Chapter 2
-Park Dae-jia, Seoul Restaurant-
“Itu dia temanku!” Kak Yong-hwa menunjuk seorang pria yang duduk di salah satu meja restoran.
Seketika itu juga tubuhku mematung, kakiku bagai dipaku di tempatnya. Kepalaku seolah dihantam palu besar yang tak terlihat. Jantungku seakan berdentam kuat, seolah-olah semua orang akan mendengarnya. Kenapa harus dia? Apakah itu hanya halusinasiku saja? Apakah itu hanya sekedar bayanganku saja? Kalau memang benar, mengapa aku harus berhalusinasi seperti ini? Dae-jia...sepertinya hidupmu akan berakhir saat ini juga!
“Kenalkan ini Ok Taec-yeon, sahabatku!” ujar Kak Yong-hwa memperkenalkan, saat kami sudah mencapai meja mereka. Ok Taec-yeon? Kurasa...
“Hai, Kau pasti Park Dae-jia kan?” aku menoleh memandang seorang pria yang rupanya sejak tadi tak kusadari keberadaannya. Dia duduk di sebelah kanan meja. Karena terlalu kalut saat melihat pria di depanku yang kini menatapku penuh selidik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ternyata pria itu bukan sahabat Kak Yong-hwa, lalu siapa dia? Kenapa dia ada di sini?
“Dae-jia?!” Kak Yong-hwa mengguncang tubuhku saat melihatku hanya diam tak menjawab sapaan sahabatnya itu.
“Eh? Eh...iya, aku Dae-jia,” jawabku canggung. Rasanya tak nyaman sekali diperhatikan sebegitu intens-nya oleh pria itu.
Pria bernama Taec-yeon itu tersenyum, “Sepertinya kekasihmu cukup lelah Yong-hwa.”
Kak Yong-hwa mengangguk sembari mengamatiku, “Hmm...sepertinya begitu.”
“Kau tidak memperkenalkanku?” protes pria itu, yang sedari tadi hanya memperhatikan kami. Kulihat dia memandangku dengan perasaan benci. Sial! Kenapa mimpiku benar-benar menjadi kenyataan?
“Tentu saja, aku tak akan melupakanmu Kak!” Kak Yong-hwa menjawab, Kak? Mungkinkah....“Dae-jia, kenalkan dia Kakakku, Jung Ji-hoon.” Deg...tidak mungkin!! Ternyata lebih parah dari dugaanku, dia kakak Kak Yong-hwa? Bagaimana bisa?
“Senang berkenalan denganmu Nona Park!” ujarnya sembari mengulurkan tangan, dia memang tersenyum, tetapi aku bisa melihat kilat kebencian di matanya saat menatap langsung ke mataku. Aku tak menjawab dan hanya menjabat tangan kekar itu singkat. Tangan yang pernah membuatku tak bisa menolak kenikmatan yang diberikannya.
“Kak, aku ke toilet dulu!” pamitku pada Kak Yong-hwa lalu buru-buru kabur sebelum aku memuntahkan kegelisahanku di sana, di depan pria itu. Pasti dia mengira aku ini gadis brengsek, karena telah mengkhianati adiknya. Hah...apa yang harus kulakukan? Semoga pria itu tak mengatakan apa-apa pada Kak Yong-hwa tentang kejadian malam itu.
“Aaarrgghh!!!” aku menjerit frustasi seraya mengacak-ngacak rambutku. Aku benar-benar takut. Aku tak mau kehilangan kekasihku itu. Park Dae-jia! Rupanya Kali ini Kau sudah membuat kesalahan besar....
-Jung Ji-hoon (Bi Rain)-
Gadis itu, gadis yang sempat membuat hatiku bergetar dan mendamba. Karenanya aku kembali ke Seoul, hanya untuk mencari dimana keberadaannya. Aku sempat terkejut saat melihat kemunculannya di restoran ini. Perasaan senang itu pun seketika memudar, saat Yong-hwa mengenalkannya sebagai kekasihnya. Brengsek! Kupikir kejadian malam itu, sangat berkesan baginya, seperti yang kini kurasakan. Ternyata itu tak lebih dari sekedar permainan semalam saja. Aku tak boleh membiarkan Yong-hwa terus bersama gadis sialan ini. Entah sudah berapa lelaki yang ia perlakukan seperti itu.
“Tumben Kau pulang Kak?” tanya Yong-hwa mengembalikanku ke masa kini.
“Hmm...” aku hanya berdeham sebagai jawaban, karena tak mungkin kukatakan bahwa aku kembali ke Seoul untuk mencari kekasihmu, sial!. Aku memang jarang pulang, karena aku lebih suka berkelana ke berbagai tempat untuk mencari obyek foto yang menarik. “Kau tidak suka, aku kembali ke Seoul?” aku balik bertanya.
“Yang benar saja!” jawab Yong-hwa, “justru aku sangat ingin bertemu denganmu.”
Aku tau ucapan Yong-hwa tulus, dia memang adik yang baik, dan tentu saja anak yang baik pula bagi kedua orang tuaku. Tidak sepertiku...
“Sudah berapa lama Kau di Seoul? Kenapa Ayah dan Ibu tidak bercerita padaku kalau Kau pulang?”
Aku tersenyum tanpa rasa humor, “Mereka tak tau aku di sini,” jawabku singkat, dan beralih menatap Dae-jia yang baru saja kembali dari toilet. Bisa kurasakan ketegangan gadis itu saat menatapku, yang berusaha keras ditutupinya. Tentu saja dia tegang, karena takut aku akan membongkar rahasianya pada Yong-hwa. Cih!
“Jadi Kau tak pulang ke rumah?” tanya Yong-hwa sembari menatapku bingung. Aku mengangguk sebagai jawabannya. “Tapi kenapa? Apa Kau tak ingin bertemu dengan Ibu dan Ayah?”
“Sudahlah, tak perlu membahasnya,” sergahku, aku selalu tak suka jika pembicaraan sudah beralih ke topik ini. Sejak dulu, aku memang tak pernah akur dengan keluargaku. Terlebih Ayah, dapat kulihat rona kebencian di wajahnya saat melihatku. Kebencian itu dimulai sejak aku menolak untuk meneruskan memimpin Jjang-shin Group perusahaan keluarga milik Ayah dan lebih memilih fotografi sebagai duniaku. Sejak itu, hubunganku dengan Ayah semakin memburuk. Aku jarang pulang, dan lebih memilih tinggal di apartemen, sendirian.
“Ah...maaf, aku tak bermaksud—“
“Sepertinya aku harus pergi sekarang,” aku memotong perkataan Yong-hwa dan memilih untuk berdiri dari tempat dudukku. Sekilas aku melirik Dae-jia, dan kulihat rona lega kini menghiasi wajah gadis itu. Mungkin sekarang Kau bisa lega, tapi aku tak mungkin membiarkanmu bersama adikku, apalagi menyakitinya. Lihat saja nanti, aku akan membuatnya mengakui perbuatannya.
-Park Dae-jia, Kamar Dae-jia-
Kulempar tas tanganku ke matras, perlahan tubuhku merosot ke kursi malas di sebelah tempat tidur berukuran king size, seolah tubuhku sama sekali tak bertenaga. Aku masih terguncang dengan kenyataan bahwa pria ‘Busan’ itu adalah kakak kandung Kak Yong-hwa. Aku menghela nafas berat. Bagaimana bisa begini? Mataku memandang kosong ke luar ruangan, melalui jendela kamar berukuran besar di depanku. Kejadian itu kembali terlintas dalam benakku bagai rentetan film pendek dan terasa sangat nyata.
Suatu malam sebelum kepulanganku ke Seoul....
“Kau sendirian Nona?” seorang pria bertubuh tinggi tegap menyapaku yang kini berada di depan counter bar di hotel tempatku menginap. Aku mengamati pria tampan itu dengan seksama. Sepertinya aku mengenalnya. Dan...
“Kau?” aku membelalakkan mata saat melihat pria itu menyeringai ke arahku. “Bukankah Kau si fotografer sialan itu?” yeah aku mengenalinya sekarang, dia yang telah berani-berani mengambil potret diriku yang sedang berjalan-jalan di pantai seorang diri sore tadi. “Mana Fotoku!” tuntutku.
“Kau masih marah?” tanya Pria itu sembari mendekatkan wajahnya pada telingaku, karena suara bising musik membuat kami harus berbicara dalam jarak dekat. “Bukankah aku sudah minta maaf padamu.”
“Minta maaf saja tidak cukup!” balasku sengit.
“Hah...Kau ini, memangnya Kau meminta kompensasi berapa untuk ijin mengambil fotomu?”
Aku mencibir, “aku bukan model, jadi aku tak butuh uangmu.”
“Hah...Kau keras kepala sekali rupanya!” gumam pria itu.
Aku memandangnya. Pria itu tampan, dengan wajah lonjong dan bibir seksi menggoda. Ah...Dae-jia, kau memikirkan apa? tapi kini, bibirnya yang seksi itu cemberut karena masih kesal dengan kata-kataku tadi. Aku tak dapat menahan senyum melihatnya begitu. Sebenarnya aku sudah tak mempedulikan masalah foto-foto itu. dan mengatakan itu hanya untuk menggodanya.
“Kenapa Kau tersenyum?” tanya pria itu sembari menatapku bingung.
“Tidak apa-apa,” aku menggeleng.
“Apa itu artinya Kau memaafkanku?”
Aku tersenyum, “Yeah, sudahlah. Aku sudah tak mempermasalahkannya lagi,” jawabku akhirnya.
“Hmmm...jadi Kau memberiku ijin?”
“Apa kau tidak mengerti bahasa Manusia?” aku balik bertanya.
Ia menyeringai, menunjukkan lesung pipi nya yang menambah wajahnya semakin tampan. “Terima kasih,” ujarnya seraya mengulurkan tangan.
“Untuk apa?”
“Untuk kerja sama kita, bukankah bila bekerja sama, kita harus berjabat tangan tanda sepakat?” dia masih mengulurkan tangannya.
Aku akhirnya membalas uluran tangannya itu, dan kurasakan tangannya begitu kekar dan hangat. “Baiklah, asal Kau tidak menggunakan foto-fotoku untuk keperluan yang aneh-aneh,” aku mencoba memperingatkan.
Pria itu tertawa, “Mana mungkin foto seorang wanita yang sedang berjalan-jalan di pinggir pantai, dapat dijadikan objek foto yang aneh?” guraunya, “Ah...namaku Ji-hoon!” ia akhirnya memperkenalkan diri.
“Aku Dae-jia!” jawabku. Pria ini menarik, entah mengapa aku merasa sudah kenal lama terhadapnya.
“Siapa?” tanyanya sembari mendekatkan kepalanya ke bibirku. Refleks menjauh sedikit, merasakan semakin dekat jarak di antara kami, hingga dapat kurasakan aroma parfume pria dan bau sabun cukur yang sangat maskulin.
“Dae-jia!” jawabku dengan suara yang agak lebih keras dari sebelumnya, “Park Dae-jia!”
“Hmm...senang berkenalan denganmu Dae-jia!” Kak Ji-hoon tersenyum simpul. Membuatku ikut tersenyum, “ngomong-ngomong, Kau belum memjawab pertanyaanku tadi.”
“Pertanyaan?” aku mengerutkan kening tak mengerti.
“Ya, pertanyaanku yang pertama, apa kau sendirian?”
“Oh...kalau itu, aku tak perlu menjawabnya. Karena kurasa Kau bisa melihatnya sendiri,” jawabku agak muram.
“Kau kenapa? Sepertinya sedang ada masalah, apa Kau bertengkar dengan kekasihmu?” tanya Kak Ji-hoon.
Aku menggeleng, “Tidak, tidak ada apa-apa.”
“Ayolah, Kau tak perlu malu. Ceritakanlah padaku, mungkin aku memang tak pandai menasehati atau memberimu solusi. Tapi aku bisa meminjamkan telingaku untuk mendengarkan curhatanmu. Atau mungkin aku bisa menghiburmu, hingga tak berwajah muram seperti itu lagi. Bukankah sekarang kita berteman?”
Aku tau pria ini tulus, tapi tak mungkin aku menceritakan padanya tentang masalahku saat ini. Aku tak menjawab dan hanya memandang orang-orang yang sedang menari di lantai dansa.
“Hey!” kurasakan pundakku diguncang pelan oleh pria bernama Ji-hoon itu. aku menoleh untuk menatapnya. “Baiklah, aku tak akan menanyakan apa masalahmu, karena tampaknya Kau tak ingin bercerita padaku.”
Aku berpaling, dan kembali menatap kosong ke lantai dansa. “Aku kesepian,” gumamku, yang membuat diriku pun kaget karena memutuskan untuk mengungkapnya di hadapan pria yang sama sekali tak kukenal ini. Mendengar itu, ia tampak antusias memperhatikanku hingga membuatku semakin bersemangat untuk bercerita, walaupun tak secara gamblang. Kupikir tak ada salahnya menceritakan padanya. Toh, aku tak akan bertemu lagi dengannya. Apalagi, aku memang benar-benar sudah jenuh dengan rasa tertekan dan kesepian yang mulai menggerogoti perasaanku saat ini.
Cukup lama kami mengobrol hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Semakin lama mengobrol dengannya, membuatku semakin merasa nyaman. Ternyata benar katanya, bahwa bila banyak beban yang kita pikul sendiri pasti akan membuatnya semakin berat. Pria ini terlihat sangat dewasa, walau terkadang juga suka bercanda seperti anak kecil, hingga membuatku tak hentinya tersenyum bahkan tertawa lebar.
Aku melirik jam tanganku sejenak, “Hah...sudah jam 11 malam, sepertinya aku harus kembali ke kamar,” cetusku.
“Ya, Kau benar, sudah sangat malam rupanya. Semoga aku tak bangun kesiangan besok,” guraunya dengan ekspresi frustasi yang dibuat-buat.
“Ah...jangan pura-pura rajin Kak, biasanya juga bangun siang kan?” godaku. Membuatnya menyeringai.
“Tidak, aku sungguh-sungguh Dae-jia. Aku memang terbiasa bangun pagi-pagi sekali untuk berolah raga,” aku menangkap ekspresi serius di wajahnya.
“Yeah, aku percaya.” Kami pun beranjak dari sofa dan menuju ke pintu keluar. Namun, terjadi keributan di pintu keluar saat kami tiba di sana. Hingga membuat aku sedikit terdorong ke dinding. Dengan sigap, Kak Ji-hoon melindungi tubuhku dengan tubuhnya hingga tak terbentur dan terdorong-dorong oleh kerumunan orang yang berkumpul di sana.
Deg....deg....deg....deg....dapat kurasakan jantungku berdetak seratus kali lebih cepat, menyadari posisi kami yang begitu dekat, dan hanya berjarak udara beberapa centi saja hingga dapat kurasakan hembusan nafasnya yang beraroma mint karena permen karet yang dikunyahnya tadi, “Kau tidak apa-apa?” tanyanya sembari menatapku. Aku berhasil menggeleng, “Kita tunggu sampai security tiba.” Kali ini aku mengangguk setuju, sambil tetap menenangkan detak jantungku.
Aku mendesah lega, saat akhirnya kami berhasil keluar dari kerumunan itu dan menuju lift ke lantai atas. “Lantai berapa?” tanya Kak Ji-hoon.
Aku yang masih merasa canggung karena kedekatan kami tadi, agak lambat bereaksi, “eh? Lantai 12.” Kulihat ia memencet angka 12 lalu 16.
“Kau di lantai 16?” aku berhasil bersuara.
“Hmm..” gumamnya.
Selama beberapa menit terjadi keheningan canggung di antara kami. Rupanya, kejadian itu cukup membuat kami berdua syok dan merasa serba salah. Suasana santai yang sedari tadi menyelimuti kedekatan kami, menjadi sedikit meresahkan. Kurasakan kulitku menggelenyar saat melihatnya melirik ke arahku. Apa yang terjadi padamu Dae-jia?
Kemudian kami saling bertukar pandang. Melihat pandangan matanya, seolah menyiratkan keengganannya untuk berpisah denganku. Apakah itu hanya perasaanku saja? Tapi pertanyaanku terjawab saat tiba-tiba pintu lift terbuka menuju lantai 12, Kak Ji-hoon menutupnya kembali dan menarikku dalam dekapannya, hingga tubuhku menempel ke tubuhnya. Perlahan ia menunduk dan menangkup kedua pipiku dengan tangannya. Dapat kurasakan irama nafas yang menggebu keluar dari bibirnya.
Kurasakan, bibirnya menyentuh bibirku dengan lembut, hingga membuat inderaku terasa lumpuh seketika. Selama beberapa saat, aku hanya diam tak membalas ciumannya, dan hanya membiarkannya memaksa bibirku membuka dengan menggigit ringan bibir bawahku. Saat lidahnya mulai menjelajahi rongga mulutku, kurasakan diriku mulai membalas ciumannya dengan mengikuti irama lidah kami yang saling membelai dan membelit. Tanganku pun telah kukalungkan ke leher dan pundaknya yang bidang. Tubuhnya yang tinggi dan tegap, seolah mengintimidasi diriku untuk tetap bertumpu padanya. kurasakan lututku melemas. Aku bersyukur tangannya yang kuat, menjagaku untuk tidak jatuh. Kami terhanyut dalam buaian ciuman selama beberapa saat, sampai akhirnya pintu lift terbuka di lantai 16.
Spontan, kami pun saling menjauhkan diri. Sejenak, kami berusaha menenangkan denyut jantung yang meningkat dan sedikit terengah. Aku meliriknya, tapi ia tak juga keluar dari lift dan justru memandangku lekat-lekat, seolah tak ingin berpisah. “Kau tak ingin melihat hasil foto-fotomu?”
Mendengar itu, aku mengerutkan dahi sejenak, “Boleh!” aku mengutuk diriku sendiri karena tak seharusnya aku menerima ajakannya itu. Tapi entah mengapa seakan setiap sel dari tubuhku mengatakan bahwa keputusanku itu benar.
Setibanya di kamarnya, dia mempersilakanku duduk dan memperlihatkan hasil foto-foto yang diambilnya secara sembunyin-sembunyi itu. Hasilnya bagus, terlihat sangat alami dan aku terlihat cantik di sana dengan rambut tergerai dan tertiup angin pantai.
“Bagaimana Kau suka?” tanyanya.
Aku tak sanggup menatap wajahnya, karena kurasakan pipiku memanas saat mengingat ciuman di lift tadi. Sambil tetap menatap foto-foto itu, aku bergumam, “Yeah, bagus. Kau memang berbakat.”
“Terima kasih,” ujarnya sopan, sembari menyerahkan gelas berisi wine ke arahku. “Aku harap, nanti Kau juga bisa menunjukkan novel-novelmu padaku.”
Aku memberanikan diri menatapnya, “Novelku belum cukup bagus untuk diperlihatkan pada orang lain.” Kurasakan diriku kembali rileks, dan detak cepat jantungku kini mulai mengendur dan kembali ke kecepatan konstan.
“Kau tak boleh berkata begitu, mana bisa seorang penulis mengatakan bahwa karyanya tak bagus. Kalau penulisnya saja mengatakan itu tak bagus, bagaimana para pembaca dapat menghargainya?”
Aku tersenyum, “Yeah, mungkin aku hanya frustasi karena kegagalan beberapa percobaanku terdahulu.”
“Pasti itu karena si penilai tak tau novel yang bagus itu bagaimana,” candanya, membuatku kembali tersenyum. “Oh, iya. Maafkan aku atas kejadian di—“
“Tidak apa-apa,” sergahku sembari berdiri, aku tak ingin mengungkit hal itu lagi. Karena kurasakan, jantungku kembali berdegup kencang saat mengingatnya. “Aku sebaiknya pulang dulu.” aku pun berbalik menuju pintu, namun kurasakan tangannya menarik lenganku. Dan entah bagaimana, kami pun berciuman kembali, kali ini lebih menuntut dan dalam...
Tok...tok..tok...!! aku terkesiap, saat mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku dan mengembalikanku ke masa kini.
“Aku tak ingin makan!” sahutku karena kupikir pelayan yang akan mengantar makanan.
“Ini aku Hea-in,” terdengar suara Kak Hea-in dari balik pintu. Dan kudengar suara pintu dibuka. “Aku boleh masuk?”
Aku menoleh ke arah Kak Hea-in, “Yeah, Kau kan sudah masuk,” candaku sembari memperbaiki posisi dudukku di kursi malas.
“Ba....Astaga!! wajahmu kenapa Dae-jia?” tanya Kak Hea-in khawatir saat melihat wajahku yang muram. “Apa Kau bertengkar dengan Yong-hwa?”
Bagaimana ini? “Eh, tidak Kak. Tumben Kau pulang cepat?” aku berkilah untuk mengalihkan arah pembicaraan kami.
Kak Hea-in menghela nafas pendek, “aku sudah lama mengenalmu Dae-jia. Tapi kalau Kau memang tak ingin bercerita, aku tak akan memaksa.”
Kupaksakan diri untuk tersenyum, “Sungguh, aku tak apa-apa. justru aku sedang senang, karena baru saja menghabiskan waktu dengan Kak Yong-hwa,” dustaku.
Kak Hea-in hanya menatapku, prihatin.”Hmm...begitu.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku, kenapa Kau pulang lebih cepat?” aku mencoba memecahkan keheningan tak nyaman di antara kami.
“Tadi boss-ku ada urusan di luar, jadi kami diperbolehkan pulang lebih awal. Apalagi ini hari Sabtu,” terang Kak Hea-in.
“Oh...” aku manggut-manggut, “Apa Kau besok libur?”
“Yeah, besok Minggu, aku libur.”
“Benarkah?” Kak Hea-in mengangguk, “Jadi besok aku bisa menepati janjiku mengajakmu berkeliling Seoul,” seruku gembira, sembari berharap dapat menghilangkan pikiran kacauku dengan menghabiskan waktu bersama kakak sepupuku itu.
“Yeah, asal Kau tidak ada janji kencan dengan Yong-hwa?” godanya.
Aku tersenyum, “Kebetulan tidak, kalau pun iya, kita kan bisa tetap pergi bertiga,” aku menyeringai melihat perubahan ekspresi Kak Hea-in.
“Apa Kau bermaksud memamerkan kemesraanmu dengan Yong-hwa di hadapanku?” gerutu Kak Hea-in pura-pura kesal sembari memukul bahuku pelan.
“Au! Sakit!” dustaku lalu memperlihatkan tawa jahil padanya. Sejenak aku lupa akan masalah besar yang menantiku, terima kasih Kak Hea-in...
-Yoeido Park, Seoul-
Saat mobilku melewati area sekitar gedung DPR di jalan Yungjungro, perhatianku tersedot pada kerumunan orang di Yoeido Park, dan aku baru ingat bahwa hari ini tanggal 10 April adalah hari dimana festival Musim Semi Yeoido baru saja dibuka. Aku melayangkan senyum senang ke arah Kak Hea-in di sebelahku yang kini juga memandang takjub ke arah Yoeido Park. “Kita beruntung!” kataku riang.
Setelah memarkirkan mobilku di parkiran yang kini sudah penuh dengan mobil-mobil lain dari berbagai penjuru daerah. Aku dan kak Hea-in berjalan menyusuri Taman Yoeido yang kini benar-benar bagai di negeri dongeng dengan bunga-bunga cherry yang mekar di sepanjang jalan. Selain itu, ada pula beberapa festival yang disajikan Via Festifal, mulai dari parade sepeda bunga dengan berbagai hiasan yang indah, membuat semua orang berdecak kagum melihatnya, hingga mobil bunga, festival musik, sulap, tari bunga dan pantomim.
Kami berkeliling memperhatikan setiap keindahan yang dipertunjukkan di sekitar kami. “Lihat! Anak itu memakai celana bunga Bu!” seru seorang bocah pada ibunya yang berdiri tak jauh dari kami. Aku tersenyum memandangnya, merasakan kasih sayang seorang Ibu adalah hal yang asing bagiku.
“Dae-jia! Ayo kita lihat pertunjukan tari bunga, sepertinya akan segera dimulai!” ajak Kak Hea-in sembari menarik lenganku.
Setelah mengantri cukup panjang, akhirnya aku dan Kak Hea-in berhasil masuk dalam sebuah Aula besar yang akan segera digunakan untuk mempertunjukkan tari bunga yang berjudul ‘Bunga Mekar di Atas Langit’. Sejenak, kami larut dalam tarian indah yang ditampilkan oleh para penari di atas pentas. Saat tiba-tiba kurasakan ponselku bergetar, Kak Yong-hwa? Mendadak tanganku dingin. Jangan-jangan...
“Hallo,” sapaku lirih.
“Kau dimana?”
“Aku, sedang pergi bersama Kak Hea-in.”
“Hea-in?” tanya Kak Yong-hwa, “Oh, sepupumu itu?”
“Yup,” sahutku singkat.
“Kupikir Kau di rumah, ya sudah kalau begitu. Nanti saja ku telepon lagi,” klik Kak Yong-hwa menuntup teleponnya. Hah...
“Apakah Yong-hwa mencarimu?” Kak Hea-in bertanya padaku.
Aku meliriknya, “Hmm...tapi tenanglah, aku sudah mengatakan padanya kalau sekarang aku sedang bersamamu.”
Selama sisa pertunjukan, aku sama sekali tak menikmatinya. Setelah telepon dari kak Yong-hwa itu, hatiku kembali kacau. Takut kalau-kalau pria itu, sudah mengatakan semuanya tentang kejadian di Busan.
“...Jia, Dae-jia!” panggil Kak Hea-in, membuatku sadar kalau pertunjukan telah usai. “Kau baik-baik saja? Apa kita perlu pulang sekarang?”
Aku menggeleng, “Tidak apa-apa Kak!” sahutku berusaha untuk terdengar riang, “sayang kalau kita pulang sekarang, sebaiknya tunggu sampai malam tiba, saat festival kembang api dimulai.”
Kak Hea-in mengangguk setuju dan tersenyum lebar. “Sudah lama aku tak pergi liburan,” gumam Kak Hea-in.
Kami pun melanjutkan jalan-jalan kami, di taman Yoeido, sembari menikmati beragam festival yang disajikan. “Kak, aku lapar!” keluhku seraya memegang perutku dengan gaya sangat lemah. Sesaat setelah kami menonton pertunjukan pantomim yang cukup menghibur.
Kak Hea-in mencubit bahuku gemas, “Kau ini, berlebihan!” guraunya. Aku pun tertawa terbahak-bahak. “Kau mau makan apa?”
“Tteokbokki saja!” usulku sembari menunjuk kedai Tteokbokki yang cukup ramai dikunjungi pengunjung.
Kak Hea-in mengangguk setuju. “Ayo! Biar aku yang traktir sebagai ungkapan terima kasihku karena Kau telah mengajakku jalan-jalan.”
-Kedai Tteokbokki, Yeoido Park-
“Sepertinya hari ini kita tak bisa berkeliling Seoul,” Kak Hea-in berkata sembari mengunyah Tteokbokki di mulutnya.
Aku mengangguk, “Yeah, sepertinya begitu. Maaf,” sesalku.
“Hya...tidak apa-apa Dae-jia, ini sudah lebih dari cukup,” kata Kak Hea-in riang.
Aku tersenyum menatapnya, “Aku akan mencari waktu lagi, nanti pasti mengajakmu berkeliling,” janjiku, setelah menelan Tteokbokki-ku, enak.
Setelah membayar makanan dan minuman kami, aku dan kak Hea-in memutuskan untuk melanjutkan jalan-jalan kami. Tiba-tiba...
BUUKK!!.....aku membentur sesuatu yang hangat dan keras.
“Kita perlu bicara!” suara yang sangat familiar dan sangat ingin kuhindari, mengalun di telingaku bagai nyanyian setan yang meresahkan, aku menengadah untuk menatap seorang pria bertubuh tinggi tegap di hadapanku itu.
“Kk...kau?” seruku dengan suara yang sama sekali tak kukenali.
~To Be Continued.......
By. Lee
NB: Jung Ji-hoon : Nama Asli Bi Rain
-Park Dae-jia, Seoul Restaurant-
“Itu dia temanku!” Kak Yong-hwa menunjuk seorang pria yang duduk di salah satu meja restoran.
Seketika itu juga tubuhku mematung, kakiku bagai dipaku di tempatnya. Kepalaku seolah dihantam palu besar yang tak terlihat. Jantungku seakan berdentam kuat, seolah-olah semua orang akan mendengarnya. Kenapa harus dia? Apakah itu hanya halusinasiku saja? Apakah itu hanya sekedar bayanganku saja? Kalau memang benar, mengapa aku harus berhalusinasi seperti ini? Dae-jia...sepertinya hidupmu akan berakhir saat ini juga!
“Kenalkan ini Ok Taec-yeon, sahabatku!” ujar Kak Yong-hwa memperkenalkan, saat kami sudah mencapai meja mereka. Ok Taec-yeon? Kurasa...
“Hai, Kau pasti Park Dae-jia kan?” aku menoleh memandang seorang pria yang rupanya sejak tadi tak kusadari keberadaannya. Dia duduk di sebelah kanan meja. Karena terlalu kalut saat melihat pria di depanku yang kini menatapku penuh selidik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ternyata pria itu bukan sahabat Kak Yong-hwa, lalu siapa dia? Kenapa dia ada di sini?
“Dae-jia?!” Kak Yong-hwa mengguncang tubuhku saat melihatku hanya diam tak menjawab sapaan sahabatnya itu.
“Eh? Eh...iya, aku Dae-jia,” jawabku canggung. Rasanya tak nyaman sekali diperhatikan sebegitu intens-nya oleh pria itu.
Pria bernama Taec-yeon itu tersenyum, “Sepertinya kekasihmu cukup lelah Yong-hwa.”
Kak Yong-hwa mengangguk sembari mengamatiku, “Hmm...sepertinya begitu.”
“Kau tidak memperkenalkanku?” protes pria itu, yang sedari tadi hanya memperhatikan kami. Kulihat dia memandangku dengan perasaan benci. Sial! Kenapa mimpiku benar-benar menjadi kenyataan?
“Tentu saja, aku tak akan melupakanmu Kak!” Kak Yong-hwa menjawab, Kak? Mungkinkah....“Dae-jia, kenalkan dia Kakakku, Jung Ji-hoon.” Deg...tidak mungkin!! Ternyata lebih parah dari dugaanku, dia kakak Kak Yong-hwa? Bagaimana bisa?
“Senang berkenalan denganmu Nona Park!” ujarnya sembari mengulurkan tangan, dia memang tersenyum, tetapi aku bisa melihat kilat kebencian di matanya saat menatap langsung ke mataku. Aku tak menjawab dan hanya menjabat tangan kekar itu singkat. Tangan yang pernah membuatku tak bisa menolak kenikmatan yang diberikannya.
“Kak, aku ke toilet dulu!” pamitku pada Kak Yong-hwa lalu buru-buru kabur sebelum aku memuntahkan kegelisahanku di sana, di depan pria itu. Pasti dia mengira aku ini gadis brengsek, karena telah mengkhianati adiknya. Hah...apa yang harus kulakukan? Semoga pria itu tak mengatakan apa-apa pada Kak Yong-hwa tentang kejadian malam itu.
“Aaarrgghh!!!” aku menjerit frustasi seraya mengacak-ngacak rambutku. Aku benar-benar takut. Aku tak mau kehilangan kekasihku itu. Park Dae-jia! Rupanya Kali ini Kau sudah membuat kesalahan besar....
-Jung Ji-hoon (Bi Rain)-
Gadis itu, gadis yang sempat membuat hatiku bergetar dan mendamba. Karenanya aku kembali ke Seoul, hanya untuk mencari dimana keberadaannya. Aku sempat terkejut saat melihat kemunculannya di restoran ini. Perasaan senang itu pun seketika memudar, saat Yong-hwa mengenalkannya sebagai kekasihnya. Brengsek! Kupikir kejadian malam itu, sangat berkesan baginya, seperti yang kini kurasakan. Ternyata itu tak lebih dari sekedar permainan semalam saja. Aku tak boleh membiarkan Yong-hwa terus bersama gadis sialan ini. Entah sudah berapa lelaki yang ia perlakukan seperti itu.
“Tumben Kau pulang Kak?” tanya Yong-hwa mengembalikanku ke masa kini.
“Hmm...” aku hanya berdeham sebagai jawaban, karena tak mungkin kukatakan bahwa aku kembali ke Seoul untuk mencari kekasihmu, sial!. Aku memang jarang pulang, karena aku lebih suka berkelana ke berbagai tempat untuk mencari obyek foto yang menarik. “Kau tidak suka, aku kembali ke Seoul?” aku balik bertanya.
“Yang benar saja!” jawab Yong-hwa, “justru aku sangat ingin bertemu denganmu.”
Aku tau ucapan Yong-hwa tulus, dia memang adik yang baik, dan tentu saja anak yang baik pula bagi kedua orang tuaku. Tidak sepertiku...
“Sudah berapa lama Kau di Seoul? Kenapa Ayah dan Ibu tidak bercerita padaku kalau Kau pulang?”
Aku tersenyum tanpa rasa humor, “Mereka tak tau aku di sini,” jawabku singkat, dan beralih menatap Dae-jia yang baru saja kembali dari toilet. Bisa kurasakan ketegangan gadis itu saat menatapku, yang berusaha keras ditutupinya. Tentu saja dia tegang, karena takut aku akan membongkar rahasianya pada Yong-hwa. Cih!
“Jadi Kau tak pulang ke rumah?” tanya Yong-hwa sembari menatapku bingung. Aku mengangguk sebagai jawabannya. “Tapi kenapa? Apa Kau tak ingin bertemu dengan Ibu dan Ayah?”
“Sudahlah, tak perlu membahasnya,” sergahku, aku selalu tak suka jika pembicaraan sudah beralih ke topik ini. Sejak dulu, aku memang tak pernah akur dengan keluargaku. Terlebih Ayah, dapat kulihat rona kebencian di wajahnya saat melihatku. Kebencian itu dimulai sejak aku menolak untuk meneruskan memimpin Jjang-shin Group perusahaan keluarga milik Ayah dan lebih memilih fotografi sebagai duniaku. Sejak itu, hubunganku dengan Ayah semakin memburuk. Aku jarang pulang, dan lebih memilih tinggal di apartemen, sendirian.
“Ah...maaf, aku tak bermaksud—“
“Sepertinya aku harus pergi sekarang,” aku memotong perkataan Yong-hwa dan memilih untuk berdiri dari tempat dudukku. Sekilas aku melirik Dae-jia, dan kulihat rona lega kini menghiasi wajah gadis itu. Mungkin sekarang Kau bisa lega, tapi aku tak mungkin membiarkanmu bersama adikku, apalagi menyakitinya. Lihat saja nanti, aku akan membuatnya mengakui perbuatannya.
-Park Dae-jia, Kamar Dae-jia-
Kulempar tas tanganku ke matras, perlahan tubuhku merosot ke kursi malas di sebelah tempat tidur berukuran king size, seolah tubuhku sama sekali tak bertenaga. Aku masih terguncang dengan kenyataan bahwa pria ‘Busan’ itu adalah kakak kandung Kak Yong-hwa. Aku menghela nafas berat. Bagaimana bisa begini? Mataku memandang kosong ke luar ruangan, melalui jendela kamar berukuran besar di depanku. Kejadian itu kembali terlintas dalam benakku bagai rentetan film pendek dan terasa sangat nyata.
Suatu malam sebelum kepulanganku ke Seoul....
“Kau sendirian Nona?” seorang pria bertubuh tinggi tegap menyapaku yang kini berada di depan counter bar di hotel tempatku menginap. Aku mengamati pria tampan itu dengan seksama. Sepertinya aku mengenalnya. Dan...
“Kau?” aku membelalakkan mata saat melihat pria itu menyeringai ke arahku. “Bukankah Kau si fotografer sialan itu?” yeah aku mengenalinya sekarang, dia yang telah berani-berani mengambil potret diriku yang sedang berjalan-jalan di pantai seorang diri sore tadi. “Mana Fotoku!” tuntutku.
“Kau masih marah?” tanya Pria itu sembari mendekatkan wajahnya pada telingaku, karena suara bising musik membuat kami harus berbicara dalam jarak dekat. “Bukankah aku sudah minta maaf padamu.”
“Minta maaf saja tidak cukup!” balasku sengit.
“Hah...Kau ini, memangnya Kau meminta kompensasi berapa untuk ijin mengambil fotomu?”
Aku mencibir, “aku bukan model, jadi aku tak butuh uangmu.”
“Hah...Kau keras kepala sekali rupanya!” gumam pria itu.
Aku memandangnya. Pria itu tampan, dengan wajah lonjong dan bibir seksi menggoda. Ah...Dae-jia, kau memikirkan apa? tapi kini, bibirnya yang seksi itu cemberut karena masih kesal dengan kata-kataku tadi. Aku tak dapat menahan senyum melihatnya begitu. Sebenarnya aku sudah tak mempedulikan masalah foto-foto itu. dan mengatakan itu hanya untuk menggodanya.
“Kenapa Kau tersenyum?” tanya pria itu sembari menatapku bingung.
“Tidak apa-apa,” aku menggeleng.
“Apa itu artinya Kau memaafkanku?”
Aku tersenyum, “Yeah, sudahlah. Aku sudah tak mempermasalahkannya lagi,” jawabku akhirnya.
“Hmmm...jadi Kau memberiku ijin?”
“Apa kau tidak mengerti bahasa Manusia?” aku balik bertanya.
Ia menyeringai, menunjukkan lesung pipi nya yang menambah wajahnya semakin tampan. “Terima kasih,” ujarnya seraya mengulurkan tangan.
“Untuk apa?”
“Untuk kerja sama kita, bukankah bila bekerja sama, kita harus berjabat tangan tanda sepakat?” dia masih mengulurkan tangannya.
Aku akhirnya membalas uluran tangannya itu, dan kurasakan tangannya begitu kekar dan hangat. “Baiklah, asal Kau tidak menggunakan foto-fotoku untuk keperluan yang aneh-aneh,” aku mencoba memperingatkan.
Pria itu tertawa, “Mana mungkin foto seorang wanita yang sedang berjalan-jalan di pinggir pantai, dapat dijadikan objek foto yang aneh?” guraunya, “Ah...namaku Ji-hoon!” ia akhirnya memperkenalkan diri.
“Aku Dae-jia!” jawabku. Pria ini menarik, entah mengapa aku merasa sudah kenal lama terhadapnya.
“Siapa?” tanyanya sembari mendekatkan kepalanya ke bibirku. Refleks menjauh sedikit, merasakan semakin dekat jarak di antara kami, hingga dapat kurasakan aroma parfume pria dan bau sabun cukur yang sangat maskulin.
“Dae-jia!” jawabku dengan suara yang agak lebih keras dari sebelumnya, “Park Dae-jia!”
“Hmm...senang berkenalan denganmu Dae-jia!” Kak Ji-hoon tersenyum simpul. Membuatku ikut tersenyum, “ngomong-ngomong, Kau belum memjawab pertanyaanku tadi.”
“Pertanyaan?” aku mengerutkan kening tak mengerti.
“Ya, pertanyaanku yang pertama, apa kau sendirian?”
“Oh...kalau itu, aku tak perlu menjawabnya. Karena kurasa Kau bisa melihatnya sendiri,” jawabku agak muram.
“Kau kenapa? Sepertinya sedang ada masalah, apa Kau bertengkar dengan kekasihmu?” tanya Kak Ji-hoon.
Aku menggeleng, “Tidak, tidak ada apa-apa.”
“Ayolah, Kau tak perlu malu. Ceritakanlah padaku, mungkin aku memang tak pandai menasehati atau memberimu solusi. Tapi aku bisa meminjamkan telingaku untuk mendengarkan curhatanmu. Atau mungkin aku bisa menghiburmu, hingga tak berwajah muram seperti itu lagi. Bukankah sekarang kita berteman?”
Aku tau pria ini tulus, tapi tak mungkin aku menceritakan padanya tentang masalahku saat ini. Aku tak menjawab dan hanya memandang orang-orang yang sedang menari di lantai dansa.
“Hey!” kurasakan pundakku diguncang pelan oleh pria bernama Ji-hoon itu. aku menoleh untuk menatapnya. “Baiklah, aku tak akan menanyakan apa masalahmu, karena tampaknya Kau tak ingin bercerita padaku.”
Aku berpaling, dan kembali menatap kosong ke lantai dansa. “Aku kesepian,” gumamku, yang membuat diriku pun kaget karena memutuskan untuk mengungkapnya di hadapan pria yang sama sekali tak kukenal ini. Mendengar itu, ia tampak antusias memperhatikanku hingga membuatku semakin bersemangat untuk bercerita, walaupun tak secara gamblang. Kupikir tak ada salahnya menceritakan padanya. Toh, aku tak akan bertemu lagi dengannya. Apalagi, aku memang benar-benar sudah jenuh dengan rasa tertekan dan kesepian yang mulai menggerogoti perasaanku saat ini.
Cukup lama kami mengobrol hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Semakin lama mengobrol dengannya, membuatku semakin merasa nyaman. Ternyata benar katanya, bahwa bila banyak beban yang kita pikul sendiri pasti akan membuatnya semakin berat. Pria ini terlihat sangat dewasa, walau terkadang juga suka bercanda seperti anak kecil, hingga membuatku tak hentinya tersenyum bahkan tertawa lebar.
Aku melirik jam tanganku sejenak, “Hah...sudah jam 11 malam, sepertinya aku harus kembali ke kamar,” cetusku.
“Ya, Kau benar, sudah sangat malam rupanya. Semoga aku tak bangun kesiangan besok,” guraunya dengan ekspresi frustasi yang dibuat-buat.
“Ah...jangan pura-pura rajin Kak, biasanya juga bangun siang kan?” godaku. Membuatnya menyeringai.
“Tidak, aku sungguh-sungguh Dae-jia. Aku memang terbiasa bangun pagi-pagi sekali untuk berolah raga,” aku menangkap ekspresi serius di wajahnya.
“Yeah, aku percaya.” Kami pun beranjak dari sofa dan menuju ke pintu keluar. Namun, terjadi keributan di pintu keluar saat kami tiba di sana. Hingga membuat aku sedikit terdorong ke dinding. Dengan sigap, Kak Ji-hoon melindungi tubuhku dengan tubuhnya hingga tak terbentur dan terdorong-dorong oleh kerumunan orang yang berkumpul di sana.
Deg....deg....deg....deg....dapat kurasakan jantungku berdetak seratus kali lebih cepat, menyadari posisi kami yang begitu dekat, dan hanya berjarak udara beberapa centi saja hingga dapat kurasakan hembusan nafasnya yang beraroma mint karena permen karet yang dikunyahnya tadi, “Kau tidak apa-apa?” tanyanya sembari menatapku. Aku berhasil menggeleng, “Kita tunggu sampai security tiba.” Kali ini aku mengangguk setuju, sambil tetap menenangkan detak jantungku.
Aku mendesah lega, saat akhirnya kami berhasil keluar dari kerumunan itu dan menuju lift ke lantai atas. “Lantai berapa?” tanya Kak Ji-hoon.
Aku yang masih merasa canggung karena kedekatan kami tadi, agak lambat bereaksi, “eh? Lantai 12.” Kulihat ia memencet angka 12 lalu 16.
“Kau di lantai 16?” aku berhasil bersuara.
“Hmm..” gumamnya.
Selama beberapa menit terjadi keheningan canggung di antara kami. Rupanya, kejadian itu cukup membuat kami berdua syok dan merasa serba salah. Suasana santai yang sedari tadi menyelimuti kedekatan kami, menjadi sedikit meresahkan. Kurasakan kulitku menggelenyar saat melihatnya melirik ke arahku. Apa yang terjadi padamu Dae-jia?
Kemudian kami saling bertukar pandang. Melihat pandangan matanya, seolah menyiratkan keengganannya untuk berpisah denganku. Apakah itu hanya perasaanku saja? Tapi pertanyaanku terjawab saat tiba-tiba pintu lift terbuka menuju lantai 12, Kak Ji-hoon menutupnya kembali dan menarikku dalam dekapannya, hingga tubuhku menempel ke tubuhnya. Perlahan ia menunduk dan menangkup kedua pipiku dengan tangannya. Dapat kurasakan irama nafas yang menggebu keluar dari bibirnya.
Kurasakan, bibirnya menyentuh bibirku dengan lembut, hingga membuat inderaku terasa lumpuh seketika. Selama beberapa saat, aku hanya diam tak membalas ciumannya, dan hanya membiarkannya memaksa bibirku membuka dengan menggigit ringan bibir bawahku. Saat lidahnya mulai menjelajahi rongga mulutku, kurasakan diriku mulai membalas ciumannya dengan mengikuti irama lidah kami yang saling membelai dan membelit. Tanganku pun telah kukalungkan ke leher dan pundaknya yang bidang. Tubuhnya yang tinggi dan tegap, seolah mengintimidasi diriku untuk tetap bertumpu padanya. kurasakan lututku melemas. Aku bersyukur tangannya yang kuat, menjagaku untuk tidak jatuh. Kami terhanyut dalam buaian ciuman selama beberapa saat, sampai akhirnya pintu lift terbuka di lantai 16.
Spontan, kami pun saling menjauhkan diri. Sejenak, kami berusaha menenangkan denyut jantung yang meningkat dan sedikit terengah. Aku meliriknya, tapi ia tak juga keluar dari lift dan justru memandangku lekat-lekat, seolah tak ingin berpisah. “Kau tak ingin melihat hasil foto-fotomu?”
Mendengar itu, aku mengerutkan dahi sejenak, “Boleh!” aku mengutuk diriku sendiri karena tak seharusnya aku menerima ajakannya itu. Tapi entah mengapa seakan setiap sel dari tubuhku mengatakan bahwa keputusanku itu benar.
Setibanya di kamarnya, dia mempersilakanku duduk dan memperlihatkan hasil foto-foto yang diambilnya secara sembunyin-sembunyi itu. Hasilnya bagus, terlihat sangat alami dan aku terlihat cantik di sana dengan rambut tergerai dan tertiup angin pantai.
“Bagaimana Kau suka?” tanyanya.
Aku tak sanggup menatap wajahnya, karena kurasakan pipiku memanas saat mengingat ciuman di lift tadi. Sambil tetap menatap foto-foto itu, aku bergumam, “Yeah, bagus. Kau memang berbakat.”
“Terima kasih,” ujarnya sopan, sembari menyerahkan gelas berisi wine ke arahku. “Aku harap, nanti Kau juga bisa menunjukkan novel-novelmu padaku.”
Aku memberanikan diri menatapnya, “Novelku belum cukup bagus untuk diperlihatkan pada orang lain.” Kurasakan diriku kembali rileks, dan detak cepat jantungku kini mulai mengendur dan kembali ke kecepatan konstan.
“Kau tak boleh berkata begitu, mana bisa seorang penulis mengatakan bahwa karyanya tak bagus. Kalau penulisnya saja mengatakan itu tak bagus, bagaimana para pembaca dapat menghargainya?”
Aku tersenyum, “Yeah, mungkin aku hanya frustasi karena kegagalan beberapa percobaanku terdahulu.”
“Pasti itu karena si penilai tak tau novel yang bagus itu bagaimana,” candanya, membuatku kembali tersenyum. “Oh, iya. Maafkan aku atas kejadian di—“
“Tidak apa-apa,” sergahku sembari berdiri, aku tak ingin mengungkit hal itu lagi. Karena kurasakan, jantungku kembali berdegup kencang saat mengingatnya. “Aku sebaiknya pulang dulu.” aku pun berbalik menuju pintu, namun kurasakan tangannya menarik lenganku. Dan entah bagaimana, kami pun berciuman kembali, kali ini lebih menuntut dan dalam...
Tok...tok..tok...!! aku terkesiap, saat mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku dan mengembalikanku ke masa kini.
“Aku tak ingin makan!” sahutku karena kupikir pelayan yang akan mengantar makanan.
“Ini aku Hea-in,” terdengar suara Kak Hea-in dari balik pintu. Dan kudengar suara pintu dibuka. “Aku boleh masuk?”
Aku menoleh ke arah Kak Hea-in, “Yeah, Kau kan sudah masuk,” candaku sembari memperbaiki posisi dudukku di kursi malas.
“Ba....Astaga!! wajahmu kenapa Dae-jia?” tanya Kak Hea-in khawatir saat melihat wajahku yang muram. “Apa Kau bertengkar dengan Yong-hwa?”
Bagaimana ini? “Eh, tidak Kak. Tumben Kau pulang cepat?” aku berkilah untuk mengalihkan arah pembicaraan kami.
Kak Hea-in menghela nafas pendek, “aku sudah lama mengenalmu Dae-jia. Tapi kalau Kau memang tak ingin bercerita, aku tak akan memaksa.”
Kupaksakan diri untuk tersenyum, “Sungguh, aku tak apa-apa. justru aku sedang senang, karena baru saja menghabiskan waktu dengan Kak Yong-hwa,” dustaku.
Kak Hea-in hanya menatapku, prihatin.”Hmm...begitu.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku, kenapa Kau pulang lebih cepat?” aku mencoba memecahkan keheningan tak nyaman di antara kami.
“Tadi boss-ku ada urusan di luar, jadi kami diperbolehkan pulang lebih awal. Apalagi ini hari Sabtu,” terang Kak Hea-in.
“Oh...” aku manggut-manggut, “Apa Kau besok libur?”
“Yeah, besok Minggu, aku libur.”
“Benarkah?” Kak Hea-in mengangguk, “Jadi besok aku bisa menepati janjiku mengajakmu berkeliling Seoul,” seruku gembira, sembari berharap dapat menghilangkan pikiran kacauku dengan menghabiskan waktu bersama kakak sepupuku itu.
“Yeah, asal Kau tidak ada janji kencan dengan Yong-hwa?” godanya.
Aku tersenyum, “Kebetulan tidak, kalau pun iya, kita kan bisa tetap pergi bertiga,” aku menyeringai melihat perubahan ekspresi Kak Hea-in.
“Apa Kau bermaksud memamerkan kemesraanmu dengan Yong-hwa di hadapanku?” gerutu Kak Hea-in pura-pura kesal sembari memukul bahuku pelan.
“Au! Sakit!” dustaku lalu memperlihatkan tawa jahil padanya. Sejenak aku lupa akan masalah besar yang menantiku, terima kasih Kak Hea-in...
-Yoeido Park, Seoul-
Saat mobilku melewati area sekitar gedung DPR di jalan Yungjungro, perhatianku tersedot pada kerumunan orang di Yoeido Park, dan aku baru ingat bahwa hari ini tanggal 10 April adalah hari dimana festival Musim Semi Yeoido baru saja dibuka. Aku melayangkan senyum senang ke arah Kak Hea-in di sebelahku yang kini juga memandang takjub ke arah Yoeido Park. “Kita beruntung!” kataku riang.
Setelah memarkirkan mobilku di parkiran yang kini sudah penuh dengan mobil-mobil lain dari berbagai penjuru daerah. Aku dan kak Hea-in berjalan menyusuri Taman Yoeido yang kini benar-benar bagai di negeri dongeng dengan bunga-bunga cherry yang mekar di sepanjang jalan. Selain itu, ada pula beberapa festival yang disajikan Via Festifal, mulai dari parade sepeda bunga dengan berbagai hiasan yang indah, membuat semua orang berdecak kagum melihatnya, hingga mobil bunga, festival musik, sulap, tari bunga dan pantomim.
Kami berkeliling memperhatikan setiap keindahan yang dipertunjukkan di sekitar kami. “Lihat! Anak itu memakai celana bunga Bu!” seru seorang bocah pada ibunya yang berdiri tak jauh dari kami. Aku tersenyum memandangnya, merasakan kasih sayang seorang Ibu adalah hal yang asing bagiku.
“Dae-jia! Ayo kita lihat pertunjukan tari bunga, sepertinya akan segera dimulai!” ajak Kak Hea-in sembari menarik lenganku.
Setelah mengantri cukup panjang, akhirnya aku dan Kak Hea-in berhasil masuk dalam sebuah Aula besar yang akan segera digunakan untuk mempertunjukkan tari bunga yang berjudul ‘Bunga Mekar di Atas Langit’. Sejenak, kami larut dalam tarian indah yang ditampilkan oleh para penari di atas pentas. Saat tiba-tiba kurasakan ponselku bergetar, Kak Yong-hwa? Mendadak tanganku dingin. Jangan-jangan...
“Hallo,” sapaku lirih.
“Kau dimana?”
“Aku, sedang pergi bersama Kak Hea-in.”
“Hea-in?” tanya Kak Yong-hwa, “Oh, sepupumu itu?”
“Yup,” sahutku singkat.
“Kupikir Kau di rumah, ya sudah kalau begitu. Nanti saja ku telepon lagi,” klik Kak Yong-hwa menuntup teleponnya. Hah...
“Apakah Yong-hwa mencarimu?” Kak Hea-in bertanya padaku.
Aku meliriknya, “Hmm...tapi tenanglah, aku sudah mengatakan padanya kalau sekarang aku sedang bersamamu.”
Selama sisa pertunjukan, aku sama sekali tak menikmatinya. Setelah telepon dari kak Yong-hwa itu, hatiku kembali kacau. Takut kalau-kalau pria itu, sudah mengatakan semuanya tentang kejadian di Busan.
“...Jia, Dae-jia!” panggil Kak Hea-in, membuatku sadar kalau pertunjukan telah usai. “Kau baik-baik saja? Apa kita perlu pulang sekarang?”
Aku menggeleng, “Tidak apa-apa Kak!” sahutku berusaha untuk terdengar riang, “sayang kalau kita pulang sekarang, sebaiknya tunggu sampai malam tiba, saat festival kembang api dimulai.”
Kak Hea-in mengangguk setuju dan tersenyum lebar. “Sudah lama aku tak pergi liburan,” gumam Kak Hea-in.
Kami pun melanjutkan jalan-jalan kami, di taman Yoeido, sembari menikmati beragam festival yang disajikan. “Kak, aku lapar!” keluhku seraya memegang perutku dengan gaya sangat lemah. Sesaat setelah kami menonton pertunjukan pantomim yang cukup menghibur.
Kak Hea-in mencubit bahuku gemas, “Kau ini, berlebihan!” guraunya. Aku pun tertawa terbahak-bahak. “Kau mau makan apa?”
“Tteokbokki saja!” usulku sembari menunjuk kedai Tteokbokki yang cukup ramai dikunjungi pengunjung.
Kak Hea-in mengangguk setuju. “Ayo! Biar aku yang traktir sebagai ungkapan terima kasihku karena Kau telah mengajakku jalan-jalan.”
-Kedai Tteokbokki, Yeoido Park-
“Sepertinya hari ini kita tak bisa berkeliling Seoul,” Kak Hea-in berkata sembari mengunyah Tteokbokki di mulutnya.
Aku mengangguk, “Yeah, sepertinya begitu. Maaf,” sesalku.
“Hya...tidak apa-apa Dae-jia, ini sudah lebih dari cukup,” kata Kak Hea-in riang.
Aku tersenyum menatapnya, “Aku akan mencari waktu lagi, nanti pasti mengajakmu berkeliling,” janjiku, setelah menelan Tteokbokki-ku, enak.
Setelah membayar makanan dan minuman kami, aku dan kak Hea-in memutuskan untuk melanjutkan jalan-jalan kami. Tiba-tiba...
BUUKK!!.....aku membentur sesuatu yang hangat dan keras.
“Kita perlu bicara!” suara yang sangat familiar dan sangat ingin kuhindari, mengalun di telingaku bagai nyanyian setan yang meresahkan, aku menengadah untuk menatap seorang pria bertubuh tinggi tegap di hadapanku itu.
“Kk...kau?” seruku dengan suara yang sama sekali tak kukenali.
~To Be Continued.......
By. Lee
NB: Jung Ji-hoon : Nama Asli Bi Rain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar