Chapter 4
-Jung Ji-hoon, Villa Keluarga Jung-
“Apa yang akan Kau lakukan?” gadis itu nampak panik saat aku menyudutkannya di dekat meja rias. Pikiranku benar-benar kacau saat ini, setelah semalam bertengkar lagi dengan Ayah—seperti yang telah kuduga sebelumnya, jika kami bertemu—aku ke kedai soju dan minum beberapa botol soju hingga tertidur di kedai. Dan pagi ini, aku langsung menuju kamar Dae-jia dan mencoba memperingatkannya. Pertunangan itu tak boleh terjadi!
“Aku akan membuatmu mengaku,” gertakku.
“Dari pada kau membuang-buang waktumu, lebih baik kau saja yang mengakuinya! Lagi pula, bukan hanya aku yang salah, kau juga salah.” Ia menjawab sembari mengerutkan tubuhnya yang kini hanya berjarak setengah centi saja dari tubuhku. Ingin rasanya aku mendekapnya seperti dulu, membawanya ke tempat tidur hangat di belakangku dan mencumbunya tiada henti, hingga nyaris tak berdaya. Tidak Ji-hoon, gadis itu hanya menganggapmu sebagai pengganggu, tidak lebih dari itu. Aku berusaha untuk menghilangkan bayangan-bayangan itu dari benakku.
“Aku? Salah? Aku sama sekali tidak salah...karena aku tidak mengkhianati siapa pun, sementara kau sudah mengkhianati kekasihmu yang ternyata adikku sendiri. Entah sudah berapa kali kau mengkhianatinya, aku tak tau. Dan adikku beruntung, karena kau mengkhianatinya denganku.”
“Brengsek! Kau yang memulainya, kau yang membuatku bagai wanita murahan yang biasa kau tiduri setiap kali kau ingin melampiaskan nafsumu.”
Apa kau tau apa yang kurasakan saat kau meninggalkanku pagi itu? pernahkah kau berfikir bagaimana rasanya, saat Yong-hwa memperkenalkanmu sebagai kekasihnya? Brengsek! Aku mengeraskan rahang, menahan emosi yang memuncak. “Ya, kau memang salah satu dari mereka!” ucapku dingin.
“Ap—“
Cklek! Suara pintu terbuka menghentikan kalimat gadis itu, kulihat wajahnya menegang. Mungkinkah itu Yong-hwa? Tapi aku mengenal adikku, tak mungkin dia begitu saja membuka pintu tanpa mengetuknya lebih dulu. Atau, kalaupun itu benar Yong-hwa, aku tak lagi peduli, karena dia memang harus tau tentang ini. Aku menoleh ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang. Sekilas kurasakan desahan nafas lega Dae-jia bersamaan dengan masuknya seorang gadis yang sepertinya pernah kutemui sebelumnya, tapi entah dimana. Gadis itu nampak kaget dan mengerutkan kening ke arahku dan Dae-jia. Sial, untuk saat ini kau selamat Dae-jia! Tapi aku tak akan membiarkanmu bersantai lebih lama.
“Kak Hea-in?!” seru Dae-jia, sembari melepaskan diri dari kungkunganku dan menghambur ke arah gadis bernama Hea-in itu.
Aku berdeham singkat, “Aku pergi!” lalu berjalan melewati kedua gadis itu, yang saat ini menatapku dengan pandangan ‘ya, kau memang harus pergi’ seolah-olah aku adalah virus yang sangat tak diinginkan di tempat ini. Sebelum aku sampai di ambang pintu, aku menoleh ke arah mereka dan menatap tajam Dae-jia yang juga balas menatapku tajam “Aku tunggu pengakuanmu!” kataku untuk terakhir kalinya lalu menutup pintu.
Kesal. Aku berjalan menuju istal kuda di samping bangunan Villa, mungkin dengan begitu dapat mengurangi rasa kesalku. Sayup-sayup kudengar suara tawa Yong-hwa yang diikuti oleh tawa Ayah, aku menghentikan langkahku dan menatap pemandangan di depan istal kuda itu dengan, iri. Yeah, tak kupungkiri, aku pun ingin bersenda gurau kembali bersama Ayah, Ibu dan juga Yong-hwa sebagai satu keluarga yang utuh. Tapi, kesalahanku di masa lalu, seolah menjadi jurang pemisah di antara kami. Dan Ayah, bagaikan tak ingin lagi berhubungan denganku, sejak aku menolak anjurannya melanjutkan bisnis keluarga. Sebenci itukah dia padaku?
Tak ingin melihat lebih jauh pemandangan yang membuatku semakin kesal itu, aku membalikkan badan dan berniat ke kamar untuk mandi dan menyegarkan diri dengan berendam di bathtub seraya merenungkan kembali rencana apa saja yang harus kulakukan untuk membuat gadis itu mengaku.
“Kak Ji-hoon,” aku menghentikan langkahku saat kudengar suara Yong-hwa memanggilku. Sial! Aku sedang tidak ingin bertengkar dengan Ayah. Aku berbalik menatap Yong-hwa yang saat ini tengah berjalan ke arahku. “Kau mau kemana kak? Kenapa tak jadi masuk? ayo kita berkuda!” ajaknya.
Aku menggeleng, “Tidak, aku sedang tak bersemangat, kau berkuda saja sendiri.”
“Hya! Mana asyik berkuda sendiri?” protes Yong-hwa, “Ayolah!” Yong-hwa mencoba membujukku. Aku melirik sekilas ke arah Ayah yang memandangku tak berkedip. Seolah mengerti yang kupikirkan, Yong-hwa mengedikkan bahu ke arahku lalu memandang Ayah yang berdiri di depan istal kuda. “Kau tak perlu memikirkan Ayah, dia sudah tak marah lagi padamu.”
Aku mencibir, mana mungkin itu terjadi? sekali pun dunia kiamat, tak akan pernah dia memaafkanku. “Tidak, aku belum mandi Yong-hwa, dan aku juga mengantuk,” aku beralasan.
Yong-hwa mengamatiku sejenak, lalu berkata, “Kau takut pada Ayah?”
“Kau pikir begitu?” Rasanya emosiku tersulut, mendengarnya.
“kalau kau memang tidak takut, lalu mengapa harus menghindar?” tanya Yong-hwa, “Kau kemari untuk menunggang kuda, bukan?”
“Yeah, baiklah...baiklah, kau menang. Ayo kita berkuda, dan jangan harap kau bisa menang kali ini,” tantangku membuat Yong-hwa tersenyum lebar.
“Ayo!” serunya antusias.
-Park Dae-jia-
“Ya Tuhan!” Kak Hea-in menutup mulutnya dengan tangan saat mendengar ceritaku. “Jadi kalian—“
“Ya,” potongku, tak ingin mendengar Kak Hea-in mengulangnya kembali. Aku menunduk, memandang seprai putih yang menutup matras tempat kami duduk saat ini.
“Itukah yang membuatmu bagai orang aneh belakangan ini?”
Aneh? Kak Hea-in menganggapku aneh? “Apakah aku terlihat begitu?” aku balik bertanya.
“Ya, aneh sekali. Kau tidak seperti Dae-jia yang kukenal, kau menjadi lebih pemurung dari biasanya. Dan kurasa itu aneh, bila dibandingkan dengan sikapmu sebelumnya.” Begitukah? Apakah Kak Yong-hwa juga menyadarinya? Oh Tuhan, jangan...“Dae-jia?!” Kak Hea-in mengguncang bahuku pelan.
“Jangan paksa aku untuk mengakuinya juga!” aku menggeleng kuat-kuat, yang tanpa sadar menitikkan air mata yang mulai membanjiri mataku tanpa bisa dibendung.
Kak Hea-in memelukku, menenangkan. “Jangan menangis, Dae-jia. Tak ada gunanya kau menangis,” katanya sembari menepuk-nepuk punggungku penuh perhatian. Terima kasih Kak Hea-in, kalau tidak ada kau, aku tak tau lagi harus bercerita kepada siapa? Pagi tadi, saat kudengar pintu kamar terbuka, tubuhku menjadi tegang dan sedingin es. Tapi, aku mendesah lega, saat kulihat Kak Hea-in lah yang datang. Kalau itu Kak Yong-hwa, mungkin aku sudah tak di sini sekarang. Kak Hea-in merenggangkan pelukan kami, dan memandangku serius, dengan kedua tangan masih memegang bahuku. “Tatap aku Dae-jia!” aku menurut dan menatap Kakak sepupuku itu. “Apa kau masih mencintai Yong-hwa?”
Aku membisu, aku tak tau jawabannya. Tenggorokanku seolah tercekat dan terasa kering. Apakah aku masih mencintai Kak Yong-hwa? Masihkah perasaanku sama seperti dulu untuknya? Aku tak tau. Benar-benar tak mengerti. Sungguh.
“Dae-jia?!” aku menatap Kak Hea-in dengan pandangan ‘aku tak tau’ sembari menggeleng lemah. “Oke, aku tau itu memang pertanyaan yang berat. Dan aku pun tak tau, sekarang perasaanmu bagaimana. Aku hanya ingin mengatakan padamu bahwa, jika kau memang sudah tak mencintai Yong-hwa seperti dulu. katakanlah padanya, minta dia membatalkan pertunangan ini, sebelum semuanya terlambat.”
“Jadi, kau juga—“
“Bukan, aku bukannya memihak pada pria tadi,” potong Kak Hea-in.
“Lalu?”
“Kau hanya perlu menanyakan pada hatimu yang paling dalam, masih samakah rasa cintamu untuk Yong-hwa? Jika kau telah menemukan jawabannya, katakan dengan jujur padanya. karena jika kebohongan yang menjadi landasan suatu hubungan, maka hubungan itu akan rapuh dan tak akan bertahan lama. Jujurlah pada hatimu Dae-jia.”
“Aku—“
“Tapi kalau kau memang masih mencintainya,” Kak Hea-in melanjutkan, “teruskanlah pertunangan ini. Jangan hiraukan kata-kata pria itu. Semuanya tergantung pada dirimu sendiri. Sebelum kau menyesal, ambillah keputusan yang tepat Dae-jia. Karena ini hidupmu, bukan hidupnya.” Aku mengangguk, mencoba untuk memahami kata-kata Kak Hea-in.
“Terima kasih Kak,” kataku tulus, kak Hea-in menepuk bahuku pelan. Aku mencoba untuk tersenyum, membalas senyumannya. “Emm...aku senang, kau memutuskan datang ke sini, kalau tidak, mungkin sekarang aku hanya bisa menangis.”
“Ya, mana mungkin aku melewatkan waktu berlibur seperti ini,” kak Hea-in menunjukkan senyum hangatnya untuk menghiburku.
“Apakah kau mendapat libur?” tanyaku, mengingat jadwalnya yang sangat padat.
“Kalau aku tak mendapat libur, bagaimana aku bisa di sini?” yah, benar juga. pertanyaan bodoh! Aku meringis. “Sebenarnya...ah, sudahlah! Aku mau mandi dulu lalu istirahat, rasanya badanku pegal setelah perjalanan dari Seoul. Oh, iya, Paman dan Bibi berpesan, kalau mereka akan datang siang ini, karena kemarin masih ada urusan yang harus diselesaikan.” Kak Hea-in menambahkan sembari beranjak dari matras. Hah...tetap saja, walaupun hari ini adalah hari spesialku, kedua orang tuaku masih saja sibuk dengan pekerjaannya.
“Sebenarnya apa Kak? Kenapa tak kau lanjutkan kata-katamu tadi?” tanyaku penasaran.
Kak Hea-in menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku, “Tidak ada apa-apa, ada handuk bersih tidak?” Aneh...kali ini, kurasa Kak Hea-in lah yang tak mau jujur padaku.
“Oh, ada, di lemari rak kedua, buka saja!” sahutku sambil menunjuk ke arah lemari pakaian di dekat meja rias. Kak Hea-in menarik handuk putih bersih dari tumpukan beberapa handuk di lemari itu dan bergegas ke kamar mandi. Sementara aku merebahkan diri di matras, dan mencoba meresapi kata-kata kak Hea-in tadi. Yeah, dia benar. Ini memang hidupku, jadi aku lah yang harus memutuskan. Tapi jika ditanya, bagaimana perasaanku sekarang terhadap Kak Yong-hwa? Aku benar-benar tak mengerti.
-Jung Yong-hwa-
Senang. Satu kata itulah yang kini terukir tulus di hatiku. Akhirnya, setelah sekian lama, Ayah dan Kak Ji-hoon tak lagi bertengkar seperti yang selalu mereka tunjukkan setiap kali bertemu. Sepertinya, Ibu berhasil meyakinkan Ayah untuk tak marah lagi pada Kak Ji-hoon. Walaupun hubungan mereka belum pulih seratus persen, setidaknya mereka sudah tak memperlihatkan wajah saling membenci saat bertemu. Itu merupakan perkembangan yang baik untuk hubungan mereka ke depannya. Acara berkuda kami pun berjalan sangat menyenangkan, dan aku berhasil memenangkan perlombaan kuda itu. hal yang sangat jarang terjadi.
Sembari memasukkan kuda ke istal, aku menatap punggung Kak Ji-hoon yang sedang mengelus kudanya lembut. Ya, sudah lama ia tak menunggangi kuda-nya, Starlight. “Kau merindukannya?” tanyaku saat melihatnya sibuk memperhatikan Starlight.
Tanpa menoleh ke arahku, kak Ji-hoon menjawab, “Hmm...begitulah,” jawabnya, “Kau sudah semakin hebat menunggang kuda, Yong-hwa!” puji Kak Ji-hoon setelah berbalik menghadapku.
Aku tersenyum senang, “Kau juga masih sehebat dulu Kak, hanya saja, mungkin karena Kau sudah lama tak berlatih, jadi Kau berhasil kukalahkan.”
Dia tersenyum, “Ya, begitulah. Tapi nanti, aku tak akan membiarkanmu menang lagi,” janjinya.
Aku merangkulnya dan berjalan meninggalkan istal menuju bangunan utama Villa. “Akan kutunggu!”
Di tengah perjalanan, aku melihat Dae-jia, tengah duduk di kursi batu di dekat kolam ikan, tempatku duduk semalam. Kekasihku itu, tengah membelakangi kami dan menghadap ke kolam ikan di depannya. “Kak, aku ke sana dulu ya!” kataku pada Kak Ji-hoon, lalu meninggalkannya untuk menghampiri Dae-jia. “Sayang, apa yang kau lakukan di sini?”
Dae-jia nampak tersentak kaget, saat mendengar suaraku. Rupanya kehadiranku cukup mengejutkannya. “Astaga! Kak Yong-hwa, kau membuatku kaget,” serunya sambil mengusap-ngusap dadanya.
Aku tersenyum geli, “Apa yang sedang kau pikirkan, sampai-sampai sekaget itu mendengar suaraku?”
“Eh...tidak ada.” Hah...mulai lagi bersikap aneh. Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya.
“Bagaimana tidurmu? Nyenyak?”
“Ya,” jawabnya singkat. Hanya itu? biasanya kalau kupancing dengan satu pertanyaan, dia akan langsung membalas dengan beberapa kalimat yang panjang. Dan ini hanya ‘Ya’ saja? Oh ayolah Dae-jia...!
“Sayang, kau tau? Aku baru saja memenangkan lomba balap kuda dengan kakakku!” kataku bangga, berusaha memancingnya bicara.
“Benarkah?” dia membalas, terlihat sekali dia berusaha untuk menanggapi seriang mungkin. Tapi tak terlalu berhasil. Ada masalah apa sebenarnya?
“Apa ada masalah?”aku menyuarakan isi hatiku. Oh..mungkinkah! “Kau merasa gugup?” aku mencoba berspekulasi, kupikir seorang gadis yang akan bertunangan, pasti merasa gugup sebelumnya.
“Kak?!”
“Ya?”
“Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu,” ujarnya serius. Jadi benar ada sesuatu yang salah dengannya...
“Katakanlah!”
Dae-jia menunduk sebelum memulai bicara, “Aku...aku...” kulihat dia tampak gelisah dan ragu-ragu untuk mengungkapkannya. Ada apa sebenarnya?
“Aku apa?” tanyaku penasaran, mendengarnya hanya mengucapkan aku, aku saja sejak tadi. “Dae-jia, kau tak perlu ragu. Kalau memang ada masalah yang mengganggumu, katakanlah padaku!”
“Kak, aku min—“
“Ah! Akhirnya...sampai juga...!” Kami menoleh ke arah sumber suara, dan kulihat Ibu Dae-jia, bibi Yoon Yoo-sun baru saja tiba. Tapi dimana paman Park kenapa dia hanya sendiri? “Ah! Yong-hwa, Dae-jia, apakah kalian sudah siap?”
Aku tersenyum mendengarnya, “Ya, tentu saja Bi,” sahutku mantap lalu beranjak menghampirinya.
“Bi?”
“Eh, Bu, maksudku..” koreksiku, rasanya masih belum terbiasa memanggilnya dengan sebutan Ibu. Aku melirik Dae-jia yang dari tadi hanya diam tak bersuara. Yeah, aku tau hubungannya dengan orang tua-nya tak begitu baik. “Ah, dimana Ayah? Kenapa tak datang bersama?”
“Hah...entahlah! kata Bibi Jung, kepala pelayan di rumah kami, dia sedang sibuk. Mungkin nanti sore baru datang,” Bibi Yoo-sun menjelaskan dengan tidak yakin,“kau tak mau menyapa Ibu Dae-jia?” katanya sambil menatap putrinya itu.
“Ya, hai Bu!” kata Dae-jia terkesan acuh. Hah...
“Mari, Bu. Biar Saya bawakan tas-nya, sebaiknya Ibu segera menuju ke kamar untuk beristirahat,” tawarku.
“Ya, ya. Kau memang calon menantu yang baik, Yong-hwa,” Bibi Yoo-sun menyetujui dengan senang.
-Park Dae-jia-
Kupandangi gaun pesta berwarna merah hati berbahan gabungan satin dan chiffon yang saat ini tengah tersampir di sandaran kursi meja rias. Gaun itu sangat indah berhias bunga-bunga kecil di bagian dada, kerutan dan pita di bagian punggungnya yang terbuka serta dihias balutan-balutan kain chiffon yang menambah kesan elegan. Itu adalah gaun spesial dari Kak Yong-hwa untuk kugunakan di pesta pertunangan kami malam ini. Hah...sudah banyak sekali dia menghabiskan dana untuk mewujudkan pesta yang meriah dan indah. Tapi apa yang kupikirkan sekarang? Membatalkannya? Apakah aku tega?
Kulirik jam dinding di belakangku, yang kini telah menunjukkan pukul 5 sore. Itu artinya dua jam lagi acara akan dimulai. Tapi aku sama sekali belum bersiap. Sesiangan, aku berusaha memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan semuanya pada Kak Yong-hwa, tanpa harus melukainya. Tapi, rasanya itu mustahil. Oh Tuhan...bagaimana ini? kupijat pelipisku yang terasa nyeri karena terlalu lama berfikir. Kak Hea-in benar, bahwa hubungan yang dilandasi dengan kebohongan tak akan pernah bertahan lama. Tapi bagaimana cara mengungkapnya?
Aku tersentak saat mendengar suara pintu terbuka. “Kak He...Kak Yong-hwa?!”
“Maaf, tadi aku sudah mengetuk pintu tapi tak ada jawaban,” katanya menjelaskan sembari menyunggingkan senyum. “Aku tidak sedang mengganggumu kan?”
Aku menggeleng, “Tentu saja tidak, masuklah!” kataku mempersilakannya masuk.
“Kau suka gaunnya?” tanya Kak Yong-hwa, sesaat setelah ia melirik ke arah gaun merah itu.
“Ya, suka sekali,” kataku tulus.
“Syukurlah kalau begitu.” Sebenarnya ada apa dia ke mari? Apakah pria itu telah mengatakannya?
“Kak?!”
“Dae-jia!”
Kami berkata hampir bersamaan. “Kau dulu saja,” kataku seraya mempersiapkan hatiku, kalau-kalau hal itu benar.
“Aku hanya ingin bertanya, sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan denganku tadi?” oh...jadi dia belum tau. Yah, tak mungkin kalau pria itu tiba-tiba mengakuinya. Dia memang pengecut!. “Ceritakanlah padaku, kalau kau memang memiliki masalah. Mungkin aku bisa membantu,” ujarnya sembari berjongkok di dekat kakiku dan menyentuh tanganku lembut. Aaarggh!! Rasanya kepalaku mau pecah kalau begini. Kenapa pria ini sangat baik? Kalau dia tak sebaik ini, mungkin aku tak akan kesulitan mengatakannya.
“Bangunlah Kak!” aku benar-benar merasa tak nyaman kalau sudah begini. Aku menggiringnya duduk di sofa di sebelahku.
“Kau belum menjawabku Dae-jia.” Hatiku bergemuruh. Ragu. Jika aku mengatakannya, aku akan menyakitinya. Tapi jika tidak, itu juga akan semakin menyakitinya. Jadi kesimpulannya, aku memang harus mengatakannya. Tapi bagaimana caranya? “Dae-jia?!”
“Eh?...begini Kak, aku....” Aarrrghh.....aku benar-benar tampak seperti orang bodoh! Tolong bantu aku mengatakannya! “Aku...minta maaf,” gumamku, kurasakan suaraku benar-benar tak kukenali lagi, karena terlalu lirih.
“Maaf? Untuk apa? apa kau melakukan kesalahan?” Ya, aku melakukan kesalahan. Aku telah mengkhianatimu, bahkan dengan kakakmu sendiri. Tentu saja kata-kata itu hanya tersangkut di tenggorokan dan sama sekali tak dapat kuungkapkan.
“Maaf,” ulangku lagi, karena hanya itu yang dapat kukatakan.
“Untuk apa Dae-jia? Jelaskan padaku!” aku menunduk, menatap kosong ke lantai. Rasanya air mataku akan merebak sekarang juga.
“Maafkan aku,” gumamku, kali ini diiringi isak tangis tertahan.
“Hei? Kenapa menangis? Aku memintamu bicara, bukan menangis,” ucapnya lembut sembari menarikku dalam dekapannya. Ya Tuhan, aku benar-benar tak sanggup! “Dae-jia, sayang.” Ia mengusap air mata yang membasahi pipiku. Kau harus mengatakannya Dae-jia, sebelum semuanya terlambat, sebelum kau semakin menyakitinya. Aku melirik jam, tinggal satu setengah jam lagi. Hah...aku harus mulai darimana?
Aku melepaskan diri dari dekapannya, dan mulai menjelaskan perlahan, “Maaf Kak, aku...memang telah membuat kesalahan...” kuhela nafas berat sebelum melanjutkan, “Aku telah...aku...” kulirik sekilas dirinya yang tetap bergeming dan hanya menatapku, seolah memintaku untuk melanjutkan. “Aku...telah mengkhianatimu,” aku berhasil mengatakannya, walaupun kini hatiku perih bagai diiris sembilu.
Kak Yong-hwa mengernyit, “Meng...mengkhianatiku? maksudmu?” ia berkata dan menatapku meminta penjelasan.
“Aku telah mengkhianatimu Kak. Aku tak pantas menjadi kekasihmu, apalagi bertunangan dan menikah denganmu.” Marahlah Kak, aku siap menerima kemarahanmu. Aku siap, kalau perlu pukullah aku. Aku rela, kalau itu dapat mengurangi rasa sakitmu.
“Kkau...mengkhianatiku? apa ada pria lain? Kau—“ Kak Yong-hwa berdiri dari sofa dan nampak frustasi. Kedua tangannya menutup wajahnya, jelas sekali dia sangat terpukul mendengarnya.“Katakan itu tidak benar Dae-jia!”
“Maaf...” gumamku menunduk penuh sesal.
“Oh Tuhan!!” erangnya.
Aku berdiri menghampirinya dan menyentuh pundaknya, “Kak aku—“
“Katakan kalau itu hanya kesalahan,” potongnya, “Kau masih mencintaiku kan? Oh Tuhan...” ia berpaling dan memukul tembok dengan kepalan tangannya. Rasanya hatiku perih melihatnya begini.
“Kak?! Kau boleh marah padaku. Atau mungkin kau ingin memukulku?”
Ia menoleh, dan merengkuh kedua bahuku. Tatapannya nanar, “Maafkan aku Dae-jia.” Maaf? Kenapa dia justru meminta maaf? “Harusnya aku tak meninggalkanmu, harusnya aku mengikuti kata-katamu, untuk mengambil kuliah di Korea saja,” sesalnya. “Ini semua salahku, karena telah meninggalkanmu.”
Aku menggeleng, “Tidak Kak, aku lah—“
“Katakan kalau itu hanyalah kesalahan, Dae-jia. Aku akan tetap menerimamu. Katakan kalau kau masih mencintaiku, dan kesalahan bersama pria itu, tak berarti apa-apa bagimu.” Ia menatap langsung ke mataku, membuat tenggorokanku tercekat oleh rasa bersalah yang mendalam. “Katakan Dae-jia! katakan kalau kau mencintaiku. Kumohon!”
Aku mengalihkan pandanganku ke dinding di belakangnya, rasanya tak sanggup membalas tatapannya itu. “Aku—“
Kurasakan cengkramannya di bahuku mulai mengendur, “Oke, aku mengerti.” Ia berkata muram sembari melepas rengkuhannya. “Aku akan membatalkan semu—“
“Aku menyayangimu Kak!” selaku, berharap dapat mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Aku benar-benar tak menyangka reaksinya akan begini. Harusnya ia marah padaku. harusnya ia memukulku. Bukannya menyalahkan dirinya...
“Rasa sayang saja, tak cukup untuk membangun sebuah hubungan,” katanya, “Lagi pula, kalau kau memang sudah tak mencintaiku lagi, aku tak bisa memaksamu.” ia mengecup keningku lembut untuk terakhir kalinya. “Pergilah!”
Air mataku tumpah, aku terisak dan merasakan sakit di dadaku karena jantungku yang berdentam kuat. “Kau memaafkanku?” Bodoh! Mana mungkin dia memaafkanmu Dae-jia.
Kak Yong-hwa menoleh dan menatapku sebelum pergi. “Terima kasih atas cintamu selama ini.” Sementara aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Apa yang telah kulakukan? Aku menghancurkan semuanya. Bagaimana aku harus berhadapan dengan Paman dan Bibi Jung? Mereka pasti sangat kecewa. Dae-jia! kau bodoh sekali! Kau sunggu tega menyakiti pria sebaik dia, sekarang, aku hanya bisa berharap, dirinya mendapatkan seorang gadis yang lebih baik dariku.
Sebulan kemudian....
-Ruang Kuliah, Kampus Kyung-hee Seoul-
Sudah sebulan berlalu sejak peristiwa tak mengenakkan itu. Masih terbayang dalam ingatanku, bagaimana wajah kecewa Paman dan Bibi Jung saat mendengar penjelasan dari Kak Yong-hwa bahwa pertunangannya dibatalkan, satu jam sebelum acara dimulai. Untung saja, acara itu hanya akan dihadiri oleh keluarga dekat dan beberapa teman dekat Kak Yong-hwa. Sedangkan Ayah, menggerutu dan kesal saat ia baru saja tiba dan mendengar bahwa pertunangan itu dibatalkan. ‘Harusnya aku tak perlu membatalkan janji bisnisku, kalau ternyata pertungan ini dibatalkan’ begitu katanya. Aku sedikit kecewa, karena ia lebih memikirkan bisnisnya dibandingkan denganku.
Selama sebulan lamanya aku terus terpuruk dalam rasa bersalah. Masih kuingat, bagaimana tatapan puas pria ‘sialan’ itu padaku, saat mendengar berita pembatalan pertunanganku dengan Kak Yong-hwa. Sehari setelah kejadian itu, Kak Yong-hwa kembali ke Amerika. Aku yakin ia sangat marah, tapi tak sekalipun ia melampiaskannya padaku, setelah pengakuanku. Hari ini, hari pertama masuk kuliah semester baru. Aku bersyukur karena hal ini cukup mengalihkan perhatianku dari peristiwa yang sampai sekarang masih saja meninggalkan bekas di hatiku. Pertemuan dengan teman-teman cukup menyegarkan pikiranku untuk memulai sebuah lembaran baru kehidupan. Walaupun jujur kuakui, aku sama sekali tak menangkap apa yang diajarkan dosen hari ini.
“Hya Dae-jia, profesor Lee memanggilmu,” kudengar salah seorang temanku, Seo-na berbisik ke arahku. Seketika aku tersadar, ternyata Profesor Lee sedang menatapku sinis.
“Tolong jelaskan penjabaran tentang puisi yang tertulis di papan!” perintah Profesor Lee sembari menatapku serius. Bagaimana ini? aku sama sekali tak mendengarkan penjelasannya tadi...
-Kediaman keluarga Park-
Hah...lega rasanya, aku bisa pulang. Aku sempat kena marah Profesor Lee, karena aku sama sekali tak memperhatikan hingga tak dapat menjawab pertanyaannya tadi. Ah...bodohnya! kenapa aku jadi tak bersemangat begini? Aku melangkah gontai menyusuri taman di depan rumah, tiba-tiba senyuman terukir dari bibirku saat terbayang malam itu Kak Yong-hwa menyalakan ratusan lilin di sana. Benar-benar...
“...Oh! jadi Kau hanya menyalahkan aku?”
“Kau memang salah, coba kau pikirkan, selama ini apa pernah Kau berada di rumah?”
“Kau sendiri? Pernahkah?”
Aku terdiam di depan pintu masuk saat kudengar suara Ayah dan Ibu yang saling berteriak menyalahkan satu dengan yang lainnya. Ada apa ini? kenapa mereka bertengkar? Baru kali ini aku mendengar mereka bertengkar seperti ini. Biasanya mereka hanya saling mengacuhkan, dan tak sekalipun beradu argumen apalagi sampai berteriak begini. Ada masalah apakah hingga membuat mereka bertengkar seperti ini? aku memberanikan diri, melangkah masuk ke dalam.
“Yuri, nanti saja kita lanjutkan bicaranya,” aku menoleh saat mendengar seorang gadis berkata di bagian timur teras. Rupanya dia sedang bicara di telepon, tapi siapa dia? kenapa dia ada di sini? Apakah dia ada hubungannya dengan pertengkaran Ayah dan Ibu di dalam.
Aku melangkah menghampirinya, “Permisi, kau siapa?”
“Hae-bin! masuklah!” aku tersentak saat mendengar suara Ayah di belakangku. “Oh, Dae-jia. Kau sudah pulang rupanya.” Ayah berkata sembari mengamatiku. Aku menatap Ayah dengan pandangan bingung. Baru sempat aku mengangkat bibir untuk menanyakan siapa gadis itu. Ayah sudah menyela dengan berita yang sangat mengejutkan.
“Dia adikmu!”
~ To Be Continued.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar