Minggu, 24 April 2011

The Stranger -Chap 1-

Annyeong!!!! aku datang dengan FF baru nii...*padahal ALS gak lanjot2* kekekek....mudah2an suka yee....FF ini kupersembahkan buat Admin Park Tercinta.....Park.....Maaf kalo hasilnya tidak memuaskan...maklum bukan penulis yg baik wkwkwkwk

Mohon Komentar dan Like-nya yee *ngemis*


-Lee-
______________________________________________________________

The Stranger



Chapter 1



-Park Dae-jia, Kediaman keluarga Park-

Kurebahkan tubuhku yang terasa penat ke matras. Rasanya tulang-tulangku akan rontok saat ini juga. Perjalanan Busan-Seoul memang sangat melelahkan. Tetapi bukan itu yang membuat pikiranku keruh. Kejadian malam sebelumnya lah yang membuatku sangat resah. Kubenamkan wajahku di bawah bantal berbentuk hati pemberian Kak Yong-hwa, kekasihku, tetapi bayang-bayang kejadian malam itu tak kunjung sirna dari ingatan dan pelupuk mataku. Seolah menonton sebuah Film layar lebar, dengan diriku sebagai pemeran utamanya.

“Hya! Dae-jia...mana oleh-oleh dari Busan?!” kurasakan sesuatu yang lembut menghantam tubuhku.

 “Kak Hea-in?!” seruku girang dan buru-buru bangkit duduk, saat melihat kakak sepupuku itu berdiri di sebelah ranjangku. “Kapan Kau datang?”

“Dua hari yang lalu,” jawab Kak Hea-in sembari menyunggingkan senyum dan duduk di matras bersamaku. Kak Hea-in tinggal di Mokpo bersama tiga orang adiknya, kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan lalu lintas setahun yang lalu dan kini Kak Hea-in lah, sebagai anak tertua di keluarga itu yang menjadi tulang punggung keluarganya. Ibu Kak Hea-in adalah saudara kandung Ibuku. “Kau baru saja pergi berlibur, kenapa Kau justru terlihat tak bersemangat begitu?” selidiknya.

“Ah...masa sih? Aku merasa sehat,” dustaku seraya menangkupkan kedua telapak tangan ke pipi.

“Kau yakin?” tanya Kak Hea-in lagi, sembari memperhatikan wajahku.

Aku hanya mengangguk, “Mungkin hanya karena kecapean saja,” aku beralasan, syukurlah Kak Hea-in tak bertanya lagi, mungkin dia percaya dengan apa yang kukatakan. “Eh, iya. Ada perlu apa Kakak di Seoul?”

“Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di sini,” sahut Kak Hea-in.

“Untuk berapa lama?”

“Kira-kira satu bulan ke depan.”

“Benarkah?” tanyaku bersemangat, “Itu artinya Kau akan tinggal di sini selama sebulan kedepan?” Kak Hea-in mengangguk mantap. “Wah, senangnya...nanti akan kuajak Kau jalan-jalan keliling kota Seoul,” janjiku.

Kak Hea-in tersenyum, “Wah...pasti menyenangkan bisa berkeliling Seoul, tapi sayang sekali, jadwalku benar-benar padat Dae-jia,” sahut Kak Hea-in dengan nada menyesal.

“Yah... sayang sekali,” aku mengerucutkan bibirku tanda kecewa. “Dari dulu Kau selalu gila kerja Kak.”

“Tapi akan kuusahakan, kalau nanti mendapat libur dari boss-ku,” tambah Kak Hea-in buru-buru, saat melihat perubahan ekspresi wajahku.

Aku tersenyum cerah, “Akan kutunggu!” seruku gembira. Pasti akan menyenangkan sekali jika bisa berjalan-jalan keliling Seoul bersama kakak sepupuku itu.


Yeah, karena aku anak tunggal, jarang sekali aku bisa mengobrol dan bersenda gurau, apalagi jalan-jalan bersama seseorang yang ku sayang seperti seorang Kakak atau pun adik, belum lagi orang tuaku sangat sibuk dengan pekerjaannya. Begitu pula dengan Kak Yong-hwa yang saat ini pergi ke luar negeri untuk melanjutkan kuliahnya. Rasanya hidupku benar-benar sepi. Tapi dengan adanya Kak Hea-in di rumahku, pasti akan sangat menyenangkan.

“Kalau begitu, aku berangkat kerja dulu ya!” pamit Kak Hea-in membuyarkan lamunanku.

“Eh, iya Kak. Semoga sukses!” sahutku sembari memandangnya menutup pintu kamar.

Aku kembali merebahkan tubuhku ke matras. Mencoba untuk memejamkan mataku karena sejak semalam aku tak bisa tidur. Mataku memang terpejam, tapi pikiranku masih tetap melayang ke kejadian malam itu. Hah...Park Dae-jia! Tak bisakah Kau melupakannya? Arrghh......


Tak berhasil tidur, aku memilih untuk bangkit, mencuci muka dan menuju dapur karena kurasakan perutku mulai keroncongan. Saat membuka pintu kulkas untuk mencari makanan yang bisa mengganjal perutku, kulihat Ibu turun dari tangga di sebelah ruang makan. Tumben sekali dia ada di rumah. Biasanya, selalu pergi di pagi buta dan pulang tengah malam. Kesibukannya sebagai artis senior yang cukup banyak membintangi drama dan film membuat Ibu sangat jarang berada di rumah.

“Bagaimana perjalananmu ke Busan sayang?” tanya Ibu yang kini sedang duduk dan menyesap teh-nya di meja makan.

“Lumayan,” sahutku singkat sembari menuang susu instan ke gelasku.

“Sepertinya perjalananmu tidak begitu menyenangkan,” Ibu mencoba berspekulasi saat melihat wajahku yang terlihat mendung.

Aku tak menjawab dan hanya meneguk susu-ku hingga habis, enak. “Aku ke kamar dulu Bu.” Tak ingin berlama-lama membicarakan hal yang membuatku tak nyaman dengan Ibu, aku memilih segera kabur ke kamar. Aku memang tak terlalu dekat dengan Ibu maupun ayahku, karena sejak kecil, aku sangat jarang sekali berinteraksi dengan mereka. Bagiku, ada atau tidak ada mereka di rumah, sama sekali tak jadi masalah.

Sembari membawa makanan ringan berupa snack kentang kesukaanku, aku duduk di depan laptop dan mencoba untuk meneruskan pekerjaanku membuat novel, yang sempat tertunda. Sebenarnya perjalananku ke Busan beberapa hari yang lalu, bukan hanya untuk sekedar berjalan-jalan tetapi juga untuk mencari inspirasi, guna penyelesaian novel yang akan segera kukirim ke penerbit. Sudah lama aku bermimpi untuk menjadi seorang novelis. Dan sudah banyak pula naskah yang ku kirimkan ke penerbit, tapi sampai sekarang belum juga berhasil. Yeah memang membuat frustasi, tetapi aku tak boleh menyerah demi meraih mimpiku. Dan kali ini aku harus berhasil. Kata-kata dari Kak Yong-hwa yang mengatakan bahwa aku sangat berbakat menulis, selalu menjadi pijakan bagiku di kala aku sedang terpuruk. Dia selalu mengatakan bahwa, ‘suatu saat nanti kau pasti akan sukses, percayalah pada kemampuanmu! Dan ingatlah bahwa kegagalan merupakan kunci dari kesuksesan. Jadi, jangan pernah sekali pun kau menyerah pada keadaan’. Aku tersenyum mengenang kembali masa-masa indah itu, masa dimana dia selalu menemaniku. Padanya lah aku selalu menceritakan segala keluh kesahku, dan dia pasti akan selalu memberikan solusi yang terbaik bagiku. Tapi kini dia berada jauh di Amerika, jauh melintas benua, aku sangat merindukannya. Kak Yong-hwa...Aku merindukanmu di sisiku...

Kucoba untuk memusatkan pikiranku pada tokoh-tokoh dan jalan cerita di novelku. Namun, baru setengah lembar cerita kuketik, pikiranku kembali terpusat pada kejadian malam itu. Pada pria itu, pada pertemuan tak disengaja tersebut. “Arrgh!! Sialan!” geramku sembari menutup layar laptopku, gemas. Kenapa wajahnya tak mau hilang dari ingatanku? Bayang-bayang tentang kejadian itu juga tak bisa lepas dari mataku. Oh Tuhan...bagaimana ini? aku harus segera menyelesaikan naskahku. Jika sudah begini, tak mungkin aku bisa menyelesaikan pembuatan novelku dalam waktu dekat ini. Hah...


-Cafe De Fert, Seoul-

Untuk menghindari pikiran yang tidak-tidak tentang kejadian tak mengenakkan itu. Aku mencoba untuk menyibukkan diri dengan pergi berbelanja dan menikmati cappuccino kesukaanku di sebuah cafe terkenal di pusat kota Seoul. Mataku berkeliling memperhatikan setiap orang yang hilir mudik dalam cafe. Ada sepasang kekasih yang tengah bersenda gurau di salah satu meja. Melihat mereka, membuatku merasa iri, karena saat ini kekasihku berada jauh melintas benua. Sepasang kekasih itu terlihat sangat mesra, dan bahagia, tersenyum bersama, indah sekali. Aku memang sangat suka memperhatikan tingkah laku orang-orang di sekitarku. Karena hal itu, bisa saja menjadi ide bagiku dalam pembuatan setiap novel yang pernah kubuat.

 Di meja yang lain ada beberapa orang gadis yang sedang asyik berbincang atau lebih tepatnya bergosip, sembari memperhatikan seorang pria tampan yang duduk tak jauh dari meja mereka, sementara pria tampan itu sama sekali tak mengacuhkan keberadaan gadis-gadis yang kini sedang memperhatikannya. Dan  yang paling membuatku tak suka, adalah seorang pria setengah baya yang kiri-kira seusia ayahku, sedang duduk berdua dan merangkul pundak seorang gadis yang usia-nya tak jauh berbeda dariku, dengan mesra. Hah...dasar pria hidung belang!

Di tengah kesibukanku memperhatikan orang-orang di sekelilingku, tiba-tiba alunan lagu Missing You dari SM The Ballad mengalun dari ponselku, yang kutahu bahwa Kak Yong-hwa lah si penelepon. Dengan hati melonjak gembira, segera kupencet tombol jawab di ponsel Samsung-ku.

“Hallo!” sapaku riang.

“Hai Sayang, bagaimana kabarmu?” suara Kak Yong-hwa mengalun lembut seolah mengobati kerinduanku selama ini.

“Baik,” sahutku, “Kenapa Kau jarang meneleponku?” tuntutku mengingat sudah lama sekali dia tak menelepon.

“Maaf, aku sibuk, tugas kuliah menumpuk.”

“Hah...alasan!” gerutuku pura-pura marah.

“Memang alasan,” balas Kak Yong-hwa santai sembari terkekeh geli, pasti dia sedang membayangkan wajah cemberutku saat ini.

“Ih...Kak Yong-hwa jahat!” jeritku kesal.

“Hya! Kenapa Kau malah marah? Ya sudah, aku tutup saja telponnya kalau begitu,” godanya.

“Jangan!” rajukku membuatnya kembali terkekeh geli. Aku benar-benar butuh bicara dengannya untuk menghilangkan kegalauan hatiku saat ini. Seandainya Kau tau apa yang terjadi Kak...

“Kenapa Kau diam saja?” tanya Kak Yong-hwa saat aku tak bersuara, “Biasanya Kau cerewet sekali, apa Kau sakit?”
“Ya, aku sakit!” sahutku datar.

“Benarkah? Sakit apa? kenapa Kau tak bilang padaku? apakah Kau terlalu capek? Harusnya Kau memperhatikan waktu istirahatmu, kau pasti telat makan lagi.” cecarnya membuatku tersenyum geli, seperti biasa, kekasihku itu memang sangat perhatian padaku. Dia memang benar-benar tipe pria idaman, baik dan perhatian.

“Sakit hati,” jawabku, “dan sakit Rindu,” tambahku buru-buru.

“Hah...Kau ini, kupikir sungguhan,” ucapnya, “Aku juga merindukanmu.” Ucapan Kak Yong-hwa itu membuat hatiku mengembang senang.

“Bohong!” seruku, mencoba untuk tak terdengar riang.

“Sungguh Dae-jia sayang!”

“Kalau Kau memang merindukanku, kenapa Kau tak pernah meneleponku?” tuntutku.

“Kan aku sudah bilang, kalau aku sibuk,” dia mencoba membela diri.

“Tapi Kau bilang itu hanya alasan yang Kau buat, apa Kau lupa?”

Kak Yong-hwa kembali tertawa, “Ya, itu memang hanya alasan—“

“Tuh kan benar!” selaku, “Kau memang sudah tak mencintaiku lagi!”

“Hya! Aku belum selesai bicara, alasanku yang sebenarnya adalah, karena waktu itu aku sedang ujian. Dan karena sekarang ujiannya telah selesai, jadi dua hari lagi aku akan pulang ke Korea untuk menikmati liburanku,” Kak Yong-hwa menjelaskan perlahan sembari memberi penekanan berlebih pada kata ‘pulang ke Korea’.

Mendengar kabar kepulangannya, tentu saja membuat hatiku gembira. “Benarkah?” seruku riang, aku tak dapat menyembunyikan nada bahagia dalam suaraku.

“Kapan Aku pernah berbohong padamu?” Kak Yong-hwa balik bertanya. “Jemput aku di Incheon Sabtu nanti,” tambahnya.

“Pasti!” jawabku mantap. Akhirnya, setelah sekian lama. Aku bisa bertemu lagi dengan kekasihku itu. Hah...senang sekali rasanya. Semoga kenangan buruk sewaktu di Busan, tak merusak pertemuanku kembali dengan Kak Yong-hwa. Astaga! Tanpa sadar aku kembali mengingatnya...Dae-jia! Kau ini kenapa?


-Kediaman keluarga Park-

Saat aku pulang, seperti biasa, rumah ini terasa sepi bagaikan tanpa penghuni. Hanya ada para pelayan yang hilir mudik membereskan rumah dan membawa nampan makan malam ke meja makan. Hah...menyebalkan sekali.

“Nona sudah pulang?!” seru Bibi Jung, kepala pelayan di rumahku, dia lah yang merawatku sejak kecil, dan aku pun cukup dekat dengannya. Aneh sekali memang, dengan Ibu kandungku sendiri, terasa seperti orang asing, tapi dengan orang lain justru terasa seperti keluarga bagiku. Aku tak menjawab pertanyaan Bibi Jung tadi, dan hanya duduk di sofa dekat ruang TV. “Apa Nona butuh sesuatu?” tanya Bibi Jung perhatian.

“Tidak usah Bi, aku hanya ingin sendiri,” sahutku malas, tapi tiba-tiba aku teringat sesuatu, “Oh iya, Kak Hea-in sudah pulang?”

Bibi Jung nampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaanku, “Sepertinya Nona Hea-in belum pulang.”

“Hah...ya sudahlah! Kau boleh pergi Bi,” ujarku kesal. Kenapa Kak Hea-in belum pulang juga sih? Ternyata benar apa yang dikatakannya tadi pagi, pekerjaannya memang sangat padat. Hah...sama saja kalau begitu. Kupikir dengan kehadiran Kak Hea-in di rumah, dapat membantu menghilangkan kesepianku.

Aku beranjak dari sofa ke kamar, karena mataku terasa berat sekali. Sudah sejak semalam aku tak bisa tidur. Jadi sebaiknya aku segera tidur, dan mengistirahatkan tubuhku yang mulai lelah. Rasanya sangat tak sabar menanti hari Sabtu tiba, karena hari itu, kekasihku akan datang.

Setelah mengganti pakaianku dengan piyama pink dengan gambar beruang sebagai motifnya. Segera kurebahkan tubuhku di matras empuk, dan tak selang beberapa lama, aku pun terlelap dalam buaian mimpi.


Dua hari kemudian....


Hari ini aku bangun pagi-pagi sekali dan segera bersiap memakai T-shirt biru muda, bolero putih berlengan pendek yang dipadu dengan rok putih pendek bermotif polkadot. Kurasa aku sudah siap untuk menjemput kekasihku. Aku tersenyum memandang bayangan diriku di cermin.

“Wah...wah...cantik sekali, memangnya Kau mau kemana pagi-pagi begini?” tanya Kak Hea-in yang kini berada di ambang pintu kamarku.

Aku meliriknya dan melayangkan senyuman riang ke arahnya. “Kak Yong-hwa akan pulang ke Korea hari ini, jadi aku akan menjemputnya di Bandara,” sahutku dengan tak menyembunyikan nada riang dalam suaraku. Aku sudah tak sabar untuk bertemu dengannya. Setelah menunggu dua hari lamanya, akhirnya hari ini datang juga.

“Hmmm...pantas saja, pagi-pagi begini Kau sudah rapi, padahal ini hari Sabtu,” goda Kak Hea-in sembari tersenyum penuh arti.

“Yeah...begitulah Kak, aku sudah lama tak bertemu dengannya. Rasanya rindu sekali,” aku mencoba menyuarakan isi hatiku.

“Wajar kalau Kau merindukannya, karena kalian memang sudah lama sekali tidak bertemu,” sahut Kak Hea-in penuh pengertian, “Justru kalau tidak rindu, itu lah yang menjadi masalah.”

Aku mengangguk menanggapinya, walaupun dalam hati kecilku ada sesuatu yang berteriak seolah memprotes apa yang kukatakan, tapi segera kutepis perasaan itu dengan memaksa diri untuk tersenyum, “Kau mau ikut?” tawarku.

“Ah, tidak. Aku tak ingin mengganggu acara kencanmu dengan Yong-hwa,” sahut Kak Hea-in sembari menggeleng, “Lagi pula, aku harus ke kantor sebentar lagi.”

“Hari Sabtu begini Kau masih harus ke kantor?” tanyaku heran.

“Hmm...ya sudah, kalau begitu aku mau bersiap dulu, semoga sukses acara kencannya,” ujar Kak Hea-in seraya mengedipkan sebelah matanya ke arahku.


-Bandara Incheon-

Kuparkirkan mobil Mercedes silver-ku di parkiran. Rasanya tak sabar ingin segera bertemu Kak Yong-hwa, setelah mengamati dandananku di kaca spion aku melangkah keluar menuju terminal kedatangan. Saat jarakku dengan tempat itu sudah dekat, kurasakan dadaku berdentam kuat, bukan karena melihat sesuatu yang sangat kusukai, tetapi karena tiba-tiba aku merasa gugup dan takut. Yeah, takut akan kesalahan yang pernah terjadi di Busan.

Sebenarnya yang membuatku bangun pagi-pagi sekali, bukan karena hal ini. Tapi karena ada sesuatu di mimpiku yang membuatku resah. Pertemuan kembali dengan pria asing itu, merupakan sesuatu yang sangat ingin kuhindari. Tapi entah mengapa, semalam aku memimpikannya. Mungkinkah itu hanya dikarenakan perasaan bersalahku pada Kak Yong-hwa, hingga aku terlalu berlebihan tentang hal itu. Setidaknya, hanya satu harapanku kini, kejadian dalam mimpiku itu tak akan pernah terjadi.

“Hai Sayang!” sapa Kak Yong-hwa yang tanpa kusadari ternyata telah berdiri di depanku, sedang mendorong kopernya.

Seolah baru tersadar dari mimpi, aku segera menyongsongnya dan masuk dalam dekapan hangat kekasihku itu. “Aku merindukanmu!” gumamku sembari terisak, entah mengapa cairan hangat itu tak dapat kubendung lagi.

“Hya! Kau menangis? Saat kekasihmu datang Kau malah menangis?” tanya Kak Yong-hwa sembari mendekapku erat.

Kupukul dadanya pelan, “Aku bukan menangis karena sedih, tapi karena aku sangat merindukanmu! Dan terharu karena sekarang akhirnya aku bisa bertemu lagi dengamu,” gerutuku.

Kekasihku itu tersenyum lembut sembari memperhatikan wajahku penuh perhatian, “Maaf Sayang,” ujarnya tulus sembari mengeluarkan sapu tangan biru dari kantung celananya. “Hapuslah air matamu dulu, aku tak ingin dikira sebagai penculik karena membuat seorang gadis menangis,” godanya.

Aku pun tak kuasa menahan senyumku, “Kau ini!” gumamku seraya menghapus bekas titik air mata di pipiku dan sudut mataku.

“Ayo! Kita pergi,” ajak Kak Yong-hwa sembari menggamit lenganku menuju mobil.



-Seoul Grand Park-

Aku dan kekasihku, Jung Yong-hwa, memutuskan untuk melewati pertemuan kami kembali dengan menikmati keindahan musim semi di Seoul Grand Park, karena di sini kita dapat melihat keindahan ribuan bunga sakura yang mekar dan berjejer rapi bagai di negeri dongeng. Indah sekali! ditambah lagi aku sedang bersama dengan kekasih yang sangat kucintai...

Setelah penat berjalan, menikmati alam musim semi yang hangat dan mengamati tingkah polah hewan lucu di kebun binatang mini di Seoul Grand Park, kami beristirahat di sebuah kursi taman panjang sambil berbincang mengenai segala sesuatu yang telah kami lalui selama berpisah.

“Bagaimana pembuatan Novelmu? Apa sudah selesai?” tanya Kak Yong-hwa.

“Belum,” jawabku singkat sambil tetap memperhatikan hiruk pikuk pengunjung di sekitar kami.

“Hah...sayang sekali, padahal aku ingin menjadi orang pertama yang membaca novelmu itu,” goda Kak Yong-hwa. Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum. “Kudengar Kau baru saja berlibur ke Busan, bagaimana perjalananmu ke sana?”

Deg....jantungku tiba-tiba saja bagai berhenti berdetak, saat nama Busan di sebut. Jujur, aku sama sekali tak ingin mengungkit masalah ini. Mendengar nama Busan saja, rasanya kepalaku sudah pusing. Apalagi membicarakannya.

“...Jia...Dae-jia!” Kak Yong-hwa mengguncang pundakku seraya memperhatikan wajahku, “Ada apa denganmu? Apa Kau sakit?” tanyanya khawatir.

Aku menggeleng, “Tidak,” sahutku datar, “Aku hanya lapar.” Aku sengaja mencari-cari alasan.

“Astaga! Yah, Kau benar. Harusnya Kau bilang dari tadi, saking bahagia-nya bisa bertemu lagi denganmu. Aku sampai lupa, kalau sekarang sudah waktu makan siang. Ayo!” ajaknya lalu bangkit berdiri dan menggenggam tanganku erat. Aku memandang punggungnya, karena aku berjalan di belakangnya. Hatiku terasa sakit, aku tak tau lagi harus berkata apa. Pria ini sangat baik, tapi aku telah tega mengkhianatinya, walau hanya sesaat. Maafkan aku Kak Yong-hwa...

Sesaat sebelum sampai di mobil, langkah kami terhenti saat kudengar ponsel Kak Yong-hwa berdering. “Hallo!” sapa Kak Yong-hwa pada si penelepon. “Akhirnya Kau menelepon juga, kukira Kau lupa janji temu kita hari ini.” lanjutnya. Aku tak memperhatikan lagi apa yang dibicarakannya, karena aku sibuk dengan pikiranku sendiri.

Setelah menutup telepon, yang entah dari siapa, kekasihku itu berbalik menghadapku. “Sayang, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”

Aku mengerutkan kening, apakah ini ada hubungannya dengan telepon tadi? Apakah dia ada janji lain dengan orang lain? Setidaknya itu yang kudengar sekilas dari pembicaraannya dengan si penelepon. “Apa?”

“Bolehkan, aku mengajak temanku makan siang bersama kita?”

“Temanmu?” tanyaku.

“Hmm...” Kak Yong-hwa mengangguk, “aku sudah lama tak bertemu dengannya, dia sahabatku sedari kecil. Dan aku sudah berjanji untuk bertemu dengannya hari ini, boleh kan?”

Kuperhatikan wajah Kak Yong-hwa memelas bagai anak kecil, melihatnya begitu membuatku tak kuasa menahan senyum, “tentu saja boleh,” sahutku, “Apa sih yang tidak boleh untuk kekasihku,” rayuku membuat kekasihku itu tersenyum cerah.

“Wah ternyata kekasihku sudah pandai merayu ya?” godanya sembari mencubit kedua pipiku gemas.


-Seoul Restaurant, Sogok-dong-

Kami menghentikan mobil kami di sebuah restoran mewah di kawasan Sogok-dong Seoul tepatnya di kawasan galeri seni Kukje daerah City Hall. Restoran itu terlihat ramai oleh pengunjung yang sebagaian besar dari kalangan menengah ke atas. Kami memilih restoran ini, lebih dikarenakan makanan yang disajikan di sini luar biasa enak dan sangat pas di lidah kami. Sekaligus untuk bernostalgia, karena dulu kami lumayan sering menghabiskan waktu berdua di restoran ini.

“Ayo!” ajak Kak Yong-hwa setelah memarkirkan mobil kami. “Temanku sudah menunggu di dalam.”

Aku pun mengekor di belakangnya. “Temanmu laki-laki atau perempuan?” aku juga kaget saat mendengar diriku berkata begitu.

Sejenak Kak Yong-hwa menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku. Cukup lama dia memandangku, hingga aku merasa jengah diperhatikan seperti itu. Dia tersenyum, senyum yang sempat membuat hatiku berdebar karena mendamba. “Apa kau mencoba untuk menginterogasiku?” selidiknya.

Aku mengalihkan perhatianku darinya ke sebuah pot bunga di dekat pintu masuk restoran. “Tidak juga,” jawabku. Tapi Kak Yong-hwa tak juga berhenti menatapku. “Kenapa Kau menatapku seperti itu?”

“Kau sangat manis kalau sedang cemburu,” godanya.

“Gombal!” ujarku, “sebaiknya kita segera masuk, pasti temanmu sudah menunggu di dalam,” aku mencoba mengingatkan.

“Baiklah kalau Kau tak mau mengaku,” Kak Yong-hwa menggandeng tanganku dan kami pun berjalan beriringan menuju ke restoran.

“Itu dia temanku!” ujar Kak Yong-hwa menunjuk seorang pria yang sedang duduk di salah satu meja restoran.

Seketika itu juga tubuhku mematung, kakiku bagai dipaku di tempatnya. Kepalaku seolah dihantam palu besar yang tak terlihat. Jantungku seakan berdentam kuat, seolah-olah semua orang akan mendengarnya. Kenapa harus dia? Apakah itu hanya halusinasiku saja? Apakah itu hanya sekedar bayanganku saja? Kalau memang benar, mengapa aku harus berhalusinasi seperti ini? Dae-jia...sepertinya hidupmu akan berakhir saat ini juga!


~To Be Continued.....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar