Sabtu, 04 Juni 2011

Is This Love? -Chap 1-

Annyeong!!!! sesuai janjiku....sekarang giliran FF nya Sist Mila yang ku publish.....FF ini masih ada hubungannya ama FF The Stranger dulu....Mudah2an ni FF gak bosenin.....Mohon RCL-nya yee.....^^

-Lee-

______________________________________________________

Is This Love?



Chapter 1


Cast:
Mila Minuhae as Kang Hea-in
Ok Taec-yeon as him self
Hesty Puthree as Kang Hyo-hee
Arya Kumala as Yoon Ah-ra



-Kediaman Keluarga Kang, Mokpo-

Di sebuah rumah sederhana, jauh di pedesaan Mokpo, Kang Hea-in seorang wanita muda yang merupakan anak pertama dari Tuan Kang Moo-jun tengah sibuk memasak di dapur untuk ketiga orang adiknya. Sejak kedua orang tuanya meninggal setahun yang lalu akibat kecelakaan lalu lintas, ia lah sebagai anak tertua yang kini menjadi tulang punggung keluarganya.

“Kak, aku lapar!” seru Kang Hyun-jae adik bungsunya yang kini berusia 8 tahun telah siap duduk di meja makan dengan membawa serta tas sekolahnya.

“Iya, sebentar Sayang,” Hea-in yang masih sibuk memasak mencoba untuk mempercepat kegiatannya karena tak ingin adiknya terlambat ke sekolah.

TING TONG! Bel pintu berbunyi.

“Haish...siapa yang datang bertamu pagi-pagi begini?” gerutu Hea-in sambil melirik ke arah pintu, baru saja ia selesai membersihkan tangan dengan celemek berwarna biru laut yang dipakainya, adiknya Kang Hyo-hee sudah menyambar.

“Biar aku yang buka!” serunya riang pada Hea-in sambil berharap yang datang adalah kekasihnya. Hyo-hee adalah adik Hea-in, yang kini tengah duduk di bangku kelas 3 SMA, sebagai anak kedua ia lah yang merawat adik-adiknya selama Hea-in pergi ke Seoul untuk bekerja. Dengan wajah merengut kesal, karena yang datang bukan kekasihnya, Hyo-hee kembali ke meja makan. “Kak, tamumu,” ujarnya kecewa sambil menjatuhkan diri di kursi.

“Eh? Aku?”

“Ehm..” Hyo-hee menjawab masih setengah melamun dan bertopang dagu.

“Tolong lanjutkan masaknya Hyo-hee!” pinta Hea-in sembari melepas celemek dan bergegas menemui tamu yang dirasanya aneh sekali karena datang di pagi hari seperti ini. Begitu Hea-in membuka pintu untuk melihat siapa yang datang, ia terkesiap saat melihat pria yang sangat ingin dihindarinya kini berada di sana. “Sudah kukatakan aku tak—“



“Sepertinya rumahmu butuh diperbaiki,” komentar pria itu santai sambil memperhatikan atap rumah Hea-in yang perlu diganti dan kertas pelapis dindingnya yang telah usang dimakan waktu. Karena kesulitan keuangan keluarga semenjak Ayah dan Ibu-nya meninggal, terlebih saat adik keduanya, Hyo-jin, jatuh sakit sebulan yang lalu, rumah peninggalan kedua orang tua-nya itu memang sudah tak terawat lagi.

“Aku tak punya waktu untuk membahas masalah rumahku denganmu,” sergah Hea-in tegas, “Sebaiknya kau pergi saja dari sini, karena kau tak akan berhasil membeliku dengan uangmu.”

“Kau pikir, aku jauh-jauh ke mari hanya untuk mendapatkan penolakan, Nona Hea-in?”

“Aku tau, kau tak akan berhenti sebelum kau mendapatkan apa yang kau inginkan. Tapi aku bukan boneka yang bisa kau beli dan kau perlakukan seenaknya.” Hea-in menutup pintu rumah dengan bunyi berdebam, sebelum pria itu dapat menjawab. Sialan! Dasar pria brengsek!, makinya dalam hati.

“Kak...kak...sayurnya gosong!” seru Hyun-jae berlari menghampiri Hea-in yang masih tercekat di belakang pintu.

“Apa?”

“Sayurnya gosong!” lapor adiknya lagi.

Bergegas Hea-in menuju dapur dan dilihatnya hasil masakannya kini berasap dan menimbulkan bau yang tidak sedap, “HYO-HEE!!” Hea-in berteriak kesal.

“Eh? Iya kak?” sahut Hyo-hee seolah baru tersadar dari sesuatu yang dilamunkannya.

“Lihat apa yang kau lakukan pada masakanku?”

“Ha?”

“Bukankah tadi aku menyuruhmu meneruskannya sementara aku menemui tamuku,” Hea-in mengingatkan dengan kesal.

“Ups!” Hyo-hee meringis bersalah, “Maaf aku tak mendengar saat kau menyuruhku,” tukasnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Hea-in menghela nafas kesal, “Hah...kau kebanyakan melamun sih, makanya tak mendengar apa yang kukatakan tadi. Ya sudahlah,” keluhnya, lalu menghampiri Hyun-jae dan menyerahkan sejumlah uang pada adiknya itu, “Sayang, kamu makan roti saja ya,” saran Hea-in pada adiknya yang kini merengut kesal itu. “Hyo-hee, belikan Hyun-jae roti di minimarket dulu sebelum kau mengantarnya ke sekolah,” perintah Hea-in.

“Iya kak,” sahut Hyo-hee patuh, “Roti untukku ada tidak?” Hea-in tak menjawab dan hanya mendelik kesal ke arah adiknya itu. “Eh, iya, iya, begitu saja marah!” gerutunya lalu buru-buru mengambil tasnya dan menggandeng lengan adik kecilnya.

“Kak Hyo-hee, aku minta choco pie juga ya!” rengek Hyun-jae.

“Tapi, uangnya kan tidak cukup?” protes Hyo-hee. “Kak, kau mau menambahkan tidak?” katanya pada Hea-in.

“Tambahkan sendiri dengan uang sakumu,” sergah Hea-in yang kini mulai memasak bubur untuk Hyo-jin yang tengah terbaring sakit di kamarnya.

“Tapi—“

“Apa lagi?” Hea-in berbalik dan menatap adiknya itu, marah. Hyo-hee yang sebelumnya akan memprotes, buru-buru mengurungkan niatnya dan bergegas pergi. Kakaknya memang jarang marah, tapi akhir-akhir ini semenjak pulang dari Seoul ia menjadi sedikit pemarah. Apakah ini berkaitan dengan masalah keuangan?, batin Hyo-hee bertanya-tanya.



-Pabrik Roti, OK Group-

“Sialan!” maki Taec-yeon sembari menggebrak meja manajer di depannya lalu duduk di kursi putar. Apa yang harus kulakukan untuk bisa meyakinkan wanita itu?, pikirnya. Jauh-jauh ia datang ke Mokpo hanya untuk meyakinkan Kang Hea-in, mantan pegawainya yang mengundurkan diri itu. Ia sangat membutuhkan Hea-in untuk bekerja kembali di kantornya, karena menurutnya, gadis itu memiliki ide-ide cemerlang dan mampu menganalisis selera pasar yang dapat digunakannya dalam mengembangkan usahanya. Tapi kini, gadis itu membencinya dan sama sekali tak mau kembali ke perusahaan. Padahal, Ayahnya memberikan deadline, jika ia tak bisa memajukan usahanya dalam waktu 3 bulan ini, maka kedudukannya sebagai direktur akan digantikan oleh seorang profesional dan dirinya diharuskan menikah dengan wanita pilihan Ayah dan Ibunya. Sementara, ia sendiri masih belum ingin menikah.

“Anda memanggil saya Tuan Ok?” kata Tuan Uhm selaku manajer produksi pabrik Roti cabang Mokpo.

“Ya, duduklah Tuan Uhm!” ujar Taec-yeon mempersilakan pria setengah baya itu duduk di kursi di depannya.

“Apa yang bisa saya bantu Tuan?” tanya Tuan Uhm takut-takut melihat wajah marah boss-nya itu.

“Bantu aku meyakinkan Nona Kang Hea-in untuk kembali bekerja di perusahaan,” perintah Taec-yeon.

“Tapi, bukankah tadi anda sudah—“

“Aku tak berhasil,” potong Taec-yeon resah. Gadis itu sungguh keras kepala, batinnya.

Tuan Uhm menunduk tak berani menatap ke arah Taec-yeon, “Setahu saya, Nona Kang memang agak keras kepala, kalau ia sudah berprinsip begitu, ia akan mempertahankannya kecuali jika benar-benar terpaksa,” ujar Tuan Uhm yang memang sudah mengenal sosok Hea-in sejak saat ia masih menjadi anak buahnya.

Sebulan yang lalu Hea-in dikirim ke Seoul untuk mengikuti pengarahan dari kantor pusat OK Group dan melaporkan keadaan di pabrik Mokpo, tapi karena keuletan dan kecerdasannya, ia dipercaya oleh Taec-yeon untuk mengurus di bidang pengembangan produk. Alhasil, salah satu produk yang dikembangkan oleh Hea-in laku keras di pasaran. Namun, karena suatu hal, kini hubungannya dengan gadis itu rusak, hingga membuatnya keluar dari perusahaan.

“Lalu, rencana apa yang akan anda buat untuk membujuk Nona Kang kembali bekerja Tuan?” Tuan Uhm memberanikan diri bertanya. Tapi yang ditanya hanya diam, sibuk berpikir.

“Apa kau tau dimana ia sekarang bekerja?” tanya Taec-yeon tiba-tiba sambil menunjukkan senyum misterius. Aku tak akan berhenti sampai di sini, Nona Hea-in, ujarnya dalam hati.



-Kediaman Keluarga Kang, kamar Hyo-jin-

“Satu suap lagi ya?” paksa Hea-in pada adiknya  Hyo-jin yang kini tergeletak tak berdaya di tempat tidurnya, tubuhnya demam, pucat dan timbul ruam-ruam merah di kulitnya. Sudah hampir seminggu ia sakit, setelah 1 bulan sebelumnya juga menderita penyakit yang sama. Ia tak mengerti mengapa akhir-akhir ini Hyo-jin menjadi sering sakit. Padahal sebelumnya yang ia tahu, adiknya itu merupakan gadis yang lincah dan sehat. Dokter mendiagnosa terkena demam Tifoid setelah cek laboratorium yang dilakukan, tapi anehnya dalam jangka waktu kurang dari 3 Minggu adiknya kembali menderita demam Tifoid, namun karena ketiadaan biaya, ia hanya meminta rawat jalan pada dokter. Ingin rasanya ia merujuk Hyo-jin ke rumah sakit yang lebih baik di kota, tapi keadaan keuangan keluarganya menghalangi untuk dapat melakukannya.

Semenjak ia mengundurkan diri dari perusahaan roti terkenal, OK Group, kini dirinya hanya berstatus sebagai seorang pelayan di sebuah kedai Jjajangmyun yang bekerja mulai siang hingga malam. Sebenarnya, jam kerjanya saat ini cukup menguntungkan baginya, karena pada pagi hari ia masih bisa mengurus rumah dan adiknya Hyo-jin yang kini tengah sakit. Tetapi dari segi upah, kini ia harus rela dengan hanya menerima upah yang jauh di bawah gajinya dulu saat ia masih bekerja di OK Group. Walaupun, ia bisa saja meminta bantuan pada keluarga Pamannya, Ayah Dae-jia, tetapi merupakan prinsipnya sendirilah yang menyatakan bahwa ia tak akan meminta bantuan pada siapa pun selagi dirinya masih mampu melakukannya sendiri. Karena ia tak ingin memiliki hutang budi terhadap orang lain. Sejak kecil, Hea-in telah diajarkan oleh kedua orang tuanya untuk hidup mandiri, dan tak boleh bergantung pada siapa pun selagi ia masih mampu. Dan ajaran itu, masih terus ia pertahankan hingga kini, apapun masalah yang harus ia hadapi. Haruskah aku menerima tawarannya?, batin Hea-in resah, kembali teringat kejadian pagi tadi. Saat Ok Taec-yeon, mantan boss-nya itu jauh-jauh datang dari Seoul hanya untuk memintanya kembali. Tapi ia buru-buru menggelengkan kepalanya, mengingat apa yang telah dilakukan pria itu padanya sebelumnya. Tidak, aku tak boleh menerimanya. Aku tak mau lagi diperlakukan seperti budak olehnya. Pasti masih ada cara lain untuk menghadapi ini, sergahnya dalam hati.

“Kak, kau tidak berangkat kerja?” tanya Hyo-jin lemah, saat memperhatikan kakaknya hanya duduk termenung di samping tempat tidurnya.

“Oh?” tersadar dari lamunan panjangnya Hea-in menatap adiknya itu penuh perhatian, “Ya, kau benar, nanti Bibi Jang marah padaku kalau tak segera berangkat,” Hea-in menunjukkan wajah lucu yang tak terlalu berhasil untuk menghibur adiknya itu. “Tapi sebelum berangkat, aku harus memastikan kau meminum obatmu dulu,” tambahnya seraya mengambil beberapa butir obat yang telah disiapkannya dengan segelas air. “Minumlah!”

“Ah! Sampai kapan aku harus meminum obat-obat ini?” gerutu Hyo-jin kesal.

“Minumlah! Kau ingin sembuh tidak?” bujuk Hea-in.

“Hah...buktinya, walaupun aku sudah meminumnya. Tapi penyakitku bukan semakin sembuh, tapi malah semakin parah.”

“Hussh! Kau tak boleh berkata begitu, obatnya kan tak akan langsung menyembuhkan begitu saja, butuh proses dulu.”

“Tapi ini sudah satu Minggu kak!” protes Hyo-jin, “Padahal aku baru saja bisa masuk sekolah, tapi sekarang aku kembali tak masuk selama seminggu,” keluhnya, “Bagaimana aku bisa menghadapi ujian semester Bulan depan?”

“Makanya, minum obat ini kalau kau memang ingin mengikuti ujian itu, ayo! Aku tak punya banyak waktu,” paksa Hea-in sembari menyodorkan obat-obatan itu ke arah adiknya yang dengan enggan akhirnya mau meminumnya juga. “Nah, begitu,” Hea-in tersenyum mencoba meredakan rasa kesal adiknya itu. “Aku harus segera berangkat kerja,” Hea-in beranjak dari duduknya sambil membawa nampan berisi bubur buatannya tadi yang baru setengah dihabiskan Hyo-jin. “Oh iya, kau mau oleh-oleh apa? biar nanti kubelikan sepulang dari kedai,” rayu Hea-in saat melihat adiknya masih saja cemberut.

“Aku tau kau tak punya banyak uang kak,” tukas Hyo-jin polos, “Sudahlah, aku tak butuh apa-apa, aku hanya butuh tidur.”

Hea-in memaksakan seulas senyum pada adiknya sebelum menutup pintu kamar. Rasanya menyakitkan sekali mendengar kata-kata Hyo-jin tadi. Hyo-jin benar, saat ini kondisi keuangan mereka sangat kritis. Untuk membiayai makan mereka selama satu bulan saja sangat kurang, apalagi untuk membeli barang-barang yang tak perlu. “Ayah...Ibu...seandainya kau masih ada!,” desah Hea-in sembari menghembuskan nafas lelah.



-Kedai Jjajangmyun, Mokpo-

Hea-in sedang beristirahat, setelah seharian melayani tamu-tamu yang datang ke kedai. Siang ini, kedai sangat ramai karena musim panas telah tiba hingga membuat orang-orang datang berbondong-bondong untuk menikmati liburan musim panas mereka di pantai.

“Ah! Lelah sekali!” keluh Seo-jin teman kerja Hea-in. “Hari ini, benar-benar membuatku ttak bisa bernafas, baru saja duduk untuk beristirahat, tiba-tiba sudah datang lagi tamu-tamu yang lain.”

Hea-in memperhatikan temannya itu dan tersenyum, “Ya, bukankah memang selalu begini kalau musim panas tiba?”

“Tapi tahun ini jauh lebih parah!” gerutunya, “ditambah lagi panasnya yang sangat menyengat, ah...rasanya ingin segera mandi dan beristirahat!”

“Siapa yang ingin beristirahat?” tanya seorang wanita gendut setengah baya, si pemilik kedai, Jang Min-ji.

“Ahh! Bibi Jang, begitu saja marah!” protes Seo-jin.

“Sudahlah! Pulang saja sana, masih ada Hea-in yang bisa membantuku,” sergah Jang Min-ji marah. “Tapi jangan harap kau akan mendapatkan bonus upah hari ini.”

“Kya! Bibi Jang, kumohon jangan marah begitu, baiklah aku harus melakukan apa lagi sekarang?” rayu Seo-jin sambil memijat-mijat lengan wanita itu.

Jang Min-ji mencibir, “Bersihkan meja-meja di depan sana!” perintahnya yang segera dituruti oleh gadis itu. “Dan kau Hea-in, tolong antarkan Jjajangmyun ini ke alamat yang tertera di sini,” Jang Min-ji memerintahkan pada Hea-in, karena kedainya juga menyediakan jasa antar.

“Eh? Baik Bi, tapi dimana Min-seok?” Hea-in menanyakan Putra tunggal Jang Min-ji yang biasanya bertugas mengantar pesanan Mie.

“Hah...anak itu sibuk dengan pacar-pacarnya,” keluh Jang Min-ji kesal pada Putranya yang lebih memilih berlibur di Pantai bersama kekasihnya, ketimbang membantunya.

Saat menerima kertas berisi alamat itu, Hea-in tertegun sejenak. Karena di kertas itu tertulis alamat pabrik roti OK Group tempatnya bekerja dulu. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Apakah ini ada hubungannya dengan pria itu?, batin Hea-in. Sial.

“Hya! Hea-in, apa kau akan terus berdiri di situ? Ayo cepat antarkan, mereka bisa marah kalau pesanannya terlambat!” Jang Min-ji mulai berteriak tak sabar.

“Oh? Iya Bi!” sahut Hea-in tak bersemangat. Di benaknya hanya ada pria itu dengan segala rencana-rencana liciknya untuk menjebaknya kembali masuk ke dalam cengkramannya.



-Pabrik Roti, OK Group-

Setelah memarkirkan motornya di depan gedung pabrik OK Group, Hea-in menatap bisu ke arah gedung itu. Gedung pabrik yang tak terlalu besar, tetapi menimbulkan perasaan sayang karena ia pernah mempertahankan pabrik yang sempat hampir ditutup itu, demi para pekerja di sana. Sudah lama ia tak ke mari, semenjak putusnya hubungan kerja dengan perusahaan OK Group. Dengan menenteng plastik berisi bungkusan Jjajangmyun di dalam kardus, ia melangkah gontai menuju gedung itu.

“Hea-in!” seru Na-young salah satu staf di pabrik tersebut. Hea-in tersenyum menatap teman lamanya itu. “Ya Tuhan, sudah lama kita tak bertemu, ada perlu apa ke mari?”

Hea-in mengangkat bungkusan di tangannya, “Aku akan mengantar ini.”

“Oh, ya. Aku sudah mendengar kalau kau sekarang bekerja di kedai Bibi Jang,” komentar Na-young, lalu merangkul Hea-in dan mengajaknya naik ke lantai dua tempat ruang manajer berada. “Eh, di dalam sedang ada Tuan Muda Ok,” tukas gadis itu pada Hea-in, yang tentu saja Hea-in sudah tau tentang informasi itu. “Dia tampan sekali!” tambah Na-young riang. Ya, tampan tapi licik, gumam Hea-in dalam hati. “Hya, kenapa kau diam saja,” protes Na-young saat Hea-in hanya diam tak menanggapi komentar-komentarnya tentang boss-nya itu.

“Aku masih di jam kerja Na-young, sebaiknya aku segera mengantar Mie ini, lalu kembali ke kedai sebelum Bibi Jang marah,” Hea-in mencari-cari alasan, karena alasan yang sebenarnya, ia malas berkomentar tentang pria itu.

“Hah...kau formal sekali, ya sudah. Masuklah!” Na-young mempersilakan Hea-in masuk ke ruang manajer. “Aku juga harus kembali ke mejaku,” pamitnya, “Kapan-kapan kita mengobrol lagi ya!”

Hea-in mengangguk dan memandang pintu ruang manajer itu dengan perasaan was-was. Ia pasti ada di dalam, pikirnya. Lalu mengetuk pintu, dan segera mendapat jawaban dari Tuan Uhm, “Masuklah!” suara Tuan Uhm terdengar dari dalam. Sejenak Hea-in merasa lega, dan berharap hanya pria tua nan sabar itu yang kini berada di dalam, tapi dugaannya salah, karena saat pintu dibuka ia melihat pria bernama Taec-yeon itu sedang duduk di sofa tamu dan di sebelahnya Tuan Uhm sedang memegang dokumen di tangannya. “Ah, Hea-in, masuklah!” sambut Tuan Uhm sabar. Pria setengah baya yang sudah dianggapnya sebagai pamannya sendiri itu berdiri untuk menyambutnya.

“Paman, aku hanya akan mengantar ini,” sahut Hea-in datar.

“Ya, tapi sebaiknya—“

“Begitukah cara kerjamu sekarang?” potong Taec-yeon, “Kau tau sudah jam berapa ini? ini sudah lewat dari jam makan siangku?”

“Maaf, tadi jalanan macet, jadi pengiriman agak terhambat,” jawab Hea-in tegas. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tak menampakkan kemarahan di depan pria itu, karena ia mengingat pesan Bibi Jang bahwa pelanggan adalah raja, jadi kita harus menerima seberat apapun komplain dari pelanggan. “jadi, harus diletakkan di mana ini?”

“Sini, berikan padaku saja,” jawab Tuan Uhm menerima bungkusan itu dan menyerahkan sejumlah uang ke tangan Hea-in.

“Aku ingin bicara denganmu Nona Hea-in!” tukas Taec-yeon. Ya, aku tau pasti ini tujuanmu memanggilku ke mari, keluh Hea-in dalam hati.

“Maaf, jam kerja saya masih berjalan. Jadi saya harus kembali sekarang,” Hea-in menjawab sembari menghormat ke arah Tuan Uhm.

“Nona Hea-in, kau tidak mendengarku?” panggil Taec-yeon yang kini mulai berdiri.

Hea-in berbalik dan menatap Taec-yeon yang berdiri di depannya, “Saya tidak membicarakan sesuatu di luar pekerjaan di jam kerja saya.”

Tok...tok...tok...!! terdengar pintu diketuk. Membuat Hea-in mendesah lega, “Siapa?” tanya Tuan Uhm.

“Saya Tuan, Na-young!” jawab gadis itu dari luar.

“Masuklah Na-young, " Tuan Uhm mempersilakannya masuk.

Gadis itu pun masuk dan sejenak menghormat ke arah Taec-yeon lalu berkata, “Tu...Tuan...bisakah saya bicara dengan Hea-in sebentar?” Na-young terbata.

“Aku?” jawab Hea-in bingung, “Ada apa?”

Hea-in menoleh ke arah Tuan Uhm dan Taec-yeon yang kini matanya menyipit penuh rasa ingin tahu, “Ayo Hea-in kita keluar dulu!”

“Tidak, katakan saja di sini. Aku masih ada keperluan dengan Nona Kang,” tahan Taec-yeon.

“Ta..tapi Tuan?”

“Katakan!” bentak Taec-yeon.

“B-baik,” menahan nafas sebentar, lalu ia melanjutkan, “Adikmu...adikmu...Hyo-hee ada di luar.”

“Hyo-hee?” tanya Hea-in bingung, “Maaf Tuan, saya harus pergi menemui adik saya.”

“Kau baru saja mengatakan kalau kau tak membicarakan hal-hal di luar pekerjaan,” tuduh Taec-yeon, membuat Hea-in mengeraskan rahang. Gadis itu beranjak pergi  sama sekali tak mengacuhkannya dan meninggalkan ruangan yang penuh dengan aura kemarahan itu.


“Sebenarnya ada masalah apa di antara kalian?” tanya Na-young penasaran saat mereka tiba di tangga menuju ke lantai satu.

Tak ingin membahas itu, Hea-in mengalihkan pembicaraan, “Ada apa Hyo-hee mencariku?” Na-young mengangkat bahu tanda tak tahu.


“Kak!” seru Hyo-hee saat melihat kehadiran kakaknya di ujung tangga.

“Hyo-hee? ada masalah apa? bagaimana kau bisa tau aku di sini?” tanya Hea-in bingung.

“I...itu, aku...tadi mencarimu ke kedai Bibi Jang, tapi kata Kak Seo-jin kau sedang mengantar Jjajangmyun ke mari.”

“Katakan saja, ada masalah apa? kenapa kau mencariku hingga ke mari?”

“Hyo-jin...” Hyo-hee seolah tak dapat melanjutkan kata-katanya saat menyebut nama gadis itu.

“Hyo-jin? Ada apa dengannya?” Hea-in mulai tak sabar.

“Dia...dia...” Hyo-hee terisak, “Aku...”

Hea-in mengerti, pasti terjadi sesuatu dengan adiknya itu, “Di mana dia sekarang?” tanyanya.

“Di rumah bersama Hyun-jae!” jawab Hyo-hee sembari terisak. Air mata Hea-in pun mulai merebak, tapi ia segera menepisnya karena ia tak boleh terlihat lemah di depan adiknya.

“Apa yang sebenarnya kalian bicarakan? Aku tak mengerti,” timpal Na-young yang sejak tadi hanya memperhatikan pembicaraan kakak beradik itu, “Memangnya ada apa dengan Hyo-jin?”



-Rumah sakit, Mokpo-

Hea-in terduduk lemas di kursi tunggu di depan ruang gawat darurat, kini adiknya, Hyo-jin sedang diperiksa tim dokter di rumah sakit kecil itu. Tadi saat ia pulang, Hyo-jin sudah tak sadarkan diri dan suhu tubuhnya sangat tinggi, hingga langsung dilarikan ke rumah sakit.

“Dokter Kim, bagaimana keadaan adik saya?” tanya Hea-in khawatir pada dokter Kim yang baru saja keluar dari ruang gawat darurat. Dokter Kim adalah dokter yang selama ini merawat Hyo-jin sejak pertama kali ia didiagnosis terkena penyakit demam Tifoid sebulan yang lalu, begitu pula seminggu yang lalu saat penyakit itu kambuh lagi.

“Mari Nona Kang, kita bicara di ruanganku saja,” saran Dokter Kim yang segera diruruti Hea-in.



Di dalam ruangan Dokter Kim, Hea-in dipersilakan duduk di kursi di depan meja Dokter. “Nona Kang, sepertinya adik anda perlu dirujuk ke rumah sakit di Ibu kota, untuk memastikan penyakit yang dideritanya, karena di sini, peralatan untuk menguji-nya masih belum tersedia,” kata Dokter Kim menjelaskan.

“Maksud Dokter? Adik saya bukan terkena demam Tifoid seperti diagnosis Dokter sebelumnya?”

Dokter Kim menjalin jari-jarinya dan berkata, “Ya, sepertinya penyakit adik anda bukan itu.”

“Tapi Dokter bilang itu demam Tifoid, bahkan sudah terlihat dari pemeriksaan darah lengkap tempo hari.”

“Memang benar Nona Kang, tetapi penyakit ini juga memiliki gejala dan tanda yang hampir mirip dengan demam Tifoid, bahkan juga bisa menyerupai demam berdarah, penyakit ini sangat sulit dideteksi, karena gejalanya tidak dapat diprediksi, sepertinya adik anda cukup banyak mengalami stress emosi akhir-akhir ini,” kata Dokter Kim.

“Me...memangnya, adik saya sakit apa Dok?”



 Sementara itu, di luar ruangan Dokter, Hyo-hee menunggu kakaknya dengan gelisah. “Kak, kapan Kak Hea-in keluar?” tanya Hyun-jae polos, “Dan kapan kita bisa melihat Kak Hyo-jin?”

Hyo-hee menatap adik kecilnya itu, “Kita tunggu saja ya!” jawab Hyo-hee diplomatis.
“Hyo-hee!” seorang wanita muda tengah berjalan dengan langkah cepat menghampiri mereka berdua.

“Eh? Kak Na-young?” Hyo-jin memandang ke arah pria yang bersama teman kakaknya itu. Bukankah dia yang pagi tadi datang ke rumah?, batin Hyo-hee. Ada hubungan apa ia dengan Kak Na-young?

“Oh...kenalkan ini Tuan Ok,” Na-young memperkenalkan pria itu, yang dibalas anggukan singkat oleh Hyo-hee. “Bagaimana keadaan Hyo-jin? Di mana kakakmu?”

“Hyo-jin masih di IGD, sementara kak Hea-in sekarang berada di ruang dokter,” jawab Hyo-hee sembari menunjuk ruangan dokter Kim dengan kepalanya.

“Hah...aku benar-benar tak tau kalau keadaannya bisa segawat ini,” ujar Na-young bersimpati.

Seketika Hyo-hee berdiri saat melihat kakaknya yang baru saja keluar dari ruangan dokter dengan bersimbah air mata. “Kak, apa yang terjadi?” tanya Hyo-hee khawatir. Sejenak, Hea-in melirik ke arah Taec-yeon yang berdiri tak jauh dari sana. “Kak?!”

“Kita harus merujuk Hyo-jin ke rumah sakit yang lebih besar, karena dokter belum dapat memastikan penyakit yang dideritanya,” ujar Hea-in lesu.

“Tapi, biayanya...” gumam Hyo-hee, mengingat keadaan keuangan keluarganya saat ini. Hea-in menenangkan adiknya itu.

“Tenanglah! Kita pasti akan mendapatkan biaya-nya,” katanya, walaupun kini ia juga tak tau harus bagaimana. Terutama saat mendengar diagnosis dokter Kim tadi. “Aku perlu bicara dengan Anda!” Hea-in tiba-tiba berkata pada Taec-yeon hingga membuat Hyo-hee dan Na-young menoleh.



-Seoul Medical Centre-

Akhirnya, demi kesembuhan adiknya, Hea-in terpaksa menerima tawaran Taec-yeon untuk kembali bekerja di perusahaannya. Bahkan pria itu menjanjikan akan memberinya pinjaman di muka untuk membayar biaya rumah sakit Hyo-jin. Walaupun heran dengan sikap baik Taec-yeon, tapi Hea-in tak lagi peduli. Saat ini, keselamatan adiknya lah yang paling penting.

Saat sampai di Seoul Medical Centre, Hyo-jin segera dirujuk ke ruang IGD untuk diperiksa dan diuji Laboratorium guna memastikan diagnosis dari dokter Kim tadi. Sementara Hea-in pergi bersama ambulans dengan adiknya, Taec-yeon dan Hyo-hee bersama-sama menggunakan mobil pribadi Taec-yeon menyusul ke Seoul sembari membawakan barang-barang Hyo-jin yang dibutuhkan untuk rawat inap di sana, sementara adiknya, Hyun-jae dititipkan di rumah Na-young, karena tak mungkin membawa anak kecil ke rumah sakit. “Terima kasih Tuan Ok,” ujar Hyo-hee sesaat setelah mereka tiba di ruang rawat Hyo-jin. Kali ini, Hyo-jin telah dipindahkan ke ruang rawat inap sementara menunggu hasil pemeriksaan lab.

“Ya, tidak apa-apa. lagi pula aku memang akan pulang ke Seoul,” jawab Taec-yeon. “Kalau begitu, aku pamit pulang dulu.”

“Ya, silakan!” balas Hyo-hee, yang merasa heran kenapa kakaknya justru mengacuhkan pria itu. ia pun juga bertanya-tanya, sebenarnya apa yang dibicarakan oleh Hea-in dan pria itu sebelum akhirnya Hyo-jin dirujuk ke rumah sakit ini. ah...sudahlah! itu bukan urusanku, sergah Hyo-hee dalam hati.

Namun, baru saja Taec-yeon membuka pintu, ia dikejutkan oleh wanita yang berpakaian serba putih yang kini berada di ambang pintu. “Ah-ra?” gumam Taec-yeon.



~To Be Continued......


By Yuli (Admin Lee)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar