menghindar. Dan buru-buru kabur sebelum dia sempat menyuapkannya.

“Kau mau kemana Kak?” seru Dae-jia berusaha mengejarku yang terus berlari menghindar. Sudah lama aku tak merasakan kebahagiaan yang lepas semacam ini...tapi setelah ini, aku pasti akan merasakannya setiap hari, selamanya...bersamanya...



-Park Dae-jia-

Aku kembali terbangun karena mimpi buruk yang terus mengangguku. Ini kali ketiga, aku terbangun dari tidurku. Ya Tuhan...sampai kapan akan terus begini? Aku mengacak-ngacak rambutku geram. Semalam, saat menemui Kak Yong-hwa, aku berniat untuk mengutarakannya, dan berharap dia akan memaafkan kesalahanku. Tapi saat melihat wajah tulusnya, tenggorokanku seolah tercekat, dan semua kata-kata yang sebelumnya telah kurangkai, sirna seketika. Aku tak tau, apakah aku akan memiliki keberanian untuk mengungkap semuanya.

Kulirik jam weker di nakas, ternyata sudah jam 6 pagi. Pantas saja, di luar sudah terang. Aku beranjak ke kamar mandi, karena kurasa, tak mungkin untuk kembali melanjutkan tidurku yang sama sekali tak nyenyak itu. Saat akan menutup pintu kamar mandi, kudengar suara pintu diketuk. Itu pasti Kak Yong-hwa, kuurungkan niatku untuk mandi, dan memilih untuk membuka pintu. Aku tak mau mengabaikannya lagi, seperti semalam.

“Kak—“ aku tercekat di depan pintu, saat melihat siapa yang berdiri di sana. Dengan sigap, pria itu mendorongku dan menutup pintu di belakangnya. Apa-apaan ini? “Jadi, sekarang kau sudah berani masuk ke kamar tunangan adikmu?” gertakku.

“Kau belum menjadi tunangan adikku!” sergahnya marah, ia tampak berantakan. Apakah karena pertengkarannya semalam dengan ayahnya?

“Ya, tapi dalam beberapa jam lagi, aku akan resmi menjadi tunangannya.”

“Jangan berspekulasi dulu, karena aku tak akan pernah membiarkannya terjadi!” komentarnya santai.

Sial, memangnya siapa dia? berani-beraninya mengaturku begitu? “Apa maksudmu? Apa kau telah memutuskan untuk mengatakan semuanya pada Kak Yong-hwa?”

“Bukan aku yang akan mengatakannya, tapi kau!” serunya sambil menunjuk wajahku.

Aku mendengus, “Aku tak akan pernah melakukannya!”

“Kau akan melakukannya!” desisnya, aku bergerak mundur saat dia mulai berjalan mendekat dan menyudutkanku di dekat meja rias.

“Apa yang akan kau lakukan?”

“Aku akan membuatmu mengaku”

“Dari pada kau membuang-buang waktumu, lebih baik kau saja yang mengakuinya! Lagi pula, bukan hanya aku yang salah, kau juga salah,” bentakku.

“Aku? Salah? Aku sama sekali tidak salah...karena aku tidak mengkhianati siapa pun, sementara kau sudah mengkhianati kekasihmu yang ternyata adikku sendiri. Entah sudah berapa kali kau mengkhianatinya, aku tak tau. Dan adikku beruntung, karena kau mengkhianatinya denganku.”

“Brengsek! Kau yang memulainya, kau yang membuatku bagai wanita murahan yang biasa kau tiduri setiap kali kau ingin melampiaskan nafsumu.”

Pria itu mengeraskan rahangnya, “Ya, kau memang salah satu dari mereka!”

“Ap—“ kata-kataku terhenti, saat tiba-tiba pintu kamarku terbuka, seketika seluruh tubuhku beku bagai terkena ribuan bongkah es batu.



~To Be Continued.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar