Chapter 5
-Park Dae-jia, Kamar Dae-jia-
.................
“Dia adikmu!”
Rupanya, nasib buruk masih belum berhenti menimpanya. Setelah mantan kekasihnya, Jong-hyun pergi meninggalkannya, begitu pertunangan itu dibatalkan. Kini, Mae-ri harus menerima kenyataan bahwa Ayahnya berselingkuh dan memiliki anak dengan wanita lain, yang itu artinya dirinya memiliki seorang adik yang sejak dulu sangat diinginkannya untuk dimiliki, tapi dalam konteks yang berbeda. Mae-ri sangat terpukul menghadapi semua masalah yang menimpanya saat ini. Pikirannya berkecamuk dengan rasa bersalah terhadap Jong-hyun. Mungkinkah semua ini adalah karma yang diberikan Tuhan karena dirinya telah menyakiti mantan kekasihnya itu dengan tidur bersama kakak kandungnya sendiri, Young-jun? Tapi entah mengapa ia tak pernah bisa melupakan pria bernama Young-jun itu. Pria yang telah membuatnya berantakan seperti ini.
Tanganku secara refleks berhenti mengetik, saat kurasakan pikiranku buntu, dua kalimat terakhir pun sudah berulang kali kuhapus tapi seolah hatiku memprotes, aku kembali mengetik kata-kata itu. Hah....
Yeah, aku akhirnya memutuskan untuk menuliskan kisah hidupku ini menjadi sebuah Novel. Dua Minggu yang lalu, Chae-kyung temanku di Kyung-hee memperkenalkan aku dengan saudara sepupunya yang kebetulan saat ini bekerja sebagai editor di sebuah penerbit. Tentu saja, aku senang karena hal itu akan memudahkan jalanku dalam meraih impianku menjadi seorang novelis. Terlebih saat Nona Lee Yoo-hee, sang editor, mau mempertimbangkan karyaku setelah sebelumnya membaca novel-novelku yang gagal diterbitkan. ‘Kau sangat berbakat Dae-jia, caramu menyampaikan sebuah cerita pun sangat menarik, narasi-narasi yang kau buat juga sudah cukup menggambarkan jalan cerita yang kau buat. Hanya satu yang kurang dari novel ini, yakni konflik yang kurang kuat, itu saja. Kuharap kau dapat membuat cerita yang lebih menarik dari ini’ begitu komentarnya saat itu.
Lantunan sendu dari J dengan lagu Just Ten Day-nya membuatku tersentak dari lamunan. Kuraih ponsel yang kuletakkan di sebelah laptopku itu. Nomor tak dikenal? Siapa? “Hallo!” sapaku, sembari berharap ini bukan telepon dari...
“Hallo, aku suka dengan cerita yang kau kirimkan padaku beberapa hari yang lalu.” Mungkinkah?
“Ini...?!”
“Aku Lee Yoo-hee dari Dong-In Publisher, kuharap kau bisa menyelesaikan cerita ini secepatnya, kalau kau memang berniat menerbitkannya.” Klik, sambungan ditutup. Rasanya aku ingin menjerit. Benarkah? Aku memandang ponselku dengan pandangan tak percaya. Apa benar yang baru saja kudengar itu? Nona Lee menyukai ceritaku, dan dia bilang cerita itu bisa diterbitkan? Ternyata usahaku dua hari yang lalu mengirimi Nona Lee email dengan sample cerita ini tidak sia-sia. Akhirnya...seketika aku beranjak dari tempat dudukku, ingin rasanya aku melompat kegirangan, tapi tiba-tiba aku teringat bahwa masih ada yang mengganjal pikiranku karena sampai sekarang aku belum juga menemukan ending yang tepat untuk cerita ini. Hah...
Sayup-sayup kudengar suara teriakan Ibu dan Ayah yang kuyakini berasal dari ruang kerja Ayah di lantai bawah. Saat kubuka pintu kamar untuk mengambil camilan di kulkas, aku berpapasan dengan gadis itu, adikku, yeah rasanya masih sangat asing bagiku menyebutnya begitu. Kurasa, ia pun begitu, terlihat sekali dari caranya menatapku dengan tatapan canggung. Aku memang tak pernah memprotes saat Ayah memproklamirkannya sebagai adikku, seminggu yang lalu. Tapi, aku tak pernah sekali pun berbicara dengannya, apalagi hanya untuk sekedar berbasa-basi. Rasanya hatiku masih sakit, mengingat pengkhianatan Ayah. Ayah benar, dia memang tak sepenuhnya salah dalam hal ini. mengingat kegiatan Ibu yang sangat padat hingga melupakan suami dan anaknya. Namun, perbuatan Ayah pun bukan sesuatu yang dapat dibenarkan.
Ingin sekali aku marah pada Ayah, karena telah mengkhianati Ibu. Tapi, seolah teringat dan tersindir akan kesalahan sendiri. Aku menutup mulutku rapat-rapat dan memilih untuk tak mengacuhkan semua itu. “Hai,” sapa gadis itu lirih. Aku hanya meliriknya dan sama sekali tak membalas sapaannya.
-Naksan Beach, Gangwon-do-
Hari ini, aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke pantai Naksan di Gangwon untuk menikmati suasana musim panas yang baru saja dimulai dan berharap sepulang dari pantai, aku mendapatkan ide untuk ending ceritaku itu. Pantai Naksan sangat ramai dipenuhi wisatawan yang selalu memadati tempat ini di kala musim panas tiba. Bunga-bunga Cherry yang bermekaran di bulan lalu, telah menghilang seiring dengan bertambahnya suhu udara bulan ini yang kini telah mencapai 34 derajat celcius.
Aku berjalan menyusuri garis pantai dan sesekali membasahi kakiku dengan air laut yang terasa hangat karena terpapar sinar matahari terlalu lama sembari mengamati tingkah polah anak kecil yang kini sedang asyik berenang di pinggir pantai bersama teman-teman mereka. Ada pula, peselancar yang sibuk memperlihatkan kehebatan mereka dalam menaklukkan ombak yang datang silih berganti. Sementara di area pasir putih, orang-orang sedang berpiknik menggelar kain berwarna-warni dan payung beraneka macam warna, berjemur dan bersenda gurau dengan anggota keluarga yang lain. Alangkah menyenangkan, kalau saja aku juga dapat merasakannya bersama keluargaku. Wajahku berubah keruh jika mengingat hal itu. Seandainya Kak Hea-in belum kembali ke Mokpo, pasti aku bisa mengajaknya bersamaku.
“Kau ingin bermain banana boat Nona?” tawar seorang penyedia jasa persewaan banana boat.
Aku menggeleng, “Tidak terima kasih,” tolakku sambil tetap berjalan menyusuri tepian pantai. Hingga langkahku terhenti di sebuah anjungan kayu yang menuju ke laut. Aku naik ke anjungan itu, dan berjalan hingga ke ujung anjungan yang berjarak sekitar 15 meter dari daratan. Angin bertiup kencang seolah membelai wajahku dan rambut panjangku yang tergerai, kututup mataku mencoba merasakan bisikan angin di telingaku. Rasanya segar sekali, di tengah panas sinar matahari yang menyengat dapat merasakan hembusan angin seperti ini.
Park Dae-jia |
Ckrek!! Seketika aku menoleh saat kudengar bunyi kamera di belakangku. “Hya, kau—“
“Hai!”
Aku terkesiap. Mataku membesar saat melihat pria yang kini berdiri di hadapanku. Jung Ji-hoon, dengan T-shirt tanpa lengan dan celana polo selutut tengah membawa camera Nikon D3-nya sedang tersenyum ke arahku seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Beraninya ia memperlihatkan senyum seperti itu, apakah ia tak tau bagaimana perasaanku saat ini? “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku sengit.
Ia menoleh ke kanan dan ke kiri seakan-akan sedang mencari sesuatu, “Kurasa tak ada aturan di sini, bahwa tempat ini tak boleh ku datangi,” sahutnya santai. Sial! Kenapa ia terlihat sesantai itu setelah sebelumnya menyebabkan bencana dalam hidupku?
“Aku sedang tak ingin berdebat denganmu!” sergahku lalu berjalan melewatinya. Tuhan, apalagi rencana-Mu? Kenapa Engkau mempertemukanku lagi dengan pria ini?
Pria itu menangkap pergelangan tanganku, “Aku ingin bicara denganmu, makanya aku mengejarmu ke sini.” Apa? mengejarku? Jadi, ini bukan kebetulan?
Yeah, aku tertawa mengejek diri sendiri, mana ada kebetulan seperti itu di dunia ini? “Apa lagi yang kau inginkan dariku? Bukankah aku telah melepaskan adikmu, belum cukupkah kau menyiksaku?”
“Kurasa, kau sama sekali tidak merasa tersiksa,” gumamnya sembari mengamatiku.
“Apa?” Sial. “Ya, kau benar aku memang tak tersiksa, karena aku memang wanita jalang seperti yang kau tuduhkan selama ini padaku,” bentakku, ia tak bergeming dan hanya menatapku. “tapi kau telah sukses menyakiti hati adik kandungmu sendiri.”
“Tidak, justru ia harus berterima kasih padaku, karena telah membebaskannya dari gadis yang sama sekali tidak mencintainya.”
“Kau—“ aku berusaha melepaskan tanganku dari genggaman tangannya yang semakin kuat. “Lepaskan!” aku berteriak sembari menyentak lenganku agar ia melepaskannya, tapi malangnya karena tubuhku tak kuat walau hanya sekedar menyentaknya, tubuhku terhuyung ke kiri.
Deg...deg...deg...deg...deg...deg....jantungku berdetak kencang saat kurasakan jarak tubuh kami semakin dekat, tangannya menangkap pinggangku berusaha mempertahankanku agar tidak oleng dan terjatuh ke laut karena meronta terlalu kuat. Seakan lupa cara bernafas, aku merasakan sesak di dadaku saat kurasakan desahan nafasnya di leherku. Seluruh nadiku berdenyut mendambakan sentuhannya. Kenapa aku selalu merasa seperti ini saat berdekatan dengannya? perasaan ini pulalah yang membuatku tak bisa menolak sentuhannya malam itu. Kupejamkan kedua mataku, merasakan wajahnya semakin mendekat ke wajahku. Tapi aku tersentak saat tiba-tiba tubuhku ditegakkan. Kupikir dia akan...
“Ayo! Ada sesuatu yang ingin ku tunjukkan padamu,” ia menarik lenganku, entah aku sudah gila atau hanya berhalusinasi saat sekilas kulihat sudut bibirnya terangkat, ia tersenyum? bukan senyum mengejek tapi senyum tulus penuh kepuasan.
“Hei, lepaskan aku! Memangnya aku mau ikut denganmu?” protesku, tapi ia sama sekali tak menggubrisku dan tetap menarik lenganku hingga kami sampai di tempat parkir.
“Di mana mobilmu?” aku tak menjawab dan hanya menatapnya dengan tatapan memprotes. “Oke, kalau kau tak mau menjawab, kita naik bus saja.”
Sebelum ia sempat menarik lenganku ke arah lain, “Tunggu!” tahanku. “Itu mobilku!” gumamku sembari memencet tombol buka pada kunci mobilku dan seketika alarm mobil Mercedes pink-ku pun berbunyi.
-Jung Ji-hoon, Mobil Dae-jia-
Akhirnya aku menemukannya. Setelah sekian lama tak melihatnya, rasanya dada ini sesak oleh rasa rindu. Pagi tadi aku ke rumahnya, dan hanya bertemu dengan pengurus rumahnya yang memberitahu bahwa ia sedang berlibur ke pantai Naksan. Memang tidak mudah mencarinya, ditengah-tengah ratusan orang yang memadati area pantai, tapi syukurlah setelah 2 jam lebih berkeliling pantai, aku melihatnya dengan kaos merah dan hotpant-nya tengah menyendiri di ujung anjungan. Maafkan aku Dae-jia, aku tau kau marah padaku. Tapi aku punya alasan untuk menemuimu kembali.
“Sebenarnya kita akan ke mana?” tanyanya sambil tetap menatap ke jalan tanpa sedikitpun melirikku.
“Nanti kau juga tau,” sahutku sembari mengemudikan mobil. Kudengar ia mendesah dan tak bertanya lagi setelahnya. Sekilas kulirik dirinya dan tersenyum mengingat kejadian di pantai tadi. Hampir saja aku kehilangan kontrol diriku kalau saja aku tak mengingat itu di tempat umum.
Setelah selama se-jam lebih aku mengemudi, akhirnya kami sampai ke pelataran galeri seni Kukje Seoul. Kulihat Dae-jia memperlihatkan wajah bingung dan heran. “Kenapa kau membawaku ke mari?” ia akhirnya bertanya.
Aku berdeham singkat, “Lihat saja nanti.”
“Hya! Aku sedang tak ingin bermain-main,” protesnya. Manis sekali.
“Ayo!” ajakku sembari keluar dari mobil.
-Galeri Seni Kukje, Seoul-
Dae-jia tampak kaget dan hanya berdiri mematung di depan foto dirinya dalam ukuran besar yang ditempel di dinding dengan pigura antik sebagai bingkainya. “A...apa ini?” tanyanya dengan tak mengalihkan pandangannya dari foto itu.
“Kau bisa melihatnya,” jawabku enteng.
“Untuk apa kau memajang foto itu di sini?”
“Apa kau lupa? Kalau dulu kau mengijinkan aku menggunakan foto-foto ini.”
“Foto-foto?” ia menatapku untuk meminta penjelasan, “Jadi bukan hanya ini?”
Aku hanya tersenyum dan menarik lengannya untuk masuk ke dalam gedung. Hanya ada kami berdua di sini. Aku mengajaknya ke mari untuk melihat hasil karyaku dan juga foto-fotonya yang dulu ku ambil di Busan. Sebulan yang lalu, aku disibukkan oleh rencana besar ini, karena untuk pertama kalinya aku membuat pameran untuk karya-karya fotografiku. Setelah menunggu 5 tahun lamanya, akhirnya impianku terkabul, dan besok secara resmi pameran seni fotografi ini akan dibuka.
Dae-jia nampak tertegun memandang foto-foto dirinya, kali ini bukan hanya satu tapi 5 foto dirinya sekaligus yang tengah berjalan-jalan di pinggir pantai di Busan. “Kau suka?”
“Kenapa kau memajangnya di sini?”
“Kupikir kau tidak lupa—“
“Ya, aku ingat, dulu aku pernah mengijinkanmu menggunakannya,” selanya.
“Lantas?” aku bertanya sembari mengangkat bahu.
“Mengapa kau bertingkah seolah-olah tak pernah ada masalah besar di antara kita?” gadis itu mulai tampak emosi. “Apa kau lupa kejadian di Villa itu? pertunanganku dan Kak Yong-hwa? Apa kau menderita amnesia?”
“Mana mungkin aku lupa,” tukasku.
“Lalu mengapa kau masih memakainya? Bukankah kau membenciku karena telah menyakiti adikmu? Bukankah kau menganggapku sebagai wanita jalang yang telah mempermainkan adikmu?”
“Kurasa, sayang sekali kalau karya seni-ku yang paling indah harus dilewatkan dalam pagelaran penting ini.”
-Park Dae-jia-
Karya seni terindah? Apa maksudnya? Aku semakin tak mengerti, dia benar-benar aneh. Tingkahnya membuatku semakin tak mengerti. “Tolong jelaskan, apa maumu sebenarnya!”
“Duduklah di sini,” ajaknya sembari menepuk-nepuk lantai undakan di sebelahnya.
“Aku akan mendengarkanmu dari sini,” tolakku.
Ia tersenyum lagi, entah sudah keberapa kalinya hari ini. Benar-benar aneh. “Aku tak akan menjelaskan, sebelum kau duduk di sini.”
“Kau? Sudah kubilang aku sedang tak ingin bermain-main denganmu!” bentakku.
“Oh, tenanglah! Jangan marah dulu,” jangan marah dulu katamu? Ya Tuhan, pria ini benar-benar sudah gila. Di suatu saat, ia tampak sangat membenciku dan mengancamku dengan ancaman-ancaman yang sanggup membuat macan pun takut menghadapinya. Dan sekarang, ia malah bertingkah bagai anak kecil yang polos tanpa dosa. “Ceritanya cukup panjang, kalau kau tidak duduk, maka kau akan merasa capek.”
“Kalau kau memang tak ingin menceritakannya, lebih baik aku pulang saja,” sergahku lalu berbalik ke arah pintu keluar.
“Oke...oke...aku akan mulai menceritakannya,” tahannya, lalu mulai bercerita “Malam itu sesaat setelah kau dan keluargamu kembali ke Seoul.....”
“Kak, apa aku salah karena terlalu mencintainya?” Yong-hwa bertanya padaku lalu meneguk segelas soju lagi. Entah sudah berapa gelas ia menghabiskan soju itu.
“Oh kumohon Yong-hwa, berhentilah. Kau tak terbiasa minum soju, lihatlah kau sudah semabuk ini?” tukasku sembari merebut gelas soju di tangannya.
“Hya! Aku belum mabuk? Lagi pula aku sudah biasa minum bir dan sampagne di Amerika, jadi kau jangan memperlakukanku seolah aku ini anak kecil yang tak terbiasa minum-minuman keras,” gerutunya berusaha mengambil kembali gelas dan botol soju yang ku rampas.
“Sudahlah Yong-hwa, ayo kita pulang saja!” ajakku lalu memapahnya yang terhuyung-huyung kembali ke Villa.
“Kak, apakah kau tau siapa pria brengsek itu? yang telah berani merebut Dae-jia dariku?” Yong-hwa mulai mengoceh tak karuan.
“Yong-hwa, lupakan saja gadis itu. dia sudah mengkhianatimu, sebaiknya—“
“Ia menolakku demi lelaki itu,” potong Yong-hwa membuatku terperangah.
“Apa maksudmu?”
“Pria itu telah merebut hatinya, entah apa yang tak kupunyai dibandingkan dengannya, hingga ia berhasil merebut hati Dae-jia?” kali ini Yong-hwa bertanya lebih pada diri sendiri.
“Yong-hwa, gadis itu hanya ingin mempermainkanmu,” sergahku tak sanggup melihatnya semakin menyakiti diri sendiri.
“Tidak Kak, ia tak mungkin begitu. Aku sangat mengenalnya,” sangkal Yong-hwa.
“Ya, kau mengenalnya, sampai-sampai kau tak tau telah dikhianati olehnya, kau terlalu percaya padanya Yong-hwa.”
“Kau salah kak, Dae-jia-ku bukan gadis seperti itu.”
“tapi pada kenyataannya—“
“Oh, kumohon berhentilah menjelek-jelekkannya!” Yong-hwa mulai berteriak. “Kau sama sekali tak mengenalnya.”
“Kurasa kau sudah sangat mabuk Yong-hwa, ayo kita pulang saja!”
“Tidak...tidak...tidak!” Yong-hwa menggeleng sambil berjalan terhuyung ke arah kursi taman di depannya dan duduk di sana. Kepalanya menengadah menatap langit malam. “Aku bahkan mengatakan bahwa aku telah memaafkannya,” Yong-hwa kembali bergumam, “dan memintanya untuk bersamaku, tapi rupanya ia sudah tak mencintaiku lagi.”
“Yong-hwa?!”
“Dari tatapan matanya, aku bisa melihatnya,” katanya terus berbicara dan tak menghiraukanku, “ia tak berani menatapku saat kutanya apakah dia masih mencintaiku?” Yong-hwa memeluk lututnya persis sama seperti saat ia kecil, ketika ia baru saja ditinggal mati anjing kesayangannya. Rasa bersalah dalam dadaku timbul, terlebih saat melihatnya begini.
Aku duduk di sampingnya dan menyentuh bahunya, “Yong-hwa?!”
“Dia mencintai pria itu!” gumam Yong-hwa sembari terisak.
“Maafkan aku,” gumamku.
“Ahh! Aku benci mendengar kata-kata itu,” erang Yong-hwa lalu menutup telinganya denga kedua tangannya, “entah sudah keberapa kalinya aku mendengar kata-kata itu hari ini. ku mohon jangan katakan itu lagi!”
Maafkan aku Yong-hwa, kurasa gadis itu benar. Aku memang egois. Kurasa Yong-hwa memang harus mengetahui yang sebenarnya. “Apa yang akan kau lakukan, kalau kau mengetahui siapa pria itu?” aku memberanikan diri bertanya.
“Kau tak perlu bertanya Kak, kau sudah tau apa yang akan kulakukan,” sahut Yong-hwa seraya mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih.
Ya, lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. “Aku lah pria itu Yong-hwa!”
Sejenak Yong-hwa tertegun dan menatapku, “hahahaha....itu tidak lucu kak, kurasa aku memang sudah sangat mabuk, hingga berhalusinasi seperti ini.”
“Kau tidak sedang berhalusinasi, memang akulah pria itu. aku yang telah mengkhianatimu dengan Dae-jia. tapi kau salah kalau menyangka bahwa dia mencintaiku Yong-hwa, dia hanya menganggapku sebagai selingan saja.”
Mendengar itu, seketika Yong-hwa berdiri dengan tubuh yang masih terhuyung-huyung, ia mengepalkan tangannya dan...
BUKK!! Sebuah bogem mentah terarah pada wajahku, membuatku jatuh terduduk di rumput. Dapat kurasakan perih di sudut bibirku, tapi luka di hatiku lah yang terasa lebih perih. Masih dengan tubuh terhuyung Yong-hwa kembali menghampiriku yang kini sudah bangkit berdiri, dan untuk kedua kalinya ia melayangkan bogemnya, kali ini perutku yang kena, hingga aku mengaduh kesakitan.
Kemudian Yong-hwa menarik kerah bajuku, “Berani-beraninya kau merebutnya dariku?” geramnya.
“Yong-hwa, aku tak bermaksud—“
BRUKK! Ia ambruk. Tertidur, karena terlalu banyak minum.
“Keesokan harinya, Yong-hwa pergi tanpa pamit dan hanya meninggalkan secarik kertas untukku,” pria itu menyerahkan secarik kertas itu kepadaku. “Bacalah!”
Jagalah Dae-jia untukku, jangan lagi kau sakiti dia. aku tak ingin melihatnya menangis lagi. Ia sudah cukup menderita dengan kurangnya kasih sayang orang tuanya. Kuharap kau dapat membahagiakannya.
Yong-hwa
Aku tertegun membaca surat kak Yong-hwa itu. Tanpa sadar air mataku bergulir jatuh membasahi kertas surat yang kupegang.
“Selama berminggu-minggu aku berpikir dan bertanya-tanya pada diri sendiri, benarkah apa yang dikatakan Yong-hwa malam itu? tapi aku tak juga menemukan jawabannya.” pria itu berdiri dan menghampiriku yang sedang tertegun dan terisak dengan surat di tanganku.
“Kak Yong-hwa!” gumamku, kurasakan Kak Ji-hoon merangkulku dan membiarkanku untuk sejenak menangis di dadanya yang bidang.
“Menangislah!” ujarnya lembut. Aku masih terisak saat Kak Ji-hoon melanjutkan ceritanya, “Semalam, Yong-hwa menelponku,” pria itu menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan, “Percakapan pertama kami, setelah pertengkaran malam itu. Dari suaranya, ia tampak baik-baik saja. Ia juga menanyakan kabarmu padaku, tapi, karena aku juga belum bertemu lagi denganmu, aku tak tau bagaimana kabarmu. Telepon itu, mengingatkanku pada pesan Yong-hwa padaku.” Kak Ji-hoon merenggangkan pelukannya dan menatapku, “Sekarang, aku ingin bertanya padamu. Benarkah apa yang dikatakan Yong-hwa?”
“Itu tidak penting,” gumamku masih tetap terisak.
“Apa maksudmu tidak penting?”
“Aku tak akan memaksamu membahagiakanku, lupakan saja apa yang dikatakan Kak Yong-hwa, aku tak ingin mengikatmu dengan tanggung jawab yang tak ingin kau lakukan” sergahku, kulepaskan tangannya dari bahuku dan berjalan menjauh.
“Jadi, Yong-hwa salah. Kau sama sekali tak mencintaiku?”
Untuk apa ia menanyakan itu? bukankah itu sama sekali tak penting baginya? Bukankah ia hanya berniat menebus dosanya terhadap Kak Yong-hwa? Aku berbalik, “Apakah perasaanku penting bagimu?”
“Penting sekali,” jawabnya sambil berjalan mendekat. Pria itu menangkup kedua pipiku dan memaksaku untuk menatapnya. “Kau tau apa yang kurasakan saat pagi itu kau sudah tak ada lagi di kamarku? Apa kau tau bagaimana sakitnya hatiku saat tau bahwa kau adalah kekasih Yong-hwa?”
Deg...deg...deg...deg...kurasakan irama jantungku meningkat, sensasi aneh di bagian perutku pun mulai bergejolak, membuatku sedikit jengah. “Sekarang, jawab aku dengan jujur dari hatimu yang paling dalam. Apakah benar apa yang dikatakan Yong-hwa? Benarkah kau mencintaiku?”
Mencintainya? Apakah aku mencintainya? “Aku....aku tak tau—“ aku tersentak saat bibirnya membekap bibirku lembut dan hangat, kupikir ia akan menciumku lebih dalam. Tapi, aku salah karena tiba-tiba ia menarik diri mendekatkan bibirnya ke telingaku, hingga membuat bulu kudukku berdiri dan kulitku menggelenyar merasakan desahan nafasnya.
“Kurasa...kau tak perlu menjawabnya,” bisiknya, lalu menggigit telinga bawahku ringan, membuat sensasi aneh timbul di seluruh tubuhku. “Aku mencintaimu,” bisiknya sebelum kembali mencium bibirku dengan ciuman yang lebih dalam hingga membuat aku harus berpegangan padanya agar tak jatuh.
Tak sia-sia aku pergi ke Pantai Naksan, karena kini aku telah menemukan akhir dari kisahku....yang bahagia...
FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar